Aku tidak tahu kalau merayakan sebuah ulang tahun pernikahan bagi orang kaya akan memerlukan banyak hal untuk disediakan. Bagiku mereka seperti akan menggelar resepsi yang sesungguhnya. Ada pengaturan dekorasi, pemesanan kue khusus, gaun, bahkan undangan bagi para tamu.
"Apa rumah kamu nggak terlalu sempit buat nampung undangan sebanyak ini?" tanyaku sambil melihat daftar nama-nama yang akan hadir ketika kami dalam perjalanan pulang sehabis mampir di toko terakhir untuk memesan kue-kue tradisional.
Haejin tersenyum tapi dia tidak langsung menjawab.
"Bukan masalah rumah kamu kecil," koreksiku. "Ngh ... maksudku biasanya pesta-pesta seperti ini kan diadakannya di ballroom hotel atau ..."
"Kita lebih seneng bikin acara di rumah sih. Lagian biasanya nggak semua tamu yang ada dalam daftar itu bakalan datang deh. Sebagian malah cuma ngirim kado, kartu ucapan selamat atau minta maaf karena berhalangan hadir. Suasana rumah yang selalu sepi bikin mama seneng kalau ada kesempatan ngundang orang-orang, tapi karena bertolak belakang dengan appa yang lebih suka keadaan tenang, eomma jadi susah leluasa ketemu sama temen atau saudara-saudara di rumah. Bahkan untuk sekedar acara jamuan makan sekali pun. Jadi acara ini dibuat karena eomma pengen suasana kekeluargaannya lebih kerasa,lebih akrab."
Yah, itu bisa dimengerti. Walaupun ternyata persiapannya jauh lebih rumit ketimbang mengadakan sebuah pesta di restoran atau gedung. Sekarang aku sedikit paham pola pikir kaum expatriate ini walaupun bagiku tetap saja agak di luar nalar.
"Mungkin juga nggak sih semua itu karena kamu belum nikah," celetukku tiba-tiba. Aku sungguh ingin menarik kalimatku barusan namun rasanya lidah ini sudah terlanjur kaku. Sementara reaksi yang ditunjukkan oleh pria di sebelahku hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pikiran kamu cukup konservatif," sahut Haejin.
"Ya biasanya seorang ibu pasti dong punya tuntutan sama anak laki-laki yang sudah dewasa untuk segera menikah dan punya cucu. Aku yakin itu bakalan bikin ibu kamu seneng di tengah situasi seperti ini. Memangnya kamu nggak pernah punya pacar yang dikenalin ke orang tua? Agak mustahil deh."
"Menikah nggak semudah itu, Woong."
"Siapa yang bilang kalau menikah mudah?" tukasku sengit. "Aku cuma mengemukakan sebuah kemungkinan yang paling lumrah tentang kondisi ibu kamu."
Jujur, hatiku kebat kebit saat mengucapkan hal itu. Aku berjaga-jaga seandainya Haejin merasa tersinggung atau merasa urusan pribadinya dicampuri olehku. Namun entah mengapa ada sebuah pernyataan dalam hatiku saat ini, bahwa aku harus memastikan sesuatu. Dia memang baik, mungkin selalu seperti itu pada semua orang. Aku tidak mau besar kepala karena dia selalu memperhatikan dan melindungiku. Terlepas dari tanggung jawabnya sebagai orang yang membayarku bekerja untuk keluarganya.
Lalu keberatan lain muncul. Bagaimana seandainya aku sudah terlanjur merasa hangat dan nyaman setiap kali kami bersama seperti ini dan ternyata di luar sana dia sudah punya kekasih? Bukankah aku akan terlihat jauh lebih tolol juga menyedihkan? Sementara ingusku pernah mengalir deras saat menangis di pelukannya waktu itu. Aku langsung bergidik membayangkan kejadian yang membuatku malu setengah mati.
"Aku dengar soal kejadian hari ini." Tiba-tiba saja Haejin mengalihkan pembicaraan.
Baiklah. Tidak ada alasan bagiku untuk bersikeras memancingnya bercerita soal keberadaan wanita beruntung yang jadi pacarnya sekarang.
"Kejadian apa ya?"
"Pasien kita, Suyeon."
"Ah itu." Tanganku refleks mengusap leher yang tadi pagi tertusuk jarum suntik. "Pengalaman seru lain sih kalau buatku, kamu nggak usah khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...