"Menurutmu mengapa Bapak memasukkan nama Erin dalam salah satu kandidat talent di Singapura?"tanya Jeno setengah bergumam pada Haejin yang sedang memilah milih berkas di hadapannya.
Hari beranjak larut ketika mereka sampai ke tahap penilaian CV. Sementara sejak siang tadi mereka sudah bertemu dengan semua talent secara langsung dan jujur saja Jeno sama sekali tidak puas dengan keberadaan Erin. Meskipun prestasinya selama ini tidak diragukan tapi dia menerima pengaduan dari beberapa tamu beberapa waktu terakhir. Mereka yang didampingi oleh Erin kerap kali bertengkar akibat sikap perempuan itu. Bukan seperti Erin yang dia ketahui, Erin yang sekarang lebih berani memprotes langsung hingga memprovokasi mereka.
"Saya dengar dia sedang menjalani terapi kejiwaan. Baru satu bulan mengkonsultasikan dirinya pada seorang psikiater," suara Haejin terdengar setelah pria itu lebih memilih fokus pada semua berkas di hadapannya.
Alis Jeno terangkat. Itu sebuah kabar yang mengejutkan.
"Bukankah itu seharusnya menjadi catatan merah? Saya tidak berharap dia datang kemari dengan keinginannya menggarap lahan baru di Singapura sebagai pijakan karir."
Haejin menatap Jeno. Dia sudah enggan melihat kemunafikan pria itu. Baginya Jeno hanyalah sosok yang lebih memilih berpura-pura peduli dengan kualitas perusahaan serta semua yang terkait di dalamnya, lalu menggali informasi untuk kepentingan ia sendiri. Sejak dahulu, Jeno selalu menjadi pengecualian istimewa bagi Tuan Na. Hingga tidak terhitung berapa pelanggaran pria itu, tetap saja Tuan Na selalu meloloskannya. Membuat ruang gerak Haejin untuk menyelesaikan beberapa permasalahan semakin sempit. Terutama soal Hwanwoong. Pemuda yang sangat ingin dia bunuh dalam kurun waktu terakhir.
"Bukan talent, posisi yang sebenarnya dia incar,"sahut Haejin dengan nada seolah informasi itu hanya dia yang tahu.
"Bukan?"Jeno mencondongkan tubuh.
"Bapak merasa talent adalah posisi yang tidak pantas untuk kredibilitas Erin selama ini. Terlepas dari beberapa komplain, itulah sebabnya mengapa Singapura dirasa lebih baik untuk membuat Erin berhenti mencari masalah. Yang dia butuhkan hanya uang,"pertama Haejin mengacungkan jari telunjuk. "Dan tempat untuk melarikan diri," lalu mengangkat jari tengah hingga membentuk huruf V.
"Dia sedang melarikan diri dari apa? Hutang?"
Tanpa sadar Haejin berdecak sinis. Bukannya ia tidak mau menaruh hormat pada atasannya itu.Tapi ternyata selain masalah pekerjaan, otak Jeno agak kurang tajam mencerna situasi.
"Kalau Erin memang memiliki tempat sendiri di mata Tuan Na, hutang jelas bukan masalah bukan?" tukas Haejin.
"Hutang yang mengejar seumur hidup bisa jadi masalah, terutama bila dilakukan oleh anggota keluarga sendiri. Seseorang berhasil menjadi anggota dewan bukan berarti ia bisa hidup tenang dan nyaman. Banyak pihak akan menuntut balas budi, atas apa yang telah mereka lakukan dulu demi mengusung si wakil rakyat supaya bisa duduk di kursi panas."
Baiklah, mungkin Haejin terlalu cepat mengambil kesimpulan terkait kemampuan otak Jeno. Tapi kilatan mata Haejin langsung terlihat ketika dia siap mengeluarkan sebuah informasi sebagai senjata yang dia pikir sanggup membuat Jeno terpukul.
"Bapak benar,"Haejin mengangguk. Dia sengaja mengeluarkan ekspresi wajah terkesan atas kejelian Jeno. "Erin memiliki masalah keluarga yang cukup berat selama ini. Dia selalu... dibebani oleh keberadaan ayahnya."
Sampai di situ Haejin berhenti demi melihat ekspresi Jeno. Tapi Jeno masih terpaku dan memilih untuk fokus pada apapun yang akan diucapkan oleh Haejin. Sekarang tingkat kewaspadaannya terhadap pria itu satu level lebih tinggi. Bukan tidak mungkin mereka akan saling membunuh setiap kali ada kesempatan. Keduanya hanya tinggal menunggu waktu sebelum mereka akhirnya mencetuskan perang terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...