"Aku mau tetap disini sampai lulus." Fia mengganti sepatunya dan meletakkan sepasang sepatu yang lain di loker.
"Kamu masih kepikiran soal Hani?" tanya Tsuyoshi.
Fia tertawa kecil. "Pasti repot juga kalau pindah sekolah terus."
"Akhir-akhir ini aku jarang lihat kamu bareng teman-temanmu yang lain. Kamu sebaiknya cari teman lain."
"Iya." Fia mengangguk. "Aku malah kepikiran buat akrab lagi sama Febi dan Icha, kalau perlu biar kita bisa tinggal serumah lagi."
"Ah, itu ide bagus." Bukanlah tanggapan Tsuyoshi, melainkan suara lain yang tiba-tiba saja menyelinap ke obrolan mereka.
"Ryubi?"
"Oh, enggak, maksudku semua pasti lebih baik kalau kalian baikan, kan?" jelas Ryubi. Cowok itu sebenarnya sudah mendengar kejadian di apartemen Icha kemarin dari Febi.
"Tapi apa kamu yakin?" tanya Tsuyoshi pada Fia.
Fia mengangguk tegas. "Aku yakin mereka berdua juga orang baik."
"Yah, kalau masalah baik, sih, mereka emang baik. Aku nggak ngerti kenapa banyak yang nggak percaya sama mereka," ujar Ryubi.
"Nggak ada manusia yang benar-benar bisa dipercaya," jawab Tsuyoshi. "Lagipula, kamu ngapain ikut jalan sampai sini? Kelasmu 'kan nggak lewat sini."
"Ah?" Ryubi tiba-tiba berhenti dan berbalik arah. "Sampai ketemu nanti!" ujarnya sambil berlari kecil menjauh.
"Apapun yang kamu pilih, aku dukung asalkan nggak menyakitimu."
.
"Icha nggak masuk?" tanya Fia ketika berpapasan dengan Febi saat jam makan siang.
Febi tersenyum pahit. "Kemarin. Hari ini dia kayaknya masuk, tapi aku belum ketemu. Aku nggak tau gimana caranya buat ngobrol sama dia."
"Emangnya dia kenapa?"
"Kalau dia mau cerita, aku bakalan tau dia kenapa," jawab Febi. "Masalahnya dia nggak mau cerita apapun."
"Padahal aku rencananya mau temenan baik lagi sama dia," ujar Fia.
"Coba aja nanti kamu ke apartemen dia. Siapa tau malah Icha mau cerita sesuatu ke kamu."
"Aku takut dia mikir aku ganggu," ujar Fia.
"Kayaknya asalkan kamu ngomong di waktu yang tepat, dia nggak akan mikir gitu." Febi menghela napas panjang. "Soalnya aku yakin, saat ini dia lagi nggak baik-baik aja."
.
"Gimana tamu yang gue undang kemarin buat lo?"
Icha yang sejak tadi berada di bagian pojok perpustakaan sama sekali tidak merespon ucapan seseorang itu. Bahkan sekedar menoleh saja tidak ia lakukan.
"Lo pasti kangen banget sama dia, kan?" Saka menopang dagunya dengan tangan kanan. Cowok itu sama sekali tidak menunjukkan sebuah empati.
Namun sayangnya Icha sama sekali tidak menjawab. Cewek itu memejamkan matanya dan mengambil napas panjang sebelum akhirnya berdiri dan berniat pergi dari sana.
"Kasihan banget lo, harus ngerasain karma atas hal yang nggak lo perbuat." Saka lalu mendahului cewek itu berjalan menjauh.
Icha terdiam. Ia baru ingat kalau Saka belum memberitahu alasan cowok itu sangat membenci Icha. Lain kali ia harus mendapatkan jawabannya.
"Kamu baik-baik aja?" Suara itu berhasil membuat Icha menoleh.
"Shunta?"
Shunta mengangguk. "Aku masih khawatir. Makanya daritadi aku ngikutin kamu sampai sini."
Icha mengalihkan pandangannya. "Kamu lebih baik nggak usah ikut campur lagi. Bukannya kamu pernah diancam sama dia? Dia bisa benar-benar celakai kamu dam Fia."
"Soal Fia, aku yakin Tsuyoshi-kun pasti bisa jaga dia. Lagipula aku cuma berani ngelihatin dari jauh."
"Makasih."
"Icha, kenapa kamu nggak minta bantuan teman-teman yang lain? Kemarin kami menyesal karena nggak bisa bantu kamu apapun. Tapi aku juga nggak ngomong masalah Saka ke mereka, aku mau kamu sendiri yang cerita," ujar Shunta.
"Aku takut merepotkan. Lagipula aku memang masih bisa handle masalahku sendiri," jawab Icha. "Makasih karena udah peduli."
Shunta menarik tangan kanan Icha dan menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin berguna untuk orang lain. Tolong sekali aja beri aku kesempatan buat itu."
"Tapi—"
"Aku yakin kalau kamu nggak sendirian, pasti bisa lawan Saka," ujar Shunta dengan optimis.
Mendengar ucapan itu justru membuat Icha tertawa kecil. "Kata-kata itu bikin merinding. Makasih udah meyakinkanku. Kalau aku setuju, aku bakal hubungi kalian."
"Aku harap secepatnya. Takut terjadi sesuatu yang buruk kalau terlambat."
Icha mengangguk dengan senyum tipis. "Kamu orang yang baik."
###
"Mau jadi pacarku?" Untuk kedua kalinya Hani kembali menyatakan perasaannya pada Koki.
Cowok itu menghela napas panjang dan mengacak rambutnya sendiri. "Maaf tapi waktunya nggak tepat. Aku masih pusing mikir klub kita yang sekarang hancur."
"Memang kamu nggak inget, siapa yang udah hancurin klub kalian?"
"Aku tau, tapi tetap aja. Beberapa anggota kami keluar, dan itu menyebalkan. Aku nggak ngerti harus gimana," ujar Koki.
"Bukannya anggota kalian masih banyak. Mereka saja nggak cukup? Sepenting apa, sih, anggota yang keluar itu?"
Koki menoleh dengan wajah yang mengeras. "Maksudnya apa? Kenapa kamu ngomong gitu seolah nggak peduli sama orang lain?""Ya maaf." Hani menunduk. "Tapi harusnya yang mikirin itu nggak cuma kamu, kan?"
Koki tidak menjawab. "Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa waktu itu Icha mau celakai kamu dan Fia?"
Hani menoleh. Sedikit kesal dengan nada suara Koki yang melemah. Ia lalu tersenyum miring, "dia suka sama kamu."
"Eh?" Kedua bola mata Koki membulat sempurna. "Emang iya?"
"Iya. Tapi aku bilang kalau aku mau nembak kamu, dan sejak hari itu dia mulai benci sama aku."
"Dia nggak kelihatan seperti orang jahat begitu," ujar Koki.
"Jelas dia bakal kelihatan baik di depan orang yang dia sukai."
Koki menggeleng. Bagaimanapun juga, seperti ada sesuatu yang salah disini. Semakin Koki mengobrol dengan Hani, ia semakin merasa ada yang aneh.
"Itu ... Bukannya kamu, kan?"
Hani menoleh. "Hah? Kenapa aku?"
"Maaf, aku rasa kamu yang terlalu berlebihan. Mungkin aku akan telfon Hayate-kun setelah ini. Dia salah satu orang yang bisa kupercaya."
"Tapi, kan—"
"Maaf, ya? Aku duluan."
.
.
.5 March 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
The 'Cause We Met
Teen Fiction[SLOW UPDATE] "Jadi kalian semua minggat juga?" -Icha. "Aku capek dirumah, semua nggak ada yang peduli sama aku. Jadi lebih baik aku pergi dari rumah" -Fia. "Iya, mereka juga nggak peduli sama yang aku inginkan. Mereka nggak pernah jadi remaja mung...