69-VICTIM

15 5 1
                                    

"Bantu aku, Feb." Fia malam ini sengaja mampir ke apartemen Febi setelah pulang bekerja.

"Gimana, ya, Fi. Bukanya aku nggak mau bantu, tapi aku udah terlanjur kesel sama dia."

Fia memejamkan matanya sebentar lalu menghela napas panjang. "Aku nggak tau mau minta tolong ke siapa lagi."

"Setahu aku, rumah itu bukan rumah sewaan. Icha pernah bilang ke aku kalau rumah itu dibeli pakai uang Mamanya juga. Tapi kalau mau pastiin lagi, tanya aja langsung ke dia," ujar Febi.

"Aku takut dia marah ke aku."

"Dia marah ke kamu?" Febi tertawa sambil memukul bahu Fia. "Ngapain dia marah?"

"Kan kemarin dia disalahi gara-gara aku ngilang pas acara kemah," jawab Fia sambil mengusap bahunya.

"Nggak ada dia marah ke kamu gara-gara itu."

"Ya sama aja aku masih canggung sama dia. Tolong kamu aja tanyain ke Icha," pinta Fia.

Raut wajah Febi sontak berubah. Ia lalu merapatkan duduknya dan menunduk. "Dia marahnya sama aku."

Jawaban itu tentu diluar dugaan Fia. Seingatnya, mereka berdua masih baik-baik saja sampai kemarin. "Kok bisa?"

"Ya bisa aja, dong. Nggak ada yang nggak bisa di dunia ini."

Fia berdecak. "Maksud aku, kok bisa dia marah ke kamu?"

"Udah lah, Fi. Lagian bayar sewa rumah segitu pasti kecil buat kamu. Lagipula kamu udah temenan lama sama Hani, harusnya kamu udah tau dong sifat dia kayak apa."

"Dia beda banget, Feb." Fia menghela napas panjang dan menyenderkan punggungnya di sofa. "Rasanya kayak kita baru temenan di sini juga. Pokoknya berubah banget."

"Aku nggak bisa ikut campur, Fi. Sekali lagi, bukannya aku nggak mau bantu kamu, tapi sekarang ini aku juga lagi ada masalah sama Icha, jadi kita selesain masalah masing-masing dulu, ya?"

"Kalau kamu mau cerita, mungkin aku bisa bantu juga masalah kalian?" tawar Fia.

"Nggak, Fi. Aku nggak berani cerita, bisa-bisa malah Icha makin marah ke aku."

Fia mengangguk paham. "Yaudah, Feb. Kalau gitu aku pamit, semoga semuanya balik kayak dulu lagi. Aku kangen waktu kita jalan-jalan di Indonesia dulu. Padahal dulu banget kita sama-sama di Indonesia, tapi bisa jalan bareng setelah ketemu di sini."

"Semua yang udah berubah nggak akan bisa balik seratus persen kayak semula, Fi. Yang ada cuma pura-pura lupa dan saling nutupin apa yang udah pernah terjadi di masa lalu."

###

Tsuyoshi sedang dalam perjalanan pulang dari minimarket ketika ia melihat siluet seseorang yang sepertinya ia kenal. Ingatannya lalu melayang pada percakapannya dengan Fia siang hari, membuat Tsuyoshi perlahan mengikutinya dari belakang. Ia menutupi kepalanya dengan hoodie yang dipakai dan memasukkan kedua tangannya kedalam saku.

Melihatnya masuk ke sebuah kafe yang lumayan sepi, Tsuyoshi memutuskan untuk sedikit mengulur waktu sebelum ia juga masuk ke dalam kafe tersebut. Ternyata sudah ada tiga cewek yang menunggu orang tadi disana. Tsuyoshi memilih untuk duduk di tempat yang tidak terlalu jauh dengannya supaya bisa menguping pembicaraan mereka.

Ketika pelayan menghampirinya, Tsuyoshi hanya memesan segelas cappucino yang sebenarnya tidak akan ia minum karena hari sudah malam. Ia menunggu sampai ada percakapan dari orang yang ia ikuti daritadi.

"Memang kamu butuh uang buat apa, sih?" tanya salah satu temannya. Tsuyoshi yakin mereka semua berasal dari sekolah yang sama dengannya.

"Kalian sendiri tau, kan, kalau aku dari Indonesia sekarang cuma tinggal sama Fia. Dan semalam dia minta uang buat bayar sewa rumah yang kami tempati. Padahal dia tau kalau aku udah nggak kerja dan nggak punya banyak uang, sedangkan dia punya tabungan dan uang yang lebih banyak daripada biaya sewa rumah itu." Hani terdengar begitu kesal. Namun apa yang Tsuyoshi dengar siang tadi sepertinya bukan seperti itu.

"Ini kamu sendiri yang bayar sewa?" tanya temannya yang lain.

Hani mengangguk. "Bahkan dia juga minta aku patungan buat makan. Tapi aku bilang kalau urusan makan, kita beli sendiri-sendiri aja."

"Jahat banget, sih, temen-temen kamu. Yang satu ngerebut cowok yang kamu suka, yang satu lagi pelit banget." Terdengar helaan napas panjang. "Terus yang satu lagi ngapain, tuh."

Tsuyoshi menyatukan alisnya bersamaan dengan cappucino-nya yang datang. Apa yang ia dengar barusan sama sekali tidak ia mengerti. Yang mereka maksud dengan teman-teman tadi Fia dan yang lainnya?

Hani tertawa remeh. "Febi? Dia juga pengganggu. Kalian ingat, kan, kalau rencana kita bisa aja berhasil kalau dia nggak mepet Jyutaro terus? Gara-gara dia, aku nggak bisa manfaatin cowok itu buat deket sama anak-anak klub dance yang lain."

Busuk. Tsuyoshi sudah merasa panas hanya dengan mendengar percakapan mereka sampai saat ini. Ia mencengkeram ponselnya yang sedang merekam percakapan tersebut meski Tsuyoshi tidak tahu pasti, apakah ponselnya bisa merekam itu karena mereka sedikit berjarak.

"Nggak beruntung banget kamu temenan sama mereka. Mending sama kita kan, yang bisa pinjemin kamu sepuluh ribu yen yang kamu butuhin." Bersamaan dengan ucapan itu, sebuah amplop disodorkan ke hadapan Hani yang langsung disambutnya.

"Makasih. Aku emang nggak beruntung ketemu sama mereka, tapi sekarang aku ngerasa beruntung temenan sama kalian." Hani memasukkan amplop berisi uang tadi ke dalam tasnya. "Tapi kayaknya aku harus pulang sekarang. Soalnya Fia suka marah-marah kalau dia pulang dan aku belum siapin air panas buat mandi dia."

"Astaga, kenapa mau-mau aja disuruh gitu?"

Hani menggeleng. "Udahlah, biarin aja. Lagian dia kan dari kerja. Aku duluan, ya."

Lalu cewek itu berdiri dan meninggalkan kafe itu sementara ketiga temannya tadi masih disana. Tsuyoshi yang mati-matian mengontrol emosinya masih duduk disana, menatap tajam pada cappucino di hadapannya.

"Bodoh banget, ya, dia." Suara dari meja tadi membuat Tsuyoshi sedikit mengendurkan wajahnya.

"Katanya beruntung temenan sama kita?"

Terdengar beberapa suara tawa. "Dia belum tau takdirnya aja."

"Lagipula dia pikir kenapa kita beri dia pinjaman padahal kita tau dia udah nggak kerja."

"Dan jumlah yang nggak sedikit gitu, memangnya kita berharap gimana cara dia balikin?"

.
.
.
.

Maafffff banget kalau kalian nemu ketidak-konsisten-an bahasa yang aku pakai. Tell me kalau kadang aku pakai kata 'cewek' terus di part lain aku pakai kata 'perempuan' yaa~

Sebenernya capek, tapi sayang banget gasih kalau nggak dilanjutin? 🙁

The 'Cause We Met Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang