59-DITUDUH

27 7 2
                                    

(*Ayo ayo. Bacanya sambil ngegas :v)

.

Suara pintu yang dibuka dengan kasar itu cukup untuk membuat gadis yang sedang duduk di ruang tengah sendirian itu menoleh.

"Mau lo apa sih!?" Hani langsung saja menyentak pergelangan Icha, memaksanya agar berdiri.

"Gue kenapa lagi, sih? Orang gue diem disini aja dibilang maunya apa."

"Iya gue tau lo punya uang buat sewa preman buat nyegat kita, tapi kenapa nggak bilang ajasih terus terang!?"

"Hah!?" Icha terlihat semakin memperdalam kerutan di dahinya pertanda tidak paham dengan ucapan orang didepannya.

"Kenapa kamu sewa orang buat nyelakain kita, sih, Cha? Kupikir kamu orang baik," tambah Fia yang berdiri disamping Hani.

"Gue? Buat apa gue buang-buang duit buat nyewa orang, hah? Emangnya gue se-kaya apa?" balas Icha.

"Terus? Buktinya apa? Untung orang suruhan lo itu nggak berhasil buat ngapa-ngapain kita berdua."

"Heh! Denger ya, gue bukan orang berpikiran pendek yang bakal abisin uang buat hal nggak penting kayak gitu."

Hani tertawa kecil mendengar itu. "Kadang orang kalo udah buta ya kayak gitu. Akal sehatnya nggak tau ilang kemana."

"Lo tuh kenapa, sih!?" Icha menendang kaki meja yang kemudian ujungnya sedikit mengenai Hani.

"Lo yang kenapa!? Lo marah kan sama gue karena gue udah nembak Koki duluan waktu itu!?" Hani mendorong bahu kanan Icha dan membuatnya sedikit terhuyung ke belakang.

"Hah!? Lo pikir gue apaan!? Jadi lo pikir orang yang mau nyelakain lo itu karena gue suruh gitu!? Lo pikir gue iri sama lo?"

Sedangkan saat ini Fia sudah menyelinap keluar dari lingkup panas yang dua orang itu ciptakan. Ia mengambil ponselnya dan menekan tombol telepon pada nomor seseorang.

"Halo?"

"H-halo, Feb. Kamu bisa kesini sebentar, nggak?"

Di seberang telepon Febi mengernyitkan dahinya, "udah malem, Fi. Lagian kenapa, sih?"

"Hani sama Icha berantem. Tau kan mereka berdua kayak apa? Takutnya nanti kalo baku hantam, aku-nya yang repot sendirian."

Febi terdengar berdecak malas, "yaudah aku kesana. Kamu tahan aja dulu biar mereka nggak sampe bunuh-bunuhan."

Fia menutup sambungan teleponnya dan kembali beraloh ke ruang tengah. Keadaan kedua gadis itu masih sama seperti terakhir kali Fia tinggal tadi.

"Kalo lo ada dendam sama gue, ngomong dong! Orang bisu aja berusaha ngomong biar orang-orang tau maksud dia."

"Yang ada masalah itu lo! Kenapa nuduh gue sembarangan kayak gitu!? Kalo ada masalah ya bilang, biar selesai."

"Loh, barusan juga gue udah bilang kan? Susah emang ya, ngomong sama orang yang udah nggak punya hati."

"Hah? Nggak salah denger gue?--"

"Nggak, kecuali lo udah kehilangan kemampuang buat mendengar."

"--heh! Orang nggak punya hati mana yang mau nawarin orang asing buat tinggal di rumahnya."

"Oh jadi nyesel!?" Hani semakin menaikkan nada suaranya. "Jadi sekarang lo ungkit-ungkit lagi masalah kepemilikan rumah ini!?"

"Lo ya yang maksa gue buat ngungkit masalah ini lagi."

"Han, Cha. Bisa turunin suara kalian, nggak? Bahaya kalo tetangga denger," sela Fia.

"Nggak! Mana ada orang marah-marah tapi nadanya bisik-bisik?" balas Icha.

"Heh! Yang harusnya marah itu gue! Nggak ada apa-apa, tiba-tiba lo nyuruh orang buat nyegat gue sama Fia."

"Nggak kebalik, mbak? Ya justru yang harusnya marah itu gue dong. Daritadi diem dirumah, tiba-tiba dituduh kayak gitu."

"Iya lo diem dirumah, tapi hape udah dipake hubungin orang buat nyegat kita."

"Daritadi lo ngomong nyegat-nyegat mulu. Maksud kalian apasih!? Lagipula daritadi hape gue dipake buat streaming, kok."

"Oh ya? Ya siapa yang tau kalo lo udah sempet hapus chat atau riwayat panggilannya sebelum gue dateng kesini."

"Lo pikir gue se-kurang kerjaan itu apa?"

"Iya. Dan lo pikir kerjaan lo itu berjalan lancar apa? Tadi ada anak klub dance yang bantuin kita," Hani tersenyum miring setelah mengatakan kalimat terakhir.

"Kerjaan apa lagi sih?"

"Gue yakin, besok lo bakal dikeluarin dari klub dance."

"Apa sih maksud lo? Kenapa harus gue keliar dari klub dance!?"

"Pokoknya liat aja besok. Lo takut? Lo takut keluar dari sana? Kenapa, huh!?"

"Hah? Gue takut? Ngapain juga gue takut. Selama gue nggak salah, ngapain takut. Apalagi sama anceman lo?"

"Oh iya! Lo bener, ya. Lo bener buat diri lo sendiri. Lo bener ngelakuin itu demi diri lo sendiri. Itu yang orang-orang sebut egois," Hani sengaja menekankan kata terakhir.

"Gue egois? Coba kasih tau gue, dimana letak keegoisan gue!?"

"Perlu detail? Selama ini gue udah bilang sama lo, kalau gue suka sama Koki. Bahkan gue udah pernah nembak dia tepat didepan lo. Tapi apa? Lo malah sekarang deketin dia kan!? Padahal yang duluan bilang suka ke Koki itu gue!"

"Jadi itu? Itu masalahnya? Bagian mananya yang gue sengaja deketin dia? Bukannya emang gue juga deket sama anak-anak lain?"

"Beda! Lo tau itu beda. Apalagi ketika lo tau waktu itu Koki lebih nyuekin gue. Ada kesempatan, gas aja gitu."

"Oh gitu? Lo pikir karena gue sadar-sadar aja kalo Koki nyuekin lo? Hello, please! Ngapain juga gue ngurusin gimana reaksi dia ke lo. Sekali lagi, gue nggak se-kurang kerjaan itu!"

"Heh! Stooop!! Kalian tuh kenapa sih!?" ini suara Febi yang baru datang sekitar satu menit yang lalu.

"Kok lo kesini?" tanya Icha.

Febi hanya menunjuk Fia dengan dagunya sebagai jawaban. "Kalian kenapa? Kenapa cuma bacot-bacotan? Kenapa nggak pukul-pukulan?"

"Gue nggak mau ya disuruh tanggung jawab kalo sampe dia masuk rumah sakit," balas Icha sambil menunjuk Hani dengan tatapan matanya.

Hani hanya tersenyum miring lalu berbalik.

Berbalik untuk mengambil sebuah vas di meja yang kemudian langsung ia lemparkan tepat ke arah dimana Icha berdiri sekarang.

_________________________________

Aku nulisnya sambil ngegas tau 😂

Gemes sendiri akutuh sama tokoh yang aku buat sendiri.

Bye.

The 'Cause We Met Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang