Aku tidak pernah menyetir mobil ke luar kota. Dan itu membuat kecepatan speedometer di hadapanku hanya berkisar di bawah 90km per jam. Sedangkan sebentar lagi kami akan memasuki kawasan pintu tol. Kudengar Jeno berdeham setelah sebelumnya serius menekuni pekerjaan lewat tablet yang selalu dia bawa kemana-mana.
"Apa kita nggak bisa lebih cepet?"tanyanya sambil memperhatikan sekeliling.
"Aku_ saya belum pernah nyetir sejauh ini, Pak."
Aku mencoba untuk tidak menatap pada wajahnya ketika mengakui hal itu. Di depanku sebuah mini bus berbelok secara tiba-tiba hingga membuatku kaget dan menginjak rem sangat keras dan menimbulkan bunyi decitan. Jeno mendecih.
"Ya udah coba minggir dulu," Jeno menunjuk ke sisi jalan sebelah kiri.
"Eh, kenapa?"
"Saya bilang minggir."
Aku akhirnya mengangguk dan menyalakan sen lalu perlahan menepikan mobil sedan bmw milik kantor itu. Telapak tanganku sampai basah akibat keringat yang dihasilkan oleh rasa gugup.
"Ma-maaf, Pak. Mungkin saya bisa carikan supir sekarang," kataku saat mendadak teringat pada wujud Jaemin. Kalau perlu aku akan rela berlutut agar dia mau ikut dengan kami.
"Enggak usah biar saya yang nyetir."
"Hah?" aku menoleh terkejut.
Dia mendengus sambil melepas seatbeltnya dan keluar dengan cepat.
"Ayo turun. Kenapa kamu masih diem di situ? Kita bisa telat sampai ke lokasi," katanya dengan sedikit bentakan.
Selain masih dilanda kantuk, aku juga tidak bisa tidur semalaman karena mati lampu. Aku memang sengaja tidak tidur di rumah sakit agar tidak perlu begadang tapi Tuhan akhir-akhir ini selalu berkehendak lain dengan semua harapanku. Aku sudah kehilangan konsentrasi sebanyak ini seolah sebelah otakku masih belum berfungsi dengan baik. Dengan tergesa aku akhirnya turun dan beralih tempat duduk.
"Coba buka file di tab saya, ada beberapa meeting yang akan kita lakukan hari ini. Kamu harus hubungi setiap pihak jangan sampai ada yang membatalkan jadwal secara mendadak," perintah Jeno sambil mulai menjalankan mobil.
Aku mengangguk. Mencocokkan semua data klien yang akan kami temui dengan catatanku. Aku mulai menghubungi setiap sekertaris atau asisten para pejabat perusahaan itu sampai kami sepakat soal tempat dan waktu.
"Meeting roomnya harus saya cek lagi setelah kita sampai, Pak."
"Iya jangan lupa fasilitas pendukungnya."
Aku mengangguk dan kembali menghubungi pihak hotel untuk memastikan semua akomodasi sudah terpasang.
"Kamu udah sarapan?"tanya Jeno tiba-tiba.
Mana sempat aku sarapan. Masih untung aku bisa mandi dan memakai baju yang tidak diprotes olehnya dalam keadaan mata setengah terpejam ketika memilah milih isi lemari pakaian.
"Bapak mau sarapan? Di pintu keluar tol kita bisa ke rest area."
"Saya bawa bekal sendiri,"sahutnya.
"Oh, kalau gitu kita berhenti dulu atau bagaimana?"
"Setengah jam lagi," dia melihat arloji di tangannya sekilas.
Well, tidak begitu mengejutkan sih bagiku. Ya dia pasti punya asisten rumah tangga yang siap sedia bangun sejak subuh demi membuatkannya bekal makanan. Hanya saja aku sedikit heran pada kebiasaan makannya yang cukup sederhana. Dia tidak pernah makan di luar. Kalau ada acara meeting yang kebetulan berbarengan dengan jam makan siang, dia akan menyantap bekalnya terlebih dahulu di kantor. Atau kalau belum lapar dia akan memakannya setelah pulang meeting walaupun kupikir sudah terlalu telat karena dia baru kembali sore hari. Mungkin dia memang lebih mempercayai makanan rumahan untuk dimasukkan ke perutnya. Entahlah, tapi itu cukup mengurangi beban kerjaku. Setidaknya aku tidak perlu repot-repot mengingat makanan dan restoran apa yang menjadi favoritnya. Apa yang dia tidak suka dan apa yang harus selalu ada untuk dia santap.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...