"Kita mau pergi kemana?".
Kami sudah kembali berpakaian. Kuperhatikan Juyeon yang tengah menyisiri rambut dengan jari.
"Ikut aja, jangan dibiasain protes."
"Juyeon," aku menarik lengannya sebelum kami meraih pintu kamar.
"Kenapa?"
"Apa... Haejin tahu kalau kita pergi?"
Kening Juyeon berkerut. Dia kembali menatapku penuh selidik.
"Apa dia harus tahu?"
Aku menggeleng cepat. "Gue...gimana kalau dia nggak nyaman sama kedekatan kita?"
Juyeon tersenyum, lalu sedetik kemudian tatapannya berubah tegas.
"Jangan takut. Gue akan pastikan dia nggak bisa menyentuh apalagi ngelukain lo."
Aku mengangguk ragu meskipun aku tahu hal seperti itu cukup mustahil. Haejin lebih pintar dan licik, dia pasti akan mencari cara terbaik untuk mengambil celah menghancurkanku sekali lagi karena tidak menuruti perkataannya.
Aku bergegas masuk ke dalam mobil saat kulihat beberapa tamu undangan banyak berwara wiri di lobi. Sepertinya mereka pun sedang bersiap-siap pergi ke suatu tempat sebelum besok masing-masing kembali pulang. Selama perjalanan, aku dan Juyeon tidak banyak mengobrol. Hanya sesekali mengomentari tentang jalanan yang agak macet, lalu kehidupan di sini yang semakin malam semakin hidup. Aku menyibukkan diri melihat kiri dan kanan. Merasakan apa yang selama ini hanya pernah kutonton di layar televisi. Melihat banyak turis asing di tempat yang memberi esensi berbeda.
Mobil menjauh dari keramaian setelah setengah jam berlalu dan mulai memasuki kawasan yang lebih sepi. Jalanan lurus dengan pemandangan tebing di kiri kanan. Sampai akhirnya kami berhenti di sebuah hunian yang memiliki pagar kayu jati seperti benteng kerajaan. Juyeon memencet klakson mobilnya sekali, lalu seorang sekuriti tergopoh mendorong pintu pagar yang terlihat berat itu. Dia mengangguk saat mempersilahkan mobil melaju pelan memasuki pekarangan. Juyeon memutar roda kemudi dengan hati-hati sambil mencari space untuk memarkirkan mobilnya.
"Rumah siapa ini?"tanyaku sambil merasa enggan untuk turun.
Aku melihat sekeliling yang sepi. Hanya ada satu orang tukang kebun yang sedang membersihkan dedaunan kering di bawah pohon Kamboja padahal hari sudah beranjak malam.
"Masuk dulu aja, gue mau ngenalin lo sama seseorang."
Dia berdecak menggelengkan kepala lalu membuka seatbealtku dengan tidak sabar.
"Tenang aja sih. Gue nggak punya rencana busuk sama lo, Woong. Jadi tolong jauhkan pikiran jelek lo itu."
Mukaku menghangat. Kalimat Juyeon barusan memang benar adanya. Aku tidak bisa memungkiri kalau sekarang aku benar-benar khawatir tentang apa yang akan dia lakukan padaku sambil mengingat-ingat lagi ucapan Haejin soal dirinya -yang mungkin saja- dia karang.
"Hwanwoong," panggil Juyeon pelan. Dia sudah membukakan pintu di sebelahku sambil mengulurkan tangan.
Aku mengangguk lalu mengekor di belakang tubuhnya sampai kami masuk ke dalam ruang tamu rumah itu. Bukan jenis hunian mewah, namun perabotannya yang minimalis dan tidak banyak, membuat setiap ruang terasa luas. Aku mencium aroma masakan. Sejenis sayur kari atau sup kimchi? Entahlah, tapi itu cukup membuat cacing dalam perutku terganggu tidurnya.
"Ayo," Juyeon menganggukan kepala ketika langkahku terhenti sejenak di area ruang tengah, mengamati dinding-dinding polos tanpa pajangan apapun.
"Juyeon aahhh..."
Aku mendengar suara seorang wanita memanggil dari ruang makan. Semakin kami dekat dengan tempat itu semakin menyengat aroma masakannya.
"Aku datang," sahut Juyeon membawaku pada sosok seorang perempuan berbaju merah terang yang sedang berdiri membelakangi kami. Dia terlihat sedang memindahkan makanan dari panci ke mangkuk beling.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...