Hari ini Icha pindah. Febi sudah pasti membantunya. Dan Ryubi membuntuti nya bersama dengan Shunta untuk membantu Icha memindahkan barang-barangnya.
"Tadi Hayate-kun bilang kalau dia akan mengajak Jinto-kun dulu. Jadi mereka langsung ke apartemen barumu," jelas Shunta sambil mengambil alih sebuah kardus besar yang dibawa Icha dan membawanya ke mobil.
"Lalu Sougo?" tanya Icha.
"Bukannya dia sekelas denganmu? Harusnya kau yang tahu," sahut Ryubi. "Heh! Jangan sok kuat. Kardus itu harusnya diangkat oleh dua orang," lanjutnya mengomel pada Febi yang memaksa mengangkat sebuah kardus besar. Meski tak urung juga kedua kakinya melangkah mendekat untuk mengangkat sisi yang lain.
Sedangkan Icha masih terdiam di tempatnya. Feeling-nya berkata buruk. Ia berjalan cepat melewati Febi dan Ryubi dan menuju kamar mandi.
Tubuhnya luruh tepat ketika ia bersandar ke pintu kamar mandi setelah menguncinya.
Jangan sekarang, plis. Nanti bakal gue obatin. Janjinya pada diri sendiri.
Suara pintu yang ketuk cepat membuat Icha kembali membuka matanya yang hampir terpejam.
"Icha? Kau baik-baik saja? Tadi kau sepertinya buru-buru," ujar Shunta dari luar.
Icha mendengus kesal. Bukannya biasanya orang kalau sudah kebelet akan buru-buru ke kamar mandi? Yahh, meski memang alasan gadis itu bukan karena sedang kebelet.
"A-aku hanya cuci muka."
Sialan. Kenapa malah alasan seperti itu yang ia gunakan di saat seperti ini? Kalau hanya cuci muka, orang tidak akan terburu-buru seperti tadi.
Tidak ada sahutan lagi dari luar. Icha berdiri dengan menumpukan tangannya ke dinding dan berjalan ke arah cermin.
Nggak pucet-pucet banget.
Ia memutuskan untuk keluar dari kamar mandi dan mendapati Shunta masih berdiri di depan pintu.
"Kau baik-baik saja?" ulang Shunta.
Icha mengangguk. "Kenapa kau disini?"
"Aku hanya khawatir. Dan, semua sudah selesai. Ayo kita berangkat," ajak Shunta.
Akhirnya pindah juga.
.
"Oh, dia kabur," gumam Hani saat Febi mengatakan kalau Icha sudah pindah dan menyuruh mereka berdua kembali ke rumahnya.
"Bukan kabur. Dia cuma kasihan sama aku yang harus nampung kalian berdia di apartemenku," jawab Febi.
"Maksudnya, Icha nyuruh kita balik gitu?" tanya Fia.
Febi mengangguk. "Itupun kalo kalian mau."
"Kita cari apartemen sendiri aja, Fi. Pasti ada niat lain dia," sahut Hani.
"Sok tau. Kalo kalian emang nggak mau balik ke sana, yaudah. Nggak ada paksaan, kok."
"Balik aja, Han. Nggak usah gedein gengsi. Biaya hidup disini itu tinggi. Jangan bandingin sama biaya hidup di Jogja," ujar Fia.
"Bener tuh. Kunci rumahnya ada di aku. Kalo mau balik, bilang aja ke aku," ujar Febi sambil berjalan menuju kamarnya.
Sekarang atmosfer di ruangan itu menjadi panas dengan isi kepala masing-masing. Mana mungkin Hani menyetujui ajakan Fia untuk kembali ke rumah itu?
"Han? Kita balik aja ya? Kalo Icha masih nyuruh kita balik ke sana, berarti dia masih--"
"Diem dulu, Fi. Gue bukan lagi mikirin itu."
"Lah? Terus mikirin apa lagi?"
"Ntar aja. Kalo udah selesai gue pikirin, baru gue kasih tau lo. Oke, kita balik ke rumah itu. Ayo siap-siap."
###
Hari dimana acara perkemahan dimulai hari ini. Semua siswa berkumpul di auditorium untuk mendengarkan pengarahan.
"Lalu, mengenai tema yang sudah kami sepakati, kami pada akhirnya mengambil tema mafia yang berbeda dengan biasanya," ujar kepala sekolah.
"Sudah ada enam nama siswa kelas dua yang kami percayakan untuk mendapatkan peran mafia tersebut.
"Tugas mereka adalah mencari dan mengumpulkan kunci yang akan tersebar di lokasi perkemahan nanti. Setelah mendapatkan kunci, mereka harus menulis nama mereka disana.
"Dan untuk siswa yang tidak mendapat peran ini, bertugas untuk mengamati setiap gerak-gerik mencurigakan dari siswa lain. Kalian bisa menangkap mafia tersebut jika berhasil mendapatkan kunci yang mereka kumpulkan.
"Untuk mafia yang berhasil bertahan sampai acara selesai, akan mendapatkan reward," jelas kepala sekolah.
"Apa ada pertanyaan?" tawar kepala sekolah.
Semua siswa terdiam. Bisa berarti semua sudah paham, bisa juga berarti mereka tidak tahu ingin bertanya apa.
Kepala sekolah memutuskan untuk segera memulai acara. Siswa diperbolehkan masuk ke dalam bis mereka masing-masing.
"Raku, aku duduk sebelahmu, boleh?" tanya Febi yang melihat Raku masih duduk sendirian.
"Bole--"
"Loh, bukannya semalam aku sudah bilang kalau aku ingin duduk denganmu," sambar Ryubi yang langsung meletakkan tasnya di kursi dekat jendela sebelah Raku.
"Heh, tapi tadi bilang boleh," balas Febi.
"Tapi yang duluan--"
"Permisi. Aku duduk dengan Tomoya saja," potong Raku sambil membawa tasnya melewati dua orang itu. Mau tidak mau mereka berdua harus duduk disana.
"Aku dekat jendela!" sambar Febi sambil masuk duluan dan memindahkan tas Ryubi.
"Heh! Tasku sudah disana dulu, tahu!" Ryubi menarik tas Febi agar gadis itu membiarkannya duduk di kursi itu.
"Tapi aku sudah duduk disini duluan," balas Febi sambil memeluk tasnya.
"Menyebalkan." Ryubi mengalah. Ia mengambil tempat duduk itu dan meletakkan tasnya disebelahnya, seolah tas itu harus duduk sendiri.
Dan perjalanan dimulai setelah semua siswa sudah mendapat kursi masing-masing. Mereka menuju sebuah hutan yang cukup untuk ditempuh dalam waktu empat jam.
.
.
.
.Jinto-kun, huppy bushday-!
KAMU SEDANG MEMBACA
The 'Cause We Met
Teen Fiction[SLOW UPDATE] "Jadi kalian semua minggat juga?" -Icha. "Aku capek dirumah, semua nggak ada yang peduli sama aku. Jadi lebih baik aku pergi dari rumah" -Fia. "Iya, mereka juga nggak peduli sama yang aku inginkan. Mereka nggak pernah jadi remaja mung...