Aku mencoba menyamai langkah Jeno yang tenang tapi lebar itu menelusuri lorong rumah sakit. Sambil membawa parsel buah di tangan kanan, dan kue di tangan kiri, tubuhku seolah harus bekerja dua kali lebih keras agar tidak menjatuhkan kedua barang itu. Untungnya dia bersedia membawa keranjang bunga yang ternyata berukuran cukup besar. Wajahku hampir menabrak punggungnya saat dia berhenti tiba-tiba di tengah selasar.
"Ke-kenapa?"tanyaku kaget.
Dia berbalik dan menatapku.
"Kalau tidak ada yang bertanya sama kamu, jangan mengatakan satu kalimat apapun."
"Hah?"Aku melongo.
Memangnya siapa yang selalu banyak omong? Selama ini aku sudah cukup melakukan tugasku sebagai anak buah yang tidak bertingkah kok.
Jeno mengangguk samar lalu kembali mendahuluiku masuk ke sebuah kamar president suite. Di luar hujan turun sangat deras, dan aku tidak tahu mengapa dia tetap memaksa pergi padahal biasanya kalau hujan seperti ini meeting yang cukup penting pun akan dia batalkan. Kami memasuki sebuah ruangan yang cukup besar untuk sekedar dijadikan ruang rawat inap. Aku bahkan melihat ada dapur dan meja makan di sisi lain lalu satu set sofa untuk menyambut tamu.
Hal pertama yang kuamati adalah seorang pasien wanita berwajah pucat yang sedang tertidur. Rambutnya dibiarkan tergerai dan di tubuhnya terpasang beberapa alat untuk mengecek kinerja alat vital seperti detak jantung dan denyut nadi. Selang di tangannya terhubung dengan labu-labu bergelantungan di tiang infus berisi cairan pink dan kuning. Pandanganku beralih pada pria paruh baya yang begitu familiar tapi aku tidak tahu dimana pernah melihatnya. Sambil berusaha mengingat, dia mempersilahkanku dan Jeno untuk duduk di sofa.
"Tolong tinggalkan kami sebentar," katanya dengan suara berat dan berwibawa kepada seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu mengangguk hormat lalu keluar ruangan.
"Bagaimana kabar kamu?"tanyanya pada Jeno.
Jeno tersenyum dan mengangguk. "Baik, Pak."
"Semua tender sudah kita pegang, saya tinggal menunggu eksekusi di berbagai sektor. Bagian mana yang sedang kamu tangani sekarang?"
"Kami sedang menyelesaikan pembukaan hotel di Bali Pak, sambil mengontrol beberapa resort lounge baru."
Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil melirikku sekilas.
"Kelihatannya beban kerjamu sedikit berkurang. Saya dengar kamu sudah memilih sekertaris yang cukup membantu."
"Iya Pak," Jeno menautkan jari jemarinya di atas bentangan kaki.
"Siapa namamu?" tanya pria itu sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. Sekarang dia beralih padaku.
"Hwanwoong, Pak." Aku langsung membungkuk sopan.
"Betah kerja sama Jeno?"
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Apa dia merepotkanmu?"
"Seringnya begitu," seringaiku. "Tapi saya lama-lama terbiasa."
Aku berhasil membuat pria itu tertawa pelan sementara Jeno melirikku cemas.
"Kalian masih muda dan harus banyak belajar. Perusahaan kita bukan perusahaan baru yang berumur lima atau sepuluh tahun. Mungkin usianya sendiri hampir mendekati usia saya."
Dia menjulurkan tangan guna meraih cangkir kopi yang isinya tinggal setengah. Ekspresinya terlihat kurang senang ketika menyeruput cairan yang mungkin sudah mendingin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...