"Ahhhh..."
Hairdryer di tanganku hampir terjatuh saat kulihat Juyeon masuk begitu saja ke dalam kamar mandi sementara tubuhku hanya berbalut handuk.
"Sorry, Woong. Gue belum terbiasa"katanya sambil menggaruk tengkuknya. "Ya udah lanjut deh, lain kali kunci pintunya."
Kutatap wajah Juyeon yang pucat dan lesu. Lingkaran hitam terlihat jelas di bawah mata itu. Dia terlihat kacau dan kurang sehat. Aku mengeratkan simpul handuk di di pinggang sambil tertegun ke arah pintu yang kembali tertutup. Sepertinya dia masih mengira kalau dia tinggal sendirian di sini. Bagaimana tidak, kami hanya bertemu saat sarapan. Kalau dia pulang dari kantor agak sore, aku baru bisa mengajaknya makan malam bersama. Dia juga lebih banyak menghindar ketika kuajak mengobrol soal pekerjaan. Sampai akhirnya masing-masing dari kami lebih banyak diam. Semenjak kuserahkan surat perjanjian darinya yang telah kutandatangani, Juyeon seolah membangun tembok pembatas yang semakin tinggi. Sekarang pernikahan ini benar-benar terasa seperti formalitas belaka untuk mencapai tujuan kami masing-masing.
Kuambil bathrob yang tergantung di belakang pintu dan keluar kamar untuk mencarinya. Kemana anak itu? Pintu ruang kerjanya terbuka sedikit saat kakiku berjalan di lorong. Aku mendorongnya pelan, melihat ruangan penuh dengan tumpukan buku setinggi lutut dalam kelompok-kelompok di lantai, berkas-berkas tebal di atas meja dan kertas yang berserakan. Tanpa bisa kutahan, kakiku terus melangkah masuk. Mengamati semua pekerjaannya yang mungkin menjadi alasan mengapa dia tidak tidur di kamar bersamaku. Aku beberapa kali menemani Jeno lembur, tapi tidak pernah kulihat pekerjaannya sebanyak ini. Apa Juyeon harus susah payah seperti itu demi bisa menduduki posisinya di perusahaan? Kenapa dia mau melakukan ini pada akhirnya?
Aku hendak meraih salah satu file berwarna abu yang terletak di atas keyboard laptop tapi cengkraman tangan Juyeon yang tiba-tiba seketika mengejutkanku.
"Ngapain lo?"tanyanya dengan ekspresi dingin. Dia masih mengencangkan jemarinya di tanganku seolah file barusan adalah benda keramat yang bila kusentuh maka seisi dunia akan berubah gelap. Segelap sorot matanya saat ini.
"Gu-gue... tadi pintunya kebuka dan_"
"Bukannya gue udah pernah bilang, lo nggak boleh sembarangan masuk ke sini. Ini ruangan pribadi,"dia mengingatkan dengan nada ketus.
"Maaf, tapi gue Cuma_"
"Ada atau nggak ada gue di apart ini, lo nggak boleh masuk ke daerah teritorial gue,Woong."
Wajah Juyeon mengeras. Matanya turun ke kerah bathrobku yang sedikit terbuka.
"Lo sakit?" Aku menelan ludah, memberanikan diri menyentuh pipinya.
Tiba-tiba Juyeon mendorongku sampai terduduk di kursi putar, dia ikut membungkuk, mengungkung tubuhku sambil bertumpu pada kedua lengan.
"Gue saranin jangan bersikap seperti anak kucing yang penasaran," kata Juyeon dengan nada sepelan mungkin seolah takut siapapun akan mendengar dan mengadukan percakapan kami.
"Sorry, gue nggak bermaksud kayak gitu."
"Rasa penasaran itu, bisa membunuh pemiliknya, Woong."
Meskipun sudah sekuat tenaga menenangkan diri, tubuhku ternyata masih saja gemetar. Aku menengadah saat Juyeon mendekatkan wajahnya. Dia mencium pipiku lembut, lalu bergerak ke belakang telinga seraya menyapukan hidung mancungnya. Mataku memejam. Tangan Juyeon masuk ke balik bathrob dan mengelus-elus nipleku yang tidak siap dengan sentuhan. Aku sedikit tersentak.
"Smells good," bisik Juyeon. "Ini sampo yang gue pake, kan?"
Kepalaku mengangguk. Jemarinya meremas lembut dadaku sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...