Kukira pesta rumahan tidak akan seramai ini. Bukankah Haejin waktu itu mengatakan kalau mereka hanya akan mengundang relasi terdekat juga sanak saudara? Akan tetapi tamu undangan yang 'hanya beberapa' itu, sekarang justru terlihat seperti separuh orang dari suatu wilayah datang semua. Aku menggigit bibir bawahku cemas. Aku sungguh merasa asing di sini. Padahal barusan Haejin hadir bersamaku, tapi tanpa kusadari dia sudah bergerak menjauh menyapa rekan dan saudaranya. Mungkin aku harus naik ke atas dan menggedor pintu kamar Jeno untuk membujuknya lagi. Laki-laki itu menolak turun karena malas berhadapan dengan orang-orang. Aku sungguh tidak enak saat melihat ekspresi kekecewaan yang sempat terbesit di wajah Nyonya Lee karena aku hadir tanpa membawa serta anaknya.
Aku menghela napas penuh kejengahan sambil menggeser posisi berdiriku saat ini ke sudut yang lebih tidak terjangkau oleh tatap mata para tamu. Kuambil gelas wine kedua dari baki yang dibawa oleh pramusaji. Agak takjub juga sih, apa keberadaan pria berseragam itu juga bagian dari paket katering seharga puluhan juta rupiah yang kami pesan kemarin? Benar-benar fantastis ya, cara orang kaya membuang uangnya. Namun seharusnya aku tidak usah terlalu heran sih. Selama beberapa bulan aku tinggal di sana, aku tidak akan menyalahkan kalau pada akhirnya mereka mengeluarkan semua uang yang mereka punya untuk acara satu hari ini.
Aku mengernyit merasakan kekuatan aroma minuman itu dalam lidahku. Sebenarnya aku sedang menunggu reaksi dari alkohol yang kusesap. Bukankah seharusnya ada semacam sensasi pusing, seperti datang ke dunia yang berbeda, atau bicara ngawur?
"Sudah aku duga acara ini bakal ngebosenin."
Suara berat yang tiba-tiba saja hadir di belakang membuatku tersentak. Kulihat Jeno menyeringai bahkan langsung merebut gelas yang kugepang.
"Aiihhh ..." Keningnya berkerut saat menyesap wine itu. "Mereka nggak punya yang lebih baik dari ini? Aku kayak nelen soda yang dicampur sama air kencing."
Aku lantas meraih lagi minuman itu.
"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Kamu bosen diem sendiri di kamar? Atau nggak tenang karena tahu aku di sini?"
Jeno tergelak. "Laahh udah mabok aja nih orang."
Kepalaku menggeleng terlalu tegas. "Aku justru nggak ngerasain apa-apa. Mending kamu gabung sama mereka gih," tunjukku ke tengah-tengah tamu dengan gerakan dagu yang samar.
Kakiku melangkah mendekati meja panjang di depan kami dan mencomot potongan kue tart berbentuk kotak-kotak kecil.
"Aku turun ke sini tuh buat mastiin kamu nggak ngelamun sendiri kayak alien terdampar, bukan mau nimbrungin mereka," jelas Jeno. Dia kembali mengekor, ikut memerhatikan berbagai macam kudapan di atas meja.
"Hish, kamu udah cuci tangan belum itu?" Aku menepis lengannya sambil menatap Jeno seperti seorang anak nakal. Membuat Jeno langsung mengamati jari-jemari.
"Kayaknya belum," jawab Jeno acuh. "Gimana kalau kamu suapin? Aku mau kue yang ini nih."
Aku mendelik malas. "Wastafelnya sebelah sana. Jangan macam-macam di sini, Jen."
"Malas." Dia hendak mencomot cup cake blueberry di hadapan kami.
Aku tidak punya pilihan, tapi bukan berarti aku juga akan menyuapinya di tengah ramai orang-orang hilir mudik yang sesekali melempar tatap pada kami. Kuraih beberapa lembar tisu di dekat deretan cangkir bersih dan membungkus kue itu sebelum kuserahkan padanya.
"Makan yang bener, jangan sampe bikin baju kamu kotor."
Jeno menyeringai. Dia terlihat merasa harus cukup puas dengan tindakanku barusan. Saat tengah memerhatikannya makan dengan antusias karena mungkin rasa kue yang enak, Tuan Lee menghampiri kami. Aku langsung membungkuk samar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...