Ketika memasuki usia dua puluh tahunan, aku pernah mengalami mimpi buruk yang aneh. Beberapa di antaranya masih sangat kuingat dan tetap membuat bulu kudukku merinding sampai sekarang. Selain wajah pria tertutup bayangan yang selalu mengejarku seperti penguntit ketika aku berjalan sendirian di malam hari, aku juga memimpikan hal-hal yang berhubungan dengan alam. Contohnya aku pernah bermimpi di sore hari matahari bermunculan sampai lima buah. Mereka tersebar di beberapa titik langit dan yang lebih mencekam adalah banyaknya helicopter berseliweran.
Entah apa yang mereka bawa, aku sempat berpikir semua orang sedang diselamatkan satu per satu walaupun aku tidak tahu kemana tujuannya. Lalu mimpi yang tidak kalah aneh ketika kilat menyambar-nyampar sampai ke jalanan aspal, padahal siang hari dan sama sekali tidak turun hujan. Semua itu jelas membuatku berpikir kalau mungkin saja aku sedang berada di tengah-tengah kiamat.
Aku terjebak dalam ketakutanku sendirian. Ketakutan yang luar biasa. Ditambah tidak ada orang yang bisa menolongmu, semua itu jelas membuat dirimu merasa lebih baik mati hingga tidak perlu mengalami hal buruk apapun.
Dan kejadian tadi malam adalah kiamat di duniaku.
Mataku terbuka dengan cepat. Seingatku, tadi malam aku tergeletak begitu saja di lantai setelah membaca surat perjanjian yang dibuat oleh Juyeon dan dia meninggalkanku untuk menemui teman-temannya. Namun pagi ini, tubuhku sudah berada di kasur empuk beraroma mawar yang lembut. Sinar mentari menyelinap lewat sela-sela tirai. Membuat kelopakku langsung memicing. Sebuah kesadaran membuatku terperanjat. Kusibakkan selimut yang menutupi tubuhku dengan cepat dan merasa lega ketika pakaianku masih utuh. Kepalaku menoleh ke sisi lain tempat tidur yang luas ini. Juyeon tidak ada, tetapi terlihat berantakan seperti seseorang pernah terlelap di sana.
"Pagi sayang."
Aku terkesiap mendapati Juyeon muncul dari ruang ganti baju. Dia menghampiriku sambil mengancingkan sebagian kemejanya. Aku menatap wajah itu. Senyumannya yang selalu seperti anak kecil, dengan mata menyipit ceria, membuatku sempat berpikir kalau dia mungkin melupakan apa yang tadi malam disodorkannya padaku. Dia lalu duduk di hadapanku tanpa menyelesaikan tiga kancing teratas bajunya.
"Lo pingsan semalam. Jangan bikin gue khawatir kayak itu lagi ya?"ucapnya lembut.
Bibirku masih terdiam. Aku pingsan? Rasa-rasanya aku tidak sakit. Apa itu efek perasaan syok?
"Gue lihat lo belum menandatangani surat perjanjian kita, Woong. Lo butuh waktu untuk berpikir? Hmm?" dia memiringkan kepala dan membulatkan matanya.
"Kenapa lo melakukan hal ini?"suaraku terdengar serak. "Gue menikah sama lo bukan untuk menjalani pernikahan yang terdengar seperti omong kosong. Jangan sampai orang-orang diluar sana membenarkan spekulasi yang mereka buat tentang kita, Juy."
Dia menghela napas. "Lo masih belum paham?"dia menaikkan satu kakinya ke atas kasur lalu ditekuk santai.
"Gue udah cukup merasa sangat buruk dengan menjalani pernikahan yang ditempeli banyak rumor dan dilecehkan oleh sebagian orang kayak gini,"imbuhku. "Dan gue nggak mau memperlihatkan pada mereka bahwa gue memang pada akhirnya nggak akan bisa bertahan dengan keputusan gue atas elo."
"Woong, mereka akan melupakan apa tujuan kita menikah setelah dua tahun berlalu. Lagipula kalau berhasil, kita mungkin bisa memperbarui perjanjiannya."
Aku menggeleng tidak percaya dengan kalimat Juyeon barusan. Dia memang tidak sepintar Jeno, tapi aku tidak tahu kalau dia seceroboh ini.
"Biar gue jelasin sesuatu,"dia menggenggam tanganku. "Pertama, kita akan memasuki kehidupan papa. Itu sangat beresiko, Woong. Kita nggak mungkin datang kesana seperti polisi penasaran tanpa senjata. Kedua, kita harus memikirkan jalan keluar sejak dini kalau terjadi hal-hal yang nggak diinginkan. Plan B, plan C, apapun itu. Gue nggak mau disebut pecundang lagi sama papa. Sudah cukup dia menghina dan meremehkan gue selama ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...