73-A CALL

17 4 2
                                    

"Eh? Akhirnya kamu sadar?" Hayate mendudukkan dirinya disamping Koki. Adik kelasnya itu menghampirinya ketika bel pulang baru berbunyi, dan sekarang keduanya berada di pinggir lapangan sekolah.

"Kayaknya, ada sesuatu yang aneh. Makanya akhir-akhir ini aku terus kepikiran."

"Yah, aku nggak bisa bilang kamu salah, sih. Tapi kalau semua orang kayak kamu dan teman-teman lain yang jadi bersikap buruk ke dia, mungkin kita bisa kehilangan Icha. Kalian cuma nggak tau apa yang sebenarnya terjadi," ujar Hayate.

Koki mengangguk lemah. "Karena itu, aku jadi merasa bersalah mengabaikan dia waktu itu. Kira-kira kalau aku minta maaf, apa dimaafkan?"

"Kalau untuk saat ini aku nggak yakin. Dia sedang tidak baik-baik saja sekarang."

"Seburuk itu?" tanya Koki.

"Udah kubilang. Kalian nggak tau apa yang sebenarnya terjadi, dan kalian memperburuk itu semua." Hayate menghela napas panjang. "Aku harap aku bisa bantu dia."

"Beritahu aku, dia kenapa?"

"Kamu lebih baik ngobrol sendiri sama dia. Mungkin dia bisa lebih jujur kalau ngobrol sama kamu." Hayate menepuk pundak Koki lalu berdiri dan meninggalkan cowok itu sendiri.

"Rasanya, aku nggak punya keberanian buat itu. Mungkin itu juga sebabnya aku nggak berani buat ambil keputusan seperti Hayate-kun dan yang lainnya waktu itu."

###

"Kamu nggak bilang kalau udah keluar dari toko bunga milik Yuto. Udah berapa lama?"

Icha menoleh pada Sougo yang berjalan disampingnya. "Lumayan lama. Dia baru bilang?"

Sougo mengangguk. "Itu juga karena aku kebetulan mampir ke toko kemarin."

"Oh, kalau nggak salah, aku keluar dari sana waktu aku mulai pindah ke apartemen yang sekarang," jelas Icha.

"Terus untuk kebutuhan kamu?"

"Mama sekarang transfer uang ke aku. Supaya aku nggak perlu pulang larut malam karena bekerja."

Sougo hanya mengangguk-angguk kecil sambil memikirkan kalimat untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya. "Hubunganmu dengan Papamu sedang nggak baik, ya?"

"Hm?" Icha hanya tersenyum. "Maaf, ya, kamu sampai harus tau soal itu."

"Dia nyuruh kamu pulang?"

Icha menggeleng. "Enggak, kok. Dia sebenernya nggak peduli dimanapun aku."

Dari penjelasan sesedikit itupun Sougo bisa mengerti bahwa memang ada sesuatu yang tidak baik diantara ayah dan anak itu. "Kamu bisa bilang kalau ada yang bisa aku bantu."

"Makasih, ya. Tapi, apa yang harus kulakukan sendiripun aku nggak tau."

"Aku bisa dengar semua ceritamu kalau kamu mau." Sougo berhenti mendadak membuat cewek itu ikut berhenti satu langkah didepannya. "Dan biar aku bantu cari solusi untuk itu."

"Tapi aku terlalu—"

"Kamu nggak pernah merepotkan," potong Sougo. "Aku dan yang lain dengan senang hati mau membantu. Jadi, tolong jangan pernah berpikir begitu."

Cewek itu terdiam. Belum memberi respon selain kedua matanya yang mati-matian menampung air yang memaksa keluar. Baru kali ini ia merasa waktu disekitarnya berjalan lambat. Seolah langit kemerahan itu bekerjasama dengan angin awal musim gugur membuatnya merasakan ketenangan diantara kekacauan yang tidak terlihat.

"Kamu bisa hubungi Hayate-kun kalau kamu dalam bahaya. Kamu bisa hubungi aku kalau kamu perlu didengarkan. Kamu bisa hubungi Jinto-kun kalau kamu perlu nasihat. Dan kamu bisa hubungi Shunta kalau kamu perlu saran. Setidaknya, orang-orang yang berpihak padamu masih bisa diandalkan," jelas Sougo.

"Terimakasih. Aku beruntung memiliki teman seperti kalian. Tapi, tetap aja aku ngerasa bersalah."

Sougo tertawa kecil. "Kamu nggak perlu begitu. Aku yakin, sebentar lagi kami akan kembali seperti semula. Bukannya sedikit pertengkaran memang perlu dalam setiap persahabatan? Meski mereka terlihat sangat mudah dipengaruhi, mereka bukan tipe orang yang dengan mudah memutuskan hubungan seperti itu."

"Tapi bukannya kemarin artinya kamu dan yang lainnya yang melepaskan diri dari mereka?"

"Nggak, kok. Kamu lihat aja sebentar lagi, kami akan segera berbaikan. Jadi jangan pernah merasa bersalah begitu," ujar Sougo.

"Kenapa kamu seyakin itu?"

Sougo tersenyum. "Karena persahabatan kami tidak semurah itu untuk dipertaruhkan."

Icha mengangguk setuju. "Persahabatan kalian bikin iri. Kalian juga terlihat kompak banget, seolah nggak ada satupun masalah yang bisa memecahkan kalian."

"Begitulah. Komunikasi itu hal terpenting, dan aku yakin setelah ini pasti kita akan mulai introspeksi diri sendiri."

Tak lama ponsel Icha bergetar karena panggilan dari kontak yang bahkan tidak pernah menelponnya sebelumnya. Cewek itu memandang Sougo sebentar.

"Kalau nggak mau diangkat, nggak papa, kok. Kalau aku jadi kamu, itu juga nggak akan kuangkat," ujar Sougo.

.


"Emang masalah kalian belum selesai?"

Febi tidak menjawab pertanyaan itu. Fokusnya masih pada layar yang ada di hadapannya dengan pistol mainan yang ada di tangannya. Membuat Ryubi yang hanya menonton disampingnya berdecak sebal.

Cowok itu menatap sekeliling game center itu tanpa minat. "Kamu mau main sampai kapan?"

"Kalau mau pulang, silakan. Aku masih mau main," jawab Febi.

"Kamu itu kenapa, sih? Lagian daritadi kalah terus, mending main di handphone."

"Menurutmu," Febi meletakkan pistol mainan itu dan raut wajahnya langsung berubah. "Aku harus gimana?"

"Apanya yang gimana?"

Febi mendengus kesal. "Kamu jelas-jelas tau aku lagi ada masalah tentang apa."

"Soal Icha?" tanya Ryubi yang dibalas dengan anggukan.

"Aku ngerasa kalau aku sama sekali nggak berguna buat dia. Bahkan dalam kondisi seperti ini aku nggak bisa bantu dia apapun."

Meski cewek itu menunduk dalam, Ryubi masih bisa melihat ekspresi sedih yang ditunjukannya. Membuat cowok itu tidak bisa menahan untuk tidak mengangkat tangan kanannya dan meletakkannya di puncak kepala Febi.

"Aku nggak pernah liat kamu sampai begini."

Tapi aku juga senang, karena kamu tunjukkin ini ke aku, bukan yang lain.

.

"Aku benar-benar minta maaf."

Sejujurnya, Icha masih sedikit tidak bisa mempercayai hal yang ada di depannya. Tapi setelah beberapa kali mengerjapkan mata, ia akhirnya bisa memastikan bahwa cowok yang sedang membungkuk padanya itu adalah nyata.

Meski masih belum bisa dipercaya kalau orang yang tidak pernah ia bayangkan akan datang memintanya bertemu di taman dekat apartemennya. Orang yang menelponnya ketika bersama Sougo tadi. Orang yang entah kenapa datang dengan wajah penuh memar.

"Kamu ... baik-baik aja?" tanya Icha. "Aku nggak tau harus memaafkanmu karena apa."

Orang itu luruh dan berjongkok dan menutupi wajahnya dengan kedua lengannya. "Harusnya sejak awal," gumamnya.

"Ha?"

"Harusnya sejak awal aku nggak melakukan hal bodoh yang hanya menuruti egoku."

"J-jyutaro? ...san?"

.
.
.

23 April 2023.

The 'Cause We Met Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang