Ada yang lebih merdu ketimbang lagu-lagu yang diputar di radio saat pagi hari. Di antaranya adalah suara cangkang kulit telur yang dipecah di pinggiran wajan, denting gelas dan sendok ketika mengaduk teh manis, atau bunyi blender yang menghancurkan beberapa jenis buah sebagai minuman sehat untuk mengawali pagimu. Aku mulai jatuh cinta pada dapur ini. Selain peralatannya yang lengkap, aku benar-benar merasa menjadi penguasanya setiap kali aku datang kemari. Juyeon tidak memprotes ketika aku memindahkan beberapa barang agar mudah kuraih dan kupakai. Kelihatannya dia juga tidak mau ambil pusing dengan hal-hal begitu. Sama seperti halnya dia tidak mau memusingkan dimana dia akan tidur saat malam hari. Yang jelas aku selalu bangun sendirian. Awalnya kukira dia sedang di kamar mandi, bersiap untuk pergi ke kantor. Tapi ternyata dia tidur di sofa ruang kerjanya dan aku tidak berani masuk mengingat ultimatum dia atas sekat privasi di antara kami.
Apakah aku bermasalah dengan ini? Tentu saja tidak. Aku justru lebih khawatir tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau sampai aku melakukan hal-hal tolol seperti menggoda suamiku agar mau meniduriku.
"Pagi Woong."
Kepalaku menoleh sekilas ketika Juyeon datang dan sudah berpakaian rapih. Dia menyampirkan jasnya ke bahu kursi.
"Hei, ayo sarapan dulu."
Aku menyodorkan sepiring nasi goreng dan meletakkan sendok di pinggirnya. Dia menatapku dan nasi itu bergantian.
"Gue udah bilang nggak akan ada sereal mulai sekarang,"kataku sambil mengangguk yakin.
Dia mendesah. "Makanan ini terlalu berat, Woong."
"Terlalu berat gimana? Itu nasi. Perut lo membutuhkannya sampai jam makan siang nanti,"tukasku lebih tajam. "Dan ini," aku menyodorkan segelas jus jambu. "Setiap orang memang merasa butuh kopi sebelum berangkat kerja, tapi mereka nggak sadar sama efek jangka panjang minuman berkafein itu."
Aku duduk di sebelah Juyeon, mencoba mengabaikan ekspresi keberatan yang sedang ditunjukkannya seperti anak kecil.
"Belajarlah beradaptasi. Bukan cuma gue, lo juga. Mulai sekarang gue bakalan menjaga dan memastikan lo ada dalam keadaan layak untuk menempati kursi lo di perusahaan."
Aku menuangkan jus jambu untukku sendiri. Tidak ada gunanya menyesali masa laluku yang penuh kesalahan dalam mengambil keputusan. Setidaknya aku harus membuat kehidupanku kali ini jauh dari cemoohan orang. Kupikir aku cukup beruntung karena akhirnya menikah dengan seseorang yang sedang belajar membuat dirinya berguna. Aku tidak mau mengacaukan apa-apa lagi.
"Makan, atau perlu gue suapin?"tanyaku pada Juyeon yang masih terdiam.
"Denger gue, Woong. Selama ini gue terbiasa hidup sendiri. Pasti bukan hal mudah buat gue untuk menuruti peraturan yang sekarang lo terapkan. Seenggaknya lo harus tahu kan apa yang gue suka dan gue nggak mau?"
Aku mengibaskan tangan. Mulai memakan nasi gorengku.
"Itu akan terjadi seiringi berjalannya waktu. Kita memang memiliki wilayah-wilayah privasi tapi jangan lupa kita juga harus banyak berbaur untuk bisa memahami satu sama lain. Bukannya waktu kita nggak lama? Hanya dua tahun seperti mau lo kan?"aku menoleh ke arahnya. Kulihat dia terkesiap namun akhirnya mengangguk.
Aku ikut mengangguk. "Gue udah menandatangani surat perjanjian itu. Tapi dengan syarat selama gue tinggal di sini, gue yang akan menentukan apa aja yang boleh dan nggak. Jadi kita lihat siapa yang akan lebih cepat bertahan dan beradaptasi. Sebagai partner, kita nggak boleh menghindar dari kemungkinan-kemungkinan antara kita berdua."
Juyeon tertegun. "Apa lo merubah pikiran seudah ketemu Jeno kemarin?"
Aku menelan nasi yang kukunyah dengan susah payah. Kenapa orang ini membuat moodku rusak seketika sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...