75-BROKEN

10 4 0
                                    

"Rasanya seperti klub ini sudah hancur."

Semua yang ada di ruangan tersebut kompak menyetujui ucapan Tsuyoshi barusan. Klub dance seperti kehilangan sebagian fondasi mereka, membuatnya lebih mudah roboh.

"Aku sempat berpikir," semua menoleh ke arah Hyoma yang mengambil alih pembicaraan. "Kenapa kita sampai harus jadi seperti ini hanya karena hal yang sebenarnya bukan urusan kita?"

"Maksudnya?"

"Bukannya memang salah kita, yang dengan mudah mempercayai ucapan orang lain?" Hyoma berdiri dari kursinya dan menatap teman-temannya satu persatu. "Padahal kalau kita sempat berpikir waktu itu, kita sudah tau kalau Icha bukan orang yang akan melakukan hal seperti itu."

"Aku setuju," potong Ryubi. "Wajahnya memang mungkin terlihat seperti dia bisa melakukan hal itu, tapi kalau sudah tau sifatnya, kita nggak mungkin lebih percaya dengan orang lain daripada dia."

"Dan mungkin itu alasan kenapa Hayate-kun dan yang lainnya lebih memilih untuk mempercayainya," tambah Jyutaro.

"Kamu kok tiba-tiba aneh?" Tanya Koki yang ditujukan pada Jyutaro. "Bukannya kamu dulu termasuk orang yang juga langsung benci ke dia setelah kejadian itu?"

Jyutaro sedikit gelagapan dengan pertanyaan itu. Bukan, lebih tepatnya karena Koki yang bertanya begitu. "Aku bukannya benci, aku cuma ... ya, begitulah."

"Dari awal aku netral. Febi yang dekat dengan Icha berkali-kali meyakinkanku bahwa itu bukan perbuatannya," ujar Ryubi.

"Ya itu karena kamu—"

"Tapi sekarang sepertinya mereka berdua juga sedang nggak baik-baik aja, kan?" Hyoma memotong ucapan Jean yang tidak ingin ia dengar.

"Emang kenapa? Bukan karena kejadian itu juga, kan? Nggak lucu kalau mereka nggak akur karena ternyata ucapan preman waktu itu benar," ujar Reo.

"Enggak. Kurasa kalau ceritanya begitu, harusnya Febi marah ke Icha. Sedangkan saat ini kasusnya Febi yang merasa bersalah ke dia," jelas Ryubi.

"Jyutaro? Daritadi kamu mau ngomong apa? Suaramu kecil jadi nggak ada yang perhatiin," ujar Daichi yang membuat perhatian semua orang mengarah pada Jyutaro.

"Oh, enggak." Jyutaro terlihat berpikir. "Aku nggak tau harus ngomongin ini ke kalian atau nggak."

"Soal apa?"

"Jelas kamu harus ngomong ke kita," ujar Koki. "Terutama alasan kenapa kemarin kamu bisa angkat teleponku ke ponsel Icha."

Semua yang ada disana terlihat terkejut dengan kalimat terakhir yang Koki ucapkan. Dan Jyutaro yang sudah menduga kalau Koki akan menanyakan hal ini masih belum menyiapkan jawaban yang akan ia gunakan.

"Um... Aku bingung mulai dari mana."

"Dari manapun yang menurutmu berkaitan dengan masalah kita sekarang. Mungkin tentang apa aja tentang Icha yang kamu tau," ujar Tsuyoshi.

Aku akan pergi dari Jepang, dan saat Saka mengikutiku, aku akan bunuh dia disana. Jadi, jangan bilang siapa-siapa soal Saka.

Jika itu tentang apa saja tentang cewek itu, Jyutaro akan langsung teringat pada ucapannya kemarin ketika dia membisikkan rencana itu. Sayangnya ia tidak mungkin mengatakan hal itu secara langsung karena akan semakin menimbulkan kesalahpahaman.

Akhirnya Jyutaro menghela napas panjang. "Mungkin aku tau bagaimana rasanya jadi Febi ataupun Shunta yang nggak bisa bilang apapun meski sebenarnya tau."

"Kamu ini kenapa, sih? Emangnya kenapa nggak bisa bilang?" tanya Koki sedikit frustasi. "Kamu jangan bikin masalahnya makin rumit, dong."

"Maaf, maaf. Tapi, soal kemarin, aku emang ketemu dengan Icha untuk minta maaf, kok. Dan setelah ngobrol sama dia, aku juga percaya kalau dia nggak mungkin tega untuk menyewa preman-preman itu," jelas Jyutaro.

"Minta maaf untuk apa?" tanya Tsuyoshi.

Jyutaro menggaruk kepalanya, bingung. Ia sama sekali belum memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. "Begini aja, deh. Mendingan kita ngobrol sama dia juga biar semuanya jelas."

"Itu ide bagus. Mungkin dia juga bisa menjelaskan sesuatu untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini," ujar Hyoma.

"Kalau gitu, nanti aku coba bilang ke dia. Nanti pulang sekolah kita kumpul lagi disini sama dia, gimana?" usul Ryubi.

###

"Aku tuh sebenernya nggak suka diem-dieman gini terus, Han. Kamu kenapa nggak bisa percaya, sih, ke aku. Udah beberapa minggu, loh. Kita mending baikan lagi aja ke Icha sama Febi." Fia mengaduk makan siangnya sendiri. Ia menatap pergerakan tangan Hani yang tiba-tiba berhenti.

"Kalo lo selalu ngomongin masalah ini, mending gue pergi. Muak banget gue denger nama dia." Hani membawa makan siangnya dan berjalan menjauh dari meja yang ditempati Fia.

Pandangan Fia mengikuti langkah Hani sampai cewek itu bergabung dengan meja lain yang penuh dengan siswi dari kelas lain. Ia menatap sedih pada meja yang membuat Hani terlihat sangat berbeda dibandingkan saat cewek itu bersamanya. Ia bisa tertawa bahkan terlihat baik-baik saja, yang sangat berbanding terbalik dengannya.

"Aku juga maunya baikan aja kayak dulu, Fi. Tapi kalo bisa, nggak usah sama Hani." Suara yang menyahut dibelakang Fia membuat cewek itu menoleh. "Omong-omong, aku boleh ikut duduk sini?"

Fia mengangguk mempersilakan Febi untuk duduk di hadapannya. "Tapi kamu kenapa bilang 'nggak usah sama Hani'? Kamu ada masalah pribadi sama dia?"

"Aku takut kamu nggak percaya sama aku kalau ngomong jujur."

"Udahlah, coba bilang aja," desak Fia. Selera makannya sudah sepenuhnya hilang.

Febi menghela napas panjang. "Dulu waktu aku masih pacaran sama mantanku, aku sempet mergokin dia masukin surat ke lokernya temenmu itu."

Fia tertawa kecil mendengar Febi yang seakan ogah menyebut nama dua orang itu. Meski begitu, ia mengerti yang dimaksud ada mantannya, Jyutaro, dan Hani. "Terus? Jadi masalahmu ke Hani cuma karena cemburu?"

"Enggak!" Febi sedikit memukul meja. "Tapi sebelum itu aku emang udah tau kalo dia suka ngasih surat kesana. Dan kalo emang dia sukanya bukan ke aku, aku nggak mungkin sampai marah ke Hani."

"Ya terus masalahnya dimana?"

Febi terdiam sebentar mengatur emosinya. "Di salah satu suratnya, mantanku bilang sesuatu tentang dia yang kerjasama dengan orang lain buat celakain Icha."

Kali ini Fia yang terdiam. Cukup lama sampai Febi berhasil menghabiskan makan siangnya. Kedua siswi itu berada dalam pikirannya masing-masing.

"Aku bisa ngerti kalo kamu nggak mau percaya itu. Tapi aku nggak sebusuk itu sampai harus menjelekkan orang lain." Febi membereskan bekas makan siangnya dan berdiri. "Kalo kamu ada yang diomongin, chat aja."

Cewek itu berjalan meninggalkan Fia yang masih belum berhasil mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya. Ia kembali melirik ke arah Hani yang masih terlihat lebih bahagia disana.

Aku nggak tau harus apa.

.
.
.

17th May 2023.

The 'Cause We Met Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang