KATASTROFA (CHAPTER 22)

41 10 29
                                    

"Tolong aku,"

Telinganya mendengar sebuah suara parau. Suara parau dan tercekat, mencicit seperti anak kucing. Dia melihat sekeliling dengan panik. Pikirannya sudah berlari kemana-mana, menyimpulkan soal hantu dan makhluk lain yang mungkin sekarang bermunculan dari dalam lemari dan bawah tempat tidur. Lalu sebuah cahaya dari balik pintu kamar membuatnya penasaran. Suara itu sepertinya berasal dari sana.

"Tolong, aku mohon. Siapa pun..."

Jeno berjinjit, membuka pintu dan melihat ruang tengah rumahnya yang ternyata terang benderang. Dia melihat seorang pemuda sedang dipeluk dari belakang oleh laki-laki bertubuh tinggi tegap menggunakan topi hitam hingga sebagian wajahnya tidak terlihat. Tangan laki-laki itu melingkar ke perut si korban dan yang sebelah lagi terarah ke lehernya yang putih dan jenjang sambil menempelkan sebuah belati mengkilat. Sedikit darah menetes dari sana akibat tubuh pemuda mungil itu selalu bergerak ketakutan. Mereka berdua menatap Jeno. Yang satu dengan ekspresi mengiba, yang satu dengan sorot mata tajam.

"Ka-kalian siapa? Sedang apa di rumahku?" tanya Jeno panik. Dia melihat ke kiri dan ke kanan mencoba mencari ibunya. Tapi rumah itu seolah kosong, hanya ada mereka bertiga.

"Jeno, tolong.. Aku mohon..."

Hah? Bagaimana bisa orang itu mengetahui namanya?

"Dia akan mati," bisik si pria.

Korbannya kembali menangis dan terisak sambil menggelengkan kepala.

"Lepaskan aku, lepaskan."

Pemuda dengan gaun putih lusuh itu mencengkram lengan yang melingkar di lehernya. Menahan agar mata pisau tidak menggorok dan memutus arteri.

"Jeno... aku mohon... jangan biarkan aku seperti ini."

Jeno bergeming di tempat. Bukan karena dia tidak ingin menolong tapi karena dia merasa tidak bisa melakukan apapun dengan tubuhnya yang seolah membeku. Sementara Jeno masih sibuk dengan pikiran yang tumpang tindih, tangan laki-laki itu sudah terangkat ke atas dan mengayun penuh tenaga menancapkan ujung pisau di dada si korban.

Jantung Jeno seperti ikut melesat.

Matanya terbelalak. Untuk sekian detik seluruh paru-parunya gagal menampung udara. Menyebabkan sesak saat dadanya bagai terhimpit batu ribuan ton. Tubuhnya langsung terduduk tegak, tetesan-tetesan peluh membasahi punggung dan dada yang selalu telanjang setiap dia tidur. Mata itu mencari dengan cepat, pemuda yang mati di hadapannya.

"Hwanwoong.." tengkuk Jeno merinding saat bibir itu menyebut sebuah nama.

Sudah jelas yang dilihat dalam mimpi tadi adalah Hwanwoong. Dia menjulurkan tangannya yang gemetaran, mencoba meraih sebuah pertolongan yang tidak mampu Jeno berikan. Jeno dengan cepat menggapai ponsel yang ada di bawah bantal. Baru jam sebelas malam. Tangannya mengusap wajah dengan gusar. Tidur lebih awal selalu menyuguhkan mimpi buruk baginya. Padahal hari ini sudah sangat melelahkan, fisiknya melakukan berbagai kegiatan yang dia pikir akan menjadi modal cukup untuk bisa mendapatkan sebuah tidur yang nyenyak sampai pagi. Jeno membuka layar ponsel dan memencet tombol panggilan. Dadanya berdebar aneh ketika dia dengan sabar menunggu nada sambungan itu akhirnya terjawab.

"Halo," terdengar suara parau di ujung sana.

"Hwanwoong."

"Jeno? Sebentar."

Kuping Jeno mendengar suara deritan tempat tidur dan lampu yang dinyalakan.

"Kenapa, Jen?"

Nada suara Hwanwoong jelas terdengar khawatir tapi Jeno tidak berani berasumsi bahwa yang dikhawatirkan olehnya sekarang adalah Hwanwoong.

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang