Pernahkah berpikir bahwa hidup ibarat kopi di batas cangkir?
Semakin sering tersesap, semakin cepat habis waktunya.
Ini bukan soal seberapa banyak kapasitas cairan pekat itu dalam sebuah bejana.
Namun bagaimana setiap teguk bisa bermuara pada kepuasan rasa.
Orang-orang butuh perjuangan untuk mengerti arti bertahan.
Beberapa di antaranya menuntut kepastian, agar bisa memilih untuk menyerah.
Beberapa di antaranya mendapat pelukan sebagai penguatan.
Beberapa di antaranya menangis dalam hening malam tanpa ingin ketahuan.
Jiwa-jiwa manusia memang tidak sama.
Yang satu rapuh, yang lain sekuat baja.
Sebagian mengukur distraksi atas rasa sakitnya lewat darah dan air mata.
Sebagian lagi memilih menghadirkan diri di tengah-tengah euforia dunia.
Sebagian lalu menggali kuburnya sendiri demi menutup mata atas segala renjana.
***
Sejauh tatapku memandang, aku hanya melihat sebuah rumah dengan cat berwarna abu putih yang bagian depannya sudah direnovasi. Semua kamar dipindahkan ke atas dan ruang tamu juga ruang tengahnya disatukan agar lebih luas. Aku begitu lega, saat rumah ini bisa kuhidupkan kembali. Rasanya aku memang tidak usah pergi kemana pun kecuali pulang. Appa akan bertahan sekali lagi dengan pilihan kenangan yang lebih baik dan merelakan eomma hidup tenang di sana.
"Kayaknya bagian rumput-rumput sebelah sana harus diganti deh, sama tanamannya juga. Masa lidah buaya doang, terus itu apa sih? Bunga mawar bukan, lili bukan, bunga kertas ya? Harusnya kita pasang pergola juga nggak sih, atau semacam rak-rak susun."
Jeno menghampiri sambil berkomentar tentang halaman rumah yang tandus.
"Kita? Sejak kapan rumah ini pake nama kita?" Sebelah alisku terangkat.
Dia mengerucutkan bibir. "Kenapa emangnya? Aku juga kan bakalan tinggal sama kalian nanti. Nah, meskipun lahannya sempit, kita bisa ngebangun pondokan kecil untuk bersantai di sebelah sana. Tadi Appa sempet nyinggung soal kolam ikan, tapi kupikir nggak terlalu bagus."
"Oh, kalian sudah ngobrol banyak rupanya," decakku takjub.
Jeno menyeringai. "Eh, ayah kamu itu orang yang menyenangkan tau. Mungkin besok-besok aku akan mengajaknya main golf bareng."
Aku menggelengkan kepala, lalu dengan mata memicing menatap lagi ke lantai dua rumahku.
"Ini dipasang dimana ya?" tanyaku sambil mengangkat hiasan genta angin. Oleh-oleh pemberian Aerin dari acara bulan madunya di Jepang.
"Gimana kalau di jendela kamarmu aja?" tunjuk Jeno.
Akhirnya aku mengangguk. Kami lalu sama-sama naik ke kamarku dan Jeno dengan sigap memasang paku untuk digantungi genta angin. Dia turun dari kursi dengan terburu-buru sehingga sebelum kakinya berpijak di lantai, tubuh Jeno sudah hilang keseimbangan. Aku mencoba menahan, namun gagal. Menyebabkan laki-laki bongsor itu malah terjengkang ke atas kasur.
"Astaga Jen, petakilan banget sih. Hati-hati, dong" Aku terbelalak kaget sambil berkacak pinggang.
Dia malah tergelak. "Mungkin aku belum terbiasa sama kamar kamu yang lebih sempit ini."
Aku mencibir malas. Saat hendak melengos, dia malah menarik tanganku sampai ikut berbaring. Sebelah kakinya diangkat, melingkar dan menindih kedua pahaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...