"Jeno."
"Hmm?"
"Apa yang kamu sukai dari Elsa sampai-sampai hubungan kalian terjalin selama itu?"
"Aku males ah bahas tentang dia kalau kita lagi berduaan gini."
"Jawab saja, aku penasaran."
"Kenapa? Kamu takut kesaingin?"
"Ya udah kalau kamu nggak mau jawab. Aku balik kamar aja."
"Dih nyebelin. Sekarang kamu udah berani ngerajuk, ya? "
"Tinggal jawab aja, kan? Kenapa kamu selalu berkelit kalau diajak bahas soal mantan? Kamu masih cintai sama dia?"
"Denger ya, sayangku yang bawel dan galak. Aku memang pernah cinta sama dia. Kita bahkan udah berencana untuk menikah. Masalahnya selama ngejalin hubungan, aku nggak pernah berusaha ngenalin dia sama Appa.Karena aku tahu akhirnya bakal kayak gimana. Appa akan menyingkirkan siapa pun yang dia rasa nggak pantes buat anak-anaknya."
"Kalau gitu aku juga tinggal nunggu Appa kamu menyingkirkanku."
"Aku nggak akan ngebiarin hal itu terjadi lagi. Bahkan meski harus membuatku angkat kaki dari rumah ini. Appa atau siapa pun nggak akan bisa mengacak-acak, apalagi mengatur hidupku sekarang."
"Jadi apa yang kamu suka dari Elsa?"
"Astaga nih anak. Ya karena cuma dia orang yang mau diajak berjuang dan bertahan. Aku paling nggak suka kalau dalam satu hubungan harus menyerah tanpa perlawanan. Itu artinya nggak ada lagi kepercayaan untuk saling menguatkan."
***
Aku berusaha cukup keras, mengubah posisi tubuh agar lebih dekat dengan teralis di hadapanku saat ini. Sungguh rasanya sangat membosankan diam di sebuah ruangan sempit tanpa pemandangan apapun. Tanganku menggapai besi bercat putih itu dan mencengkramnya erat. Sambil menahan sakit di kisaran pinggang, aku menarik lagi badanku sampai berhasil bangkit dari duduk. Rasa nyeri di tempurung lutut dan tulang panggul langsung menjalar. Kakiku gemetaran meski hanya melangkah satu kali. Suara erangan tertahan keluar dari bibirku yang terkatup. Aku terus mencoba merapatkan diri pada jendela itu sampai keningku benar-benar menyentuh teralis. Kutoleh kursi roda di belakangku. Benda itu terasa sangat jauh sekarang.
Aku menyeret lagi tungkaiku ke sebelah kiri. Satu langkah saja rasanya seperti meremukkan tulang kaki ini. Namun aku tidak berhenti. Bagiku terperangkap di sini terlalu lama, jauh lebih mengerikan. Suasana yang selalu hening, membuat pikiranku semakin lancang berbicara. Sebuah suara terus menerus mengatakan bahwa akulah penyebab semua kekacauan ini terjadi.
"Nggghhh..." erangan tertahan kembali meluncur dari bibirku saat mencapai sisi jendela.
Sekarang aku berhadapan dengan nakas kecil di samping tempat tidur. Mataku menatap sesuatu yang berkilat diterpa lampu kamar. Ada dorongan kuat dari dalam diri ini sehingga pergerakan pun jadi lebih lebar demi bisa menggapai benda itu.
Ini semua salahmu, Hwanwoong! Seandainya saja kamu tidak pernah mudah tersentuh oleh ucapan manis, maka kamu akan membuat dirimu lebih berguna. Sekarang semua terlambat dan kamu hanya terlihat menyedihkan. Kamu pikir Jeno akan mencarimu? Tidak sama sekali. Dia sudah kamu kecewakan dan kamu sakiti terlalu dalam. Kamu mengangkat perasaanya lalu kamu jatuhkan tanpa ampun. Sekarang lihatlah! Kamu menjadi beban bagi ayahmu sendiri, padahal kamu tahu dia belum sepenuhnya pulih. Kamu pikir semua keadaan ini membuatmu masih berarti?
Tanganku gemetaran menangkap pisau buah yang tergeletak di samping piring kecil itu. Nyeri yang menghentak dari pergelangan kaki membuatku langsung jatuh berlutut di lantai setelah berhasil menggengamnya. Pisaunya kecil dan ramping, namun berkilat penuh kekuatan. Aku mengepalkan tangan sebelah kiri sambil mengarahkan ujung pisau pada alur-alur nadi berwarna biru hijau yang terlihat. Mataku terpejam saat perih menyebar di sayatan kulit yang pertama. Tetes cairan kental dan merah bergulir pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...