Aku menyeruput kopi yang kuseduh sambil merasakan kira-kira apa kurangnya. Tapi tentu saja kopi instan seperti ini mau ditambah-tambah apapun tetap tidak bisa menyamai enaknya kopi berlambang puteri duyung di seberang kantor. Mau bagaimana lagi, kalau akhir bulan, jangankan membeli kopi tiap pagi, makanpun cukup seadanya di kantin kantor. Memang tidak begitu enak tapi kan kalau judulnya gratis lumayan bisa mengurangi biaya resiko perut.
Tapi pada dasarnya aku memang tidak pernah keluar dari gedung tempatku bekerja setiap kali jam makan siang. Cukup memakan bekal yang dibuatkan kak Minhyun –kalau dia sempat- atau mengganjal perutku dengan cemilan yang biasa aku stok di laci meja.
“Woeeyyy Woong, rajin banget lo sepagi ini udah nangkring di pantry.”
Aku mendelik pada Jaemin yang melambaikan sebelah tangannya sambil tersenyum riang.
Entah kutukan apa yang harus kuterima dalam hidup ketika aku tidak bisa melepaskan diri dan berada jauh dari makhluk goblok yang satu ini. Setelah lulus sekolah, kami memang kuliah di tempat yang berbeda. Tapi entah bagaimana pada suatu hari di tengah perisiapanku wisuda, Jaemin mengajakku untuk melakukan interview bareng di perusahaan ini. Dan aku tidak tahu, akhirnya kami berdua diterima.
Menakjubkan, bukan?
Sebelumnya aku tidak sempat merasa heran karena terlalu bahagia ketika aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan bahkan ketika kuliahku belum benar-benar dinyatakan lulus lewat seremonial wisuda. Tapi semakin kesini aku semakin yakin kalau Jaemin bisa saja memanipulasi keadaan. Yang kudengar,pamannya adalah salah satu rekanan bisnis direktur perusahaan kami dan yaahh...bisa ditebak selanjutnya apa kan?
“Ngantuk gue,” jawabku sambil duduk di sebuah kursi makan.
Jaemin membelakangiku ikut menyeduh kopi.
“Lo masih insomnia?” tanyanya.
“Ya begitulah.”
“Jadwal terapi lo tetap berjalan kan?”
“Udah mulai dikurangi karena seenggaknya gue sekarang bisa tidur walaupun hanya dua atau tiga jam.”
Dia mengaduk kopinya sambil duduk di sebelahku.
“Udah mau lima tahun, Woong. Lo yakin nggak apa-apa dengan terus mengkonsumsi obat tidur?” dia menatapku khawatir.
Aku menggedikkan bahu dan mengamati cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“Gue harap lo cepet sembuh dan bisa menjalani kehidupan lo senormal dulu lagi. Ya walaupun gue tahu itu nggak mudah,” ungkap Jaemin tulus.
Aku tersenyum padanya. Badanku meremang setiap kali bayangan kejadian itu melintas tanpa permisi di benakku. Dia benar, ini sudah berjalan cukup lama dan sepertinya aku memang harus mulai melupakan dan melanjutku hidupku kembali pada kenormalan yang hakiki.
“Woong, lo dipanggil Bu Min-Ah,”kata Hyori yang datang menyusul ke pantry.
“Eh, tuan putri udah dateng?” Jaemin langsung berdiri. Matanya selalu kelihatan berbinar setiap kali mendengar nama atasan kami disebut.
“Diem lo belut aer, yang dipanggil kan gue.”
“Lah, kita satu tim loh, inget nggak? Jadi kalau lo dipanggil otomatis gue juga akan ikut dipanggil kan?”
“Lo pikir kenapa cuma gue yang dipanggil? Itu karena dia nggak mau berurusan sama lo.”
Aku melengos pergi meninggalkan Jaemin yang terus memanggil namaku.
Aku bergegas mengambil berkas laporan di mejaku dan mendatangi ruangan Han Min-Ah, atasan yang merangkap jadi koordinator divisiku. Setelah kuketuk pelan pintu ruang kerja itu dan kudengar suaranya dari dalam, aku membuka handle perlahan. Kulihat Min-Ah sedang menelepon seseorang sambil mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tas kerjanya. Dia menunjuk kursi padaku sebagai isyarat agar aku duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...