"Woong,"
Suara ketukan semakin terdengar nyaring dan menuntut.
"Woongie, kakak tahu kamu udah bangun. Tolong buka pintunya."
Aku memejamkan mata saat mendengar suara kakakku yang terdengar berat.
"Woong, kita harus segera pergi. Kamu nggak mau kan bikin mama sama papa menunggu. Nggak baik kalau kesorean."
"Aku nggak ikut, kalian pergi aja." Akhirnya aku menjawab.
"Nggak bisa gitu dong, Woongie. Kamu anak kesayangan mereka, mereka pasti sedih kalau kamu nggak ikut."
Dengan langkah berat aku mendekati pintu dan membukanya. Kulihat Kak Minhyun memandangiku sambil mencoba tersenyum. Penampilannya sudah rapih. Dengan setelan jas serba hitam terbaik yang ia miliki, ia membuat acara ini memang terlihat sangat penting.
"Ayo, semua udah nunggu."
"Kak, aku nggak sanggup" rengekku.
Dia meraih tubuhku dan menariknya ke dalam pelukan.
"Aku juga nggak sanggup, Woong. Tapi kita harus melakukan ini kalau kita memang menyayangi mereka kan?"
Yeji tergopoh mendekati kami. Dia menatapku dan kakakku bergantian.
"Ayo, ambulansnya udah dateng."
Aku sering hadir ke sebuah acara pemakaman. Siapa pun. Kerabat atau teman yang memang kukenal, meski tidak begitu dekat, aku akan hadir ke pemakamannya ketika mereka wafat. Aku merasa kalau menengok orang sakit dan melayat itu adalah sebuah perbuatan baik yang tidak semua orang mau meluangkan waktu untuk mendatanginya. Tapi hari ini aku ingin sekali berada di belahan dunia lain agar aku bisa memiliki alasan bahwa aku tidak mungkin menghadiri pemakaman kedua orang tuaku. Aku tidak tahu apakah kakiku masih sanggup berdiri sambil melihat mereka dimasukkan ke dalam liang lahat satu per satu lalu menerima kenyataan bahwa ternyata mereka pergi secepat itu.
Mana mungkin aku bisa menerima ketika seminggu yang lalu mama masih meneriakiku karena aku ini susah dibangunkan pagi-pagi dan papa masih menegurku karena mengajak Yeji -calon kakak iparku- belanja keperluan bulanan sampai lewat jam sembilan malam.
Keduanya masih ada di rumah, mengerjakan rutinitas mereka di depan mataku. Melepas dan menyambutku hangat setiap kali aku pergi dan pulang dari sekolah. Menjaga kakakku agar dia tetap makan dengan lahap dan beristirahat cukup karena dia selalu sibuk bekerja di luaran. Aku tidak mungkin menerima kenyataan bahwa keesokan harinya kudengar pesawat yang akan membawa mereka untuk menghadiri undangan pernikahan ternyata hilang di daerah gunung Jiri.
Aku tidak sadar sampai beritanya kulihat di sebuah breaking news televisi saat aku sedang berada di kafe bersama teman-temanku. Aku tidak sadar ketika dua nama itu ada di daftar pasien hilang lalu akhirnya ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Aku tidak sadar kalau hidupku akan hancur dalam hitungan jam. Itu terlalu menyakitkan. Rasanya tidak ada kesedihan lain yang bisa dibandingkan dengan kehilangan seperti ini.
"Woong, lo okay?" tanya Chanhee sambil menuntun tanganku ke mobilnya.
"Dia duduk di belakang aja, bareng gue. Jaem, lo pindah ke depan," perintah Karina.
Jaemin mengangguk. Mereka mengamatiku yang memandangi sekitar dengan tatapan kosong.
Sepanjang perjalanan, tidak ada satu pun dari mereka yang berani mengajakku berbicara. Hanya Karina memeluk tubuhku erat sambil mengusap-usap punggungku mencoba meredakan tangis yang kembali tumpah.
"Mama... Kenapa jadi kayak gini, Ma..."
Aku terus menyebut namanya. Karina memandangiku dengan kesedihan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...