AGONY (CHAPTER 11)

61 12 10
                                    

Aku melempar jasku ke atas kasur dan membaringkan tubuh. Diriku saat ini pasti terlihat lebih menyedihkan dari Cinderella. Paling tidak, si Cinderella itu sih pulang dari acara pesta dengan perasaan bahagia meski sepatunya tertinggal. Sedangkan aku malah meratapi kebodohanku karena berani berharap pada seseorang yang bahkan tidak pernah merasa bahwa perbuatan baiknya adalah dentuman hebat yang menghancurkan pertahananku untuk tidak mencintai siapa pun lagi. Saat mataku terpejam, bayangan Haejin yang tampan dengan setelan jasnya malam ini menghantui.

"Arrgghh!!!"

Aku terbangun. Bukan aku yang berteriak. Dengan cepat aku berjalan menuju jendela kamar dan melihat lampu di kamar Jeno masih menyala. Aku mendengar teriakan lagi. Cepat-cepat kuambil sesuatu dari dalam laci nakas.

Setengah berlari, aku menuju ke kamar Jeno. Saat berada di sana, kulihat bantal-bantal sudah tergeletak di lantai. Peralatan makannya yang berbahan plastik pun berserakan. Sosok laki-laki itu sedang berdiri di sudut kamar sambil memukuli tembok. Ada bercak darah akibat goresan di buku jari.

Aku mencoba meraih tubuhnya. "Jeno!"

"Dia harus mati. Dia harus mati."

Jeno tidak melihat ke arahku. Tatap matanya tajam terarah ke tembok yang ia pukuli.

"Berhenti, Jeno!" Aku menarik lengannya. Namun rupanya aku salah perhitungan atas gerakan acak dan cepat itu sehingga siku Jeno tanpa sengaja menonjok pinggir mataku. Saking kagetnya aku sampai terjerembab ke lantai. Aku tidak menyerah. Kutarik tubuh Jeno menjauh dari dinding. Jelas ini bukan pergulatan yang seimbang karena di saat marah, tenaga Jeno akan bertambah dua kali lipat.

"Jeno, aku mohon tenang dulu. Lihat aku, aku di sini," pintaku sambil merengkuh tubuhnya yang terus memberontak.

"Lepasin, brengsek!"

Mataku terpejam. Sulit sekali menghadapi gelombang emosinya saat ini. Tubuhku ikut terombang-ambing dalam ketidaksanggupannya mengendalikan diri. Dia mendorongku, begitu keras hingga aku tersungkur lagi.

"Jeno," panggilku lekas bangun dan mendekat ke arahnya. "Siapa yang ganggu kamu? Apa El datang lagi?"

"Jangan sebut namanya, sialan!" teriak Jeno. "Dia nggak mau aku pindahkan ke tempat lain. Arrrggh!!! Bunuh aja aku. Bunuh saja aku."

"Itu nggak akan merubah apapun. Kematian kamu nggak akan membuat semuanya lebih baik dari ini," kecamku.

Sekonyong-konyong Jeno menjulurkan tangan dan meraih leherku dalam cengkramannya.

"Elsaku. Dia sudah mati. Kamu juga harus mati."

Matanya melotot dan menggelap saat memperdalam cekikannya di leherku. Aku ingin sekali memasrahkan diri di tangan Jeno ketika tenggorokanku kehabisan udara. Akan tetapi wajah appa tiba-tiba melintas. Mengingatkan bahwa aku tidak boleh menyerah untuk bisa menjemputnya dalam keadaan yang jauh lebih baik. Mengingatkan bahwa aku masih harus berharap dia akan menjadi ayahku yang dulu.

Sebelah tanganku pun terangkat, menampar wajah Jeno berulang kali agar dia tersadar. Aku bahkan menekuk lutut untuk menyerang perut bawahnya hingga dia tersentak mundur dan ambruk. Tubuhku merosot terduduk lemas. Peluh membasahi kening sampai ke dada. Butuh waktu untuk menenangkan diri tapi aku tidak sempat melakukannya karena Jeno kembali menerjangku. Giliran dia memukul wajahku dengan ekspresi penuh kebencian. Seolah melihatku sebagai sosok lain yang harus dia habisi saat ini juga. Pipiku terasa perih dan nyeri, bukan karena hanya pukulannya yang membabi buta tapi juga karena gesekan cincin yang dia pakai menggores kulitku.

"Jeno, lihat aku! Kendalikan diri kamu!" Tanganku menahan pergelangannya sekuat tenaga.

Dia masih menatap kosong. Mengepalkan telapaknya di udara.

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang