Bau aroma minyak kayu putih mengganggu penciuman hingga akhirnya membuatku benar-benar membuka mata. Suasana klinik jauh lebih membuatku terjaga. Di ruangan dengan cat biru telur asin itu aku hanya melihat Jeno, duduk cemas menatapi dan membantuku sampai terduduk.
"Dimana?" tanyaku sambil melempar pandang meraih setiap sudut ruang berukuran sempit dengan bau karbol menguar kemana-mana.
"Kamu pingsan, Woong. Tangan kamu pasti sakit banget. Ini juga."
Aku meringis saat Jeno dengan tergesa menyentuh pipiku yang memar. Dia lantas berdiri, mendekatkan tubuhnya dan merapikan rambutku yang kusut. Telapak tanganku berdenyut nyeri, meski sudah dibebat perban beberapa lapis.
"Kamu apa-apaan sih? Kenapa harus bertindak sembarangan kayak gitu? Di sana kan masih banyak orang, kamu tinggal teriak aja buat minta tolong." Jeno masih sempat ngomel-ngomel dengan suara bergetar. Dia merangkum wajahku di kedua telapak tangannya yang dingin.
Aku hanya diam. Merasakan pusing dan nyeri di area sekitaran mata.
"Kamu bener-bener bikin aku takut, Hwanwoong. Please jangan lakuin hal kayak gitu lagi," bisik Jeno sambil menempelkan keningnya di keningku.
"Siapa orang tadi? Kamu kenal? Apa kejadian seperti ini pernah kamu alami sebelumnya?"
Dia terdiam. Bukannya menjawab dia malah memelukku.
"Jennnooo ..." erangku sambil menjauhkan tubuh itu. "Bilang sama aku, apa mereka ada hubungannya dengan kejadian waktu kamu dulu sering masuk penjara? Mereka_"
"Mereka salah satu dari komplotan geng motor yang menyerangku sama Elsa," jawab Jeno terdengar enggan.
"Apa?" Aku menatap Jeno tidak percaya. "Kok- Kok mereka masih bisa berkeliaran gitu? Mereka nggak peduli loh Jen, kalau kita tadi tuh ada di tempat rame," pekikku.
"Hwanwoong, tenang dulu dong."
"Gimana aku bisa tenang? Apa kamu masih bisa tenang setelah apa yang terjadi sama aku? Kalau Haejin hyung sama appa kamu tahu, aku bisa habis, Jen."
"Hwanwoong, please..."
Jeno kembali meraih tubuhku yang gemetaran. Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar sana sebelum aku dan dia bertemu. Mengingat beberapa kali pertemuanku dengannya di kantor polisi, cukup menyimpulkan betapa dia menjalani masalah yang terlalu berbahaya dengan orang-orang itu.
"Mereka itu dendam karena aku yang bikin ketua gengnya dipenjara seumur hidup. Kamu nggak usah khawatir. Aku udah laporin penyerangan ini ke polisi."
Kuraih kedua lengan laki-laki itu dan mencengkeramnya erat.
"Jangan- pernah-pergi- tanpa seijinku lagi, denger kamu?" ungkapku tajam.
Mata Jeno meneduh.
"Paham kan, Jen? Jangan keluar rumah tanpa sepengetahuanku. Jangan ketemu sama siapa pun di luar tanpa ngasih tahu aku dulu. Jangan pergi kemana-mana sendirian. Aku nggak mau dibantah kali ini, pokoknya kamu harus nurut."
Mataku menatap acak dan cepat. Melawan sorot retinanya yang kini terlihat buram karena tiba-tiba saja ada air yang menggenangi pelupuk. Jeno memelukku dengan gerakan lembut. Membiarkanku menangis terisak dalam dekapannya.
"Aku takut ... mereka bisa ngelakuin hal yang lebih buruk dari ini. Kenapa mereka mau bunuh kamu? Kenapa mereka kayak gitu, Jeno?"
Kuremat keras kedua sisi jaketnya demi melampiaskan amarah. Dari sekian banyak kenekatan yang kulakukan, kurasa ini yang berhasil membuatku ingin berhenti berkorban untuk orang lain. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai aku salah perhitungan dan membuat diriku sendiri terbunuh. Atau mungkin Jeno. Membayangkannya saja membuatku sekarang ingin melarikan diri ke tempat yang jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...