AGONY (CHAPTER 6)

53 10 37
                                    

"Kamu lebih senang Appa pergi? Apa selama ini Appa memang selalu menjadi beban buat kamu?"

"Enggak, Appa. Mana mungkin. Tolong jangan salah paham. Aku ngelakukan ini karena aku sayang dan aku ingin Appa menerima perawatan terbaik. Kita berdua udah berusaha, Appa juga tahu seberapa keras aku mencoba. Aku tetap nggak bisa jadi dokter yang tepat untuk Appa."

"Kamu seperti ibu kamu, kalian tidak pernah menginginkan keberadaan Appa."

"Tolong berhenti bicara seperti itu. Ini cuma sementara, Appa. Aku janji. Setelah Appa membaik, aku pasti datang dan jemput Appa pulang. Aku cuma ingin Appa kembali seperti dulu. Appa nggak tahu kan, seberapa besarnya aku membutuhkan Appa?"

"Appamu yang dulu sudah lama mati. Tepat setelah kamu membiarkan eomma kamu pergi begitu saja. Baiklah kalau kamu ingin Appa di sini, tapi ingat, jangan pernah kamu menemui Appa lagi. Appa juga tidak mau melihat wajah kamu."

Denting kesunyian yang aneh memenuhi seluruh kabin mobil. Pikiranku menerawang, atau mungkin sebenarnya tertinggal di Spring House. Sulit sekali mengatakan pada diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa yang kulakukan saat ini sudah tepat bagi ayahku. Aku dipenuhi perasaan khawatir, bahwa appa akan membenciku jauh lebih besar setelah ini. Sepanjang pulang aku terpaksa dibekali oleh penyesalan yang mungkin sebenarnya tidak perlu. Lalu tujuanku selanjutnya membuat perut ini semakin mual. Aku dipenuhi oleh rasa cemas yang menggelayuti.

Tarikan napasku terasa begitu tegang mengaliri paru-paru. Terutama setelah mobil memasuki sebuah kawasan perumahan elit. Kujilat bibirku yang terasa kering.

Benarkah ini keputusan yang tepat? Ah sial.

Aku sering melakukan kebodohan, dan setelahnya dilanda panik yang tidak mau hilang. Namun rasanya baru kali ini perasaan bersalah menyergapku sekuat tenaga. Hingga aku sendiri tidak tahu kapan aku bisa melepaskan diri.

"Hwanwoong ah."

Sentuhan di pundak membuatku tersentak. Aku segera menoleh pada Haejin yang menatapku penasaran sekaligus pemakluman.

"Kamu baik-baik aja?"

"Iya, iya ..." anggukku berulang kali.

"Ayo turun, kita sudah sampai."

Aku mengintip sedikit ke arah rumah besar itu. Perasaan ragu dan takut masih menguasi ruang dada ketika Haejin dengan sabar menungguku turun dari mobil. Dia tersenyum dan mempersilahkanku untuk masuk.

"Eomma. Eomma."

Haejin memanggil-manggil ibunya saat kami tengah berada di ruang tamu yang luas dan dipenuhi furniture kekinian.

"Tunggu di sini sebentar, aku akan suruh bibi membawakan minum."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Sambil menenangkan diri, aku duduk di sebuah sofa kulit berwarna broken white. Aku tidak tahu kalau bagian dalam rumah ini lebih luas dari tampilan luarnya. Dengan atap yang menjulang ke atas, digantungi lampu-lampu kristal yang sempat membuatku berpikir tentang bagaimana mereka membersihkan semua perabot dengan ketinggian seperti itu. Pencahayaan terpapar lebih luas karena desain double height ceiling juga menambah akses sirkulasi udara. Ruangan ini jelas tidak memerlukan banyak pendingin.

Mataku beralih ke pemandangan lain di sisi sebelah kanan dinding yang terdapat banyak foto terpajang. Aku tidak sempat mengamati satu per satu saat seorang wanita paruh baya menghampiri sambil membawa nampan berisi minuman dan sepiring kecil potongan kue tart.

"Terima kasih," ucapku pelan.

"Dokter Hwanwoong," panggil seorang wanita lain yang turun dari tangga diikuti oleh Haejin.

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang