Febi's POV.
"Jyutaro-kun?" Panggilku ketika aku melihat Jyutaro sedang memasukkan sebuah kotak kedalam loker seseorang.
Aku tahu betul kalau itu bukan loker miliknya sendiri, jadi aku merasa aneh.
Dia menoleh dan sedikit terkejut melihatku berdiri disini. Atau mungkin dia terkejut karena penampilanku?
"Febi? Kau ... kenapa ada disini?"
Aku membuang muka. Sekarang aku paham keadaannya, "kau sendiri kenapa ada disini? Itu bukan lokermu, kan?"
"Ini? ... iya, memang bukan lokerku. Tapi aku tadi melihat lokernya sedikit terbuka, jadi aku menutupnya."
Bohong. Alasan klasik. Baiklah, hari ini akan kuakhiri semuanya.
"Ah, kalau begitu, bisa kita bicara sebentar?" Ujarku dan ia menyanggupinya.
Aku membawanya ke belakang gedung. Disini lumayan sepi, jadi aku yakin tidak mungkin ada orang yang tidak sengaja menguping.
"Sebenarnya aku tahu," ujarku mengawaki semuanya.
"Tahu apa?"
Aku menunduk mencoba menyembunyikan wajahku, "tentang kau."
"Aku kenapa?" Dia mencoba menyentuh pundakku, tapi aku menghindar. Sepertinya dia mulai mengerti kalau ada yang tidak beres disini.
"Kau ... tidak pernah menyukaiku, kan?" Tandasku.
"Maksudmu?"
Sekarang aku mendongak dan menatap tepat pada manik matanya, "yang sebenarnya kau sukai itu Hani, kan? Bukan aku."
Bola matanya seketika membesar dan mundur satu langkah, "apa yang kau bicarakan?"
"Dan kau juga tahu kan, kalau Hani sendiri menyukai Koki? Bahkan sampai dia meneror Icha dengan surat-surat."
Akhirnya ia menunduk. Kurasa ia sudah tidak bisa membela dirinya lagi, "maafkan aku."
Aku hampir menangis kalau saja aku tidak ingat bahwa Jyutaro masih dihadapanku. Maka dari itu, aku maju satu langkah dan menendang Jyutaro tepat di kaki kanannya.
Sementara dia memegangi kakinya, aku melangkah pergi, "kalau itu yang kau mau, maka hubungan kita berakhir saja."
.
Argh! Aku benci semua orang di dunia ini!
Saat ini aku sedang duduk di taman sekolah sambil menenggelamkan wajahku di kedua telapak tanganku sendiri.
"Hei?" Seseorang menepuk pundakku dan membuatku mendongak.
"Kau?"
Dia mengangguk lalu sedetik kemudian tawanya pecah, "apa-apaan kostummu itu?"
Sontak aku memukul lengannya dengan keras. Dia tidak menghindar, hanya menahan pukulanku sambil masih tertawa kencang.
"Sebentar! Ijinkan aku menyelesaikan tawaku dulu," ujarnya sambil masih menahan pukulanku.
Akhirnya aku menyerah dan berhenti memukulinya. Aku lalu menaikkan kakiku di kursi dan meletakkan daguku di lutut.
Tawanya berhenti. Sebuah pohon kecil yang awalnya adalah satu-satunya hal yang kulihat kini berubah menjadi sebungkus coklat.
Bukan bukan bukan! Maksudku bukan pohon itu berubah menjadi coklat, tapi ada seseorang yang mengulurkan coklat tepat didepan mataku dan membuat pohon itu terhalangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The 'Cause We Met
Teen Fiction[SLOW UPDATE] "Jadi kalian semua minggat juga?" -Icha. "Aku capek dirumah, semua nggak ada yang peduli sama aku. Jadi lebih baik aku pergi dari rumah" -Fia. "Iya, mereka juga nggak peduli sama yang aku inginkan. Mereka nggak pernah jadi remaja mung...