"Ada empat unsur kimia yang berhubungan dengan perasaan bahagia seseorang. Saya pikir sebagai psikiater kalian semua pasti sudah paham dengan hal-hal mendasar seperti ini. Unsur-unsur itu adalah dopamine, oxytocin, serotonin, dan endorphin. Keempatnya membuat pikiran seseorang mampu memaknai sebuah kejadian dengan cara yang lebih positif yang dipengaruhi oleh sense of coherence. Yaitu sebuah keyakinan bahwa segala sesuatu akan dapat dijalani dengan baik dan semua memiliki makna juga tujuan. Terlepas dari segala macam teori tentang agama kita yang mengajarkan bahwa Tuhan akan menyelipkan hikmah, ternyata tubuh kita memang memiliki keempat unsur yang sangat kita butuhkan agar tidak mudah depresi atau terkena manik episod. Kamu paham, Hwanwoong?"
Haejin menatapku lurus dan dalam. Membuat suasana di sekitar kami begitu hening. Hah? Kemana semua teman-temanku yang duduk di dalam kelas ini? Aku celingukan. Apakah aku sedang mendapatkan mata kuliah khusus? Atau aku terkena remedial tugas?
"Hwanwoong?"
Eh, apa ada yang salah dengan pendengaranku? Kenapa suara Haejin terasa berbeda?
"Woong ah." Dia memanggilku lagi. Kali ini dengan guncangan lembut.
Mataku mengerjap. Aku terkesiap melihat wajah Jeno yang begitu dekat menghalangi cahaya matahari dari arah jendela. Senyum sinisnya mengembang.
"Tidur kamu nyenyak banget, ya? Sampai ilernya turun semua."
Dengan cepat aku menjauh mundur dan menyeka sudut bibirku menggunakan punggung tangan. Jeno duduk sambil menopang tubuh dengan sebelah lengan bertumpu ke kasur. Apa-apaan ini? Dia sepertinya mulai terbiasa hanya berbalut handuk begitu di hadapanku. Bagian tubuh atas Jeno yang terpampang bebas sekarang menguarkan aroma sabun yang segar.
Aku meraba-raba kasur, menemukan ponselku lalu menggaruk-garuk belakang kepala dengan canggung.
"Kamu nggak pergi ke rumah sakit?" tanyanya masih tetap menontonku.
"Engg- iya sih, eh, hari apa sih ini?" Kulirik jam digital di atas nakas. Kepalaku berdenyut hebat. Seperti orang habis teler semalaman.
"Nggak tahu juga. Rabu? Atau Jumat mungkin?" Jeno menggedikkan bahu.
Padahal aku sudah bersiap untuk turun dari ranjang, tapi dia rupanya masih sigap menahan lenganku hingga aku terduduk lagi.
"Kenapa, Jen? Kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku seraya mengamatinya dengan seksama.
"Kelihatannya kamu yang nggak baik-baik saja," cetus Jeno enteng. "Tapi aku mau minta maaf atas kejadian semalam. Aku bener-bener nggak bisa mengendalikan diriku dengan baik. Sampai bikin kamu terpaksa menyuntikkan obat. Aku pasti udah kelewat batas, ya? Kayak di penjara waktu itu?"
Aku menelan ludah. "Nggak ada gunanya juga nyalahin kamu atau keadaan. Aku biasanya pake cara itu sebagai jalan terakhir setiap kali terdesak, tapi bisa kupastikan kalau kamu nggak akan ketergantungan. Lagian obatnya Cuma obat tidur biasa."
Dia terdiam. Aku menangkap rasa penyesalan dalam sorot matanya yang selama ini tidak pernah kutemukan.
"Kenapa sih? Masih ngerasa nyesel?"
Dia mengangguk samar. Kali ini ekspresi wajah Jeno persis seperti anak kecil yang tidak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki kesalahan.
"Pagi ini sarapan di bawah ya?" ajakku mencoba peruntungan.
Untuk sesaat Jeno terlihat enggan.
"Sebagai permintaan maaf?" tanyanya.
"Aku nggak bilang begitu," kilahku. "Mungkin hanya ...yaa karena aku pengen lihat kamu duduk di sana aja bareng yang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...