AGONY (CHAPTER 7)

61 14 15
                                    

Aku tidak bisa menyimpulkan bahwa udara di sekitaran komplek ini jauh lebih baik daripada di kisaran rumahku dulu. Setelah melakukan beberapa kali gerak pemanasan ringan, aku berlari mendahului Jeno. Rasanya sudah sangat lama aku tidak pernah punya kesempatan untuk berolahraga. Kuliah dan jadwal jaga membuatku lebih mengabaikan hal-hal bermanfaat seperti ini.

"Kamu bilang ini jogging?" tanya Jeno yang dengan cepat menyusul langkahku. Dia berdecih sebelum akhirnya berlari lebih cepat.

Aku ikut berdecih. Padahal tadi dia terlihat paling ogah mengikuti kegiatan ini.

"Heh! Emangnya kita lagi pelatihan militer? Santai aja kenapa, sih?" tanyaku dengan tarikan napas pendek-pendek saat mensejajarkan tubuh dengannya. Padahal aku bermaksud melakukan pendekatan dengannya agar bisa mengobrol sedikit demi sedikit.

Dia tetap menatap lurus ke depan. Rupanya kedua telinga anak itu nyaman dijejali earphone. Aku tidak punya pilihan selain menyibukkan diri dengan mencari jalan ke luar. Kepalaku seketika menjadi terlalu pusing setiap harus memikirkan soal metode penyembuhan paling tepat yang akan kulakukan padanya. Tadi malam aku sempat membuka-buka lagi buku bacaan dari semester awal. Selain belum bisa mendiagnosis apa yang menjadi masalah dalam diri Jeno, untuk kasus ini aku jelas tidak bisa menerapkan teori klise seperti mengatur pola pikir, menerapkan sugesti untuk melawan rasa takut, atau bahkan melakukan teknik hipnoterapi. Belum ada yang bisa kusimpulkan secara menyeluruh walaupun dia pernah kambuh satu kali di hadapanku.

Aku celingukan saat kami memasuki kawasan komplek yang rumah-rumahnya masih terlihat kosong.

"Jeno! Puter balik ya?" kataku sambil menepuk lengannya.

Dia menoleh sekilas, tetap berlari.

"Nanti di depan ada jalan buat muter arah kok."

Dia malah mempercepat larinya padahal aku sudah hampir kehabisan napas. Jeno tidak peduli saat aku berhenti dan susah payah mengatur udara yang semakin sulit kuhirup. Tubuhku membungkuk, aku tersengal-sengal dengan berisik. Jeno tidak sedikit pun berbalik untuk menunggu.

Laki-laki sialan itu pasti sedang mengerjaiku. Dia tidak berlari sesantai intruksi di awal dan malah melakukan teknik maraton seratus meter dengan entengnya.

GUK!

Aku tersentak kaget. Saat menoleh kulihat satu, ah tidak, dua ekor anjing germany sheperd sedang menyalak ke arahku. Sial! Darimana datangnya makhluk-makhluk itu? aku segera menegakkan tubuh.

GUK!

Salah satunya menggonggong lagi, bahkan melangkahkan kaki-kakinya untuk mendekat.

Aku mundur perlahan. Kubalikkan badan dan mengambil ancang-ancang untuk berlari. Tenagaku seolah terisi begitu saja untuk melarikan diri dari bahaya. Aku tidak habis pikir kenapa anjing berbahaya seperti itu dibiarkan berkeliaran. Mataku terpejam panik. Ternyata mereka masih mengejar, bahkan mungkin lebih cepat. Aku tidak mau mengambil resiko diserang dari depan kalau berbalik untuk melihat sedekat apa kedua anjing itu.

"Jenoooooo!!!" teriakku.

Tapi aku bahkan tidak melihat batang hidungnya. Kemana si keparat itu? Aku terus berlari seperti babi hutan. Aku tidak tahu wilayah ini. Dan parahnya, aku tidak melihat siapa pun untuk diminta pertolongan. Saat hendak berbelok di ujung jalan, kakiku tersandung polisi tidur yang tidak kulihat.

Aku tahu aku akan terjatuh saat itu juga. Namun rupanya sensasi diserang oleh kedua anjing yang terlihat agresif itu lebih mengerikan. Lututku sakit membentur jalan aspal. Aku tidak punya waktu untuk merasakannya karena salah satu dari anjing berwarna hitam dan cokelat di hadapanku saling menggonggong dengan lidah terjulur meneteskan air liur. Yang bertubuh lebih besar itu bahkan terlihat sudah siap untuk melompat untuk menyerangku. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mengangkat lenganku untuk melindungi wajah sambil menunggu dihabisi oleh mereka.

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang