Mataku berkunang-kunang. Rasanya ada kilatan lampu warna kuning buram yang sedari tadi mengganggu penglihatanku. Kuperhatikan rekan-rekan kerja satu persatu keluar dari ruang meeting sambil membawa berkas dan laptop mereka masing-masing. Hanya sisa beberapa orang masih membahas hasil rapat, juga Jeno yang tetap duduk dan memperhatikan layar laptop dengan tatapan lurus.
"Bapak mau saya pesankan makan siang?"tawarku.
Dia menggeleng pelan. "Saya makan siang sama Min Ah. Tolong copy berkas ini, harus sudah selesai setelah saya kembali dari luar."
Jeno menyerahkan sebuah file padaku. Aku mengangguk lalu mulai membereskan barang-barang.
"Ada apa?"pertanyaannya membuatku langsung menoleh kaget.
Laki-laki itu sudah mengalihkan pandangan padaku dari layar.
"Ada apa, apanya Pak?"tanyaku bingung.
"Kamu kelihatan nggak fokus hari ini. Sakit?"
Aku menggeleng cepat. "Saya baik-baik aja, Pak."
Dia menatapku ragu. Tangannya menyodorkan mug yang sudah kosong.
"Tolong tambah lagi air hangatnya,"pinta Jeno.
Aku mengambil mug itu dan berjalan menuju dispenser di sudut ruangan. Kepalaku terasa sangat berat, dan gelas di tanganku mengapa seperti berkilo-kilo bebannya? Dengan kedua tangan aku membawa mug kesayangan Jeno yang sudah terisi air namun tiba-tiba semua mendadak gelap, hal terakhir yang kurasakan hanya panas di punggung tanganku.
"Dia hanya kelelahan Pak, tekanan darahnya rendah, demamnya juga tinggi."
Samar-samar aku mendengar suara seorang perempuan. Kubuka mataku perlahan, wangi pengharum ruangan langsung tertangkap oleh hidungku yang sebenarnya sedang pilek. Aku segera terduduk dan melihat Jeno sedang berbicara dengan dokter klinik kantor.
"Nah itu dia bangun," dokter Dean tersenyum lalu menghampiriku. Dia menempelkan alat pengukur suhu tubuh dan menggelengkan kepala sambil menatap simpati.
"Kenapa saya, Dok?"tanyaku dengan suara tercekat.
"Sejak kapan kamu demam?"
"Hah?"
"Saya takjub melihat kamu masih bisa bekerja hari ini, untung cuma pingsan. Panasmu sudah hampir 40 derajat loh. Ada mual muntah nggak? Saran saya sih sebaiknya kamu dirawat di rumah sakit."
Aku langsung menggeleng. "Kasih obat saja Dok, saya cuma harus istirahat sebentar."
"Tanganmu bagaimana?"
Aku baru menyadari perih di punggung tangan kananku akibat terkena air panas yang kubawa tadi dan sekarang sudah diolesi salep dingin.
"Boleh saya bicara dengan dia sebentar?" Jeno menengahi. Dokter Dean akhirnya hanya bisa menghela napas lalu pergi meninggalkan kami berdua di ruangan rawat khusus karyawan kantor itu.
"Kenapa lo masih di sini? Jangan sampai ada karyawan yang mergokin kita terus salah paham."
"Lo tahu kan lo kenapa? Apa tadi malam lo ikutin omongan gue supaya langsung pulang dari rumah Tuan Na?"
Tidak. Aku mengurus Juyeon hingga Haejin datang dan menggantikanku. Tapi untuk apa aku jujur? Ini urusanku dan mengapa Jeno masih mau repot-repot mempermasalahkannya?
Dia kelihatan berusaha sabar menungu sementara aku memilih untuk tetap bungkam.
"Kenapa juga sih lo sok-sokan masuk ke kolam padahal lo sendiri nggak bisa berenang? Hah? Apa lo mau keliatan seperti pahlawan di depan gue? Atau lo mau ngebuktiin kalau lo emang jarang banget make otak lo untuk berpikir sebelum bertindak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...