AGONY (CHAPTER 5)

63 10 29
                                    

"Anda tidak apa-apa, Dok?" tanya seorang petugas kesehatan yang duduk di sebelahku saat kami dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Suara ambulan yang berdengung terlalu nyaring membuat telingaku terasa nyeri.

"Sudah hubungi keluarganya?" tanyaku tanpa menggubris pertanyaan si perawat tadi.

Dia mengangguk. "Ada perwakilan keluarga menunggu di sana."

"Cek terus suhu tubuhnya, jangan sampai kejang," kataku sambil memerhatikan pria yang tidak sadarkan diri di atas blankar itu.

Aku terpaksa meninggalkan appa lagi akibat insiden tidak terduga ini. Kutekan bagian dalam lengannya yang terus mengalirkan darah menggunakan kemeja milikku yang kulilitkan berulang kali.

"Tekanan darah?"

"Normal, Dok"

"GCS?"

"Sepuluh."

"Oke," aku mengangguk.

Aku tidak bisa melihat ke luar jendela untuk sekedar mencari tahu apa sebenarnya yang membuat laju ambulan ini terasa lebih lambat. Kulihat bibir pria itu semakin pucat. Aku menggenggam dan menggosok-gosok tangannya yang mulai dingin.

Bertahanlah, kumohon. Aku tahu kamu masih di sana dan mendengarkan.

Batinku berkelumit. Aku tidak tahu kekuatan apa yang mendorong dirinya sehingga bisa menyayat sedalam tiga sentimeter di bawah kulit sebanyak tiga kali hanya dengan satu kejapan mataku ketika hendak tidur. Pikiranku lantas menarik titik awal kejadian ini. Kenapa dia harus berakahir di penjara dengan pisau lipat yang tidak tergeledah? Aku mengamati pakaian yang dia kenakan. Tidak begitu rumit. Hanya celana jins warna hitam, dan kaus putih dirangkap hoodie gombrang yang sekarang terkena bercak darah. Mungkin dia menyembunyikan pisau itu di sana. Mataku memicing mengamati resleting tersembunyi di pinggir celana, hampir terlewat olehku kalau saja kakinya tidak sedikit tertekuk. Dia jelas memodifikasi bajunya. Laki-laki itu akan terus berusaha untuk membawa benda tajam.

Pintu di sebelahku terbuka. Dua orang perawat sudah menyiapkan blankar lain di luar mobil. Aku segera melepas kemeja di lengan pria itu dan turun lebih dulu. Kuperhatikan bagaimana mereka memindahkan tubuhnya dan langsung membawanya ke dalam IGD. Untuk sesaat, aku tidak tahu harus melakukan apa. Sambil menenteng kemeja yang penuh darah, aku berjalan lesu ke ruang tunggu dan menghempaskan tubuhku yang terasa babak belur ini di jajaran kursi yang kosong. Kusandarkan kepalaku ke dinding, berharap aku bisa berteleportasi dan kembali ke kantor polisi begitu saja. Rasanya pandanganku mengabur, aku bahkan seperti melihat satu atau dua kunang-kunang. Mataku memejam. Bagaimana kalau aku sampai pingsan di sini? Benar-benar merepotkan.

"Dok," panggil perawat yang tadi bersamaku di ambulan. Aku menoleh padanya.

"Kenapa, Sus?"

"Keluarga korban ingin bertemu. Mereka ada di dalam ruang tindakan."

Aku menelan ludah. Seketika perasaan cemas langsung melanda. Aku tidak tahu apa tindakanku menyuntikkan obat pada laki-laki tadi sudah benar? Rasanya inilah akhir dari impianku. Bisa-bisanya aku menyuntik tanpa mendiagnosa terlebih dahulu. Bagaimana kalau dia bukan penderita schizoaffective? Bagaimana kalau dia hanya berandal tukang cari perhatian? Sekarang aku hanya berharap mereka tidak menuntutku karena sembarangan bertindak. Dengan langkah gemetar, aku mengikuti tubuh si perawat. Kami masuk ke sebuah ruang di ujung lorong. Beberapa orang terlihat berkumpul di sana.

"Permisi." Suara perawat di sebelahku membuat mereka semua berbalik.

Aku ingin sekali melarikan diri. Raut wajah mereka menampakkan kekhawatiran dan mulutku menganga saat kulihat salah satunya juga terlihat kaget dengan keberadaanku.

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang