"Apa lo nggak merasa kegerahan?" tanya Jeno padaku.
Aku menggeleng cepat. Dia memperhatikanku dengan seksama lalu akhirnya berjalan mendahului. Kami sedang memantau beberapa supplier baru yang sudah mulai memasok barang-barangnya di lapangan. Cuaca sangat panas dan terik tapi aku malah mengenakan turtle neck berbahan wol lembut demi menutupi leherku yang terdapat beberapa noda merah keunguan. Perasaanku sungguh tidak jelas dan kebingungan masih sangat menguasai hingga aku ingin sekali mangkir dari pekerjaan. Tapi jadwal hari ini begitu padat, rasanya aku malas cari masalah dengan membiarkan Jeno menjalani semua kegiatan sendiri.
Cucuran keringat membasahi punggung, aku ingin semua pengecekan barang ini segera selesai hingga jam makan siang tiba.
"Woong, lo boleh ikut makan. Sebentar lagi kita akan menemui Min Ah di lounge hotel."
Aku mengangguk. Lagi-lagi Jeno menatapku aneh.
"Lo sakit?"
"Enggak Jen,"jawabku mencoba tersenyum.
"Apa jadwal kita selanjutnya?"
"Setelah makan siang kita akan rapat lewat zoom meeting sama manajer hotel Busan untuk mendengar laporan terbaru."
Jeno mengangguk. Dia mengajakku memasuki lounge yang dingin, mengurangi sedikit penderitaanku hari ini. Aku rasanya sudah tidak mampu merasakan kecemburuanku ketika Min Ah datang dan mengalihkan perhatian Jeno dengan obrolan-obrolannya. Pikiranku penuh oleh kejadian di apartemen Juyeon kemarin malam. Meskipun setengah sadar karena pengaruh alkohol dan entah apalagi, aku jelas-jelas masih bisa merasakan semua hal yang dialami oleh tubuhku kala itu. Seks yang melelahkan sekaligus membuatku merasa seperti orang bodoh. Aku hanya tidak menyangka kalau hubungan kami akan menjurus lebih dalam dari ini.
Ah, tolol memang.
Entah dimana otakku yang sebelah lagi. Kenapa aku kadang masih saja berharap bahwa laki-laki ini akan jadi penolong. Lihat saja, dia jelas-jelas tidak mempedulikanku setelah Min Ah datang dan melaporkan ini itu sambil bermanja-manja dengan sengaja.
"Wah kita kedatangan tamu rupanya."
Sebuah suara yang sangat kukenal membuatku langsung terkesiap. Juyeon sudah ada di hadapan kami diikuti oleh Haejin yang berdiri beberapa meter di belakangnya.
"Hai Juy, mau makan siang bareng?" tawar Min Ah sambil menatapnya ceria.
Juyeon melirikku sekilas yang hanya mampu memalingkan wajah ke arah lain.
"Silahkan, aku belum laper. Bagaimana dengan kondisi semua barang yang masuk?"tanyanya pada Jeno.
Jeno mengangguk samar. "Semua sudah kami cek, sejauh ini cukup memuaskan. Mereka setidaknya sudah lolos kriteria kita."
"Aku memang tidak begitu paham soal ini, tapi semoga bisa memberikan kualitas terbaik."
"Jangan khawatir."
Perutku mendadak mual. Jelas aura di sekitar kami sangat tidak enak bagiku. Menghilangkan selera makanku seketika sambil mengulas lagi segala rasa gusar yang terendap.
"Eh, kalian kenapa? Lagi berantem? Kok pacarnya nggak disapa sih?"
Juyeon terkekeh. Dia lalu berjalan menghampiriku.
"Hwanwoong ini sekertaris paling profesional, sepertinya dia agak malu untuk mengakui kalau aku adalah calon suaminya."
"Masa iya?" Min Ah mengerling. "Kalian pasti khawatir sama komentar orang, kan? Sebaiknya jangan terlalu diambil pusing. Toh kita nggak ngerugiin mereka."
"Aku cuma nggak mau ada hal buruk terjadi sama Hwanwoong."
Min Ah tergelak. "You're so sweet."ucapnya dengan nada iri yang dibuat-buat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
Fiksi PenggemarTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...