Aku memandangi Juyeon yang masih terpejam. Dadanya naik turun dengan tenang. Dia bernapas dengan tarikan dan embusan yang lebih pelan. Di hidungnya terpasang selang oksigen untuk melancarkan alur udara agar bisa memenuhi paru-paru, menggantikan jumlah air sebagai penyebab keadaan kritisnya beberapa jam lalu.
Mataku sendiri sudah berat sejak tadi. Kuapan demi kuapan keluar dari mulut seiring lirikan berulang kali pada kondisi Juyeon.
"Mama nggak nemu susu hangat di mesin minuman."
Nyonya Lee sudah berdiri di sebelahku sambil menyodorkan gelas plastik berisi kopi. Aroma kafein itu segera menguar ke udara. Dia menarik satu lagi kursi di samping tempat tidur Juyeon dan mengamati anaknya.
"Apa Mama salah karena memutuskan untuk melahirkan dia ke dunia?"tanyanya setengah bergumam.
"Kenapa Mama bilang begitu?"
Dia menarik napas berat. Matanya kembali memantulkan pendar buram.
"Rasanya Mama masih tidak percaya kalau dia bisa bertahan hidup sampai sebesar ini," tangan wanita itu terulur membelai rambut Juyeon. "Mama sudah membuatnya menanggung beban hidup yang terlalu besar. Dianggap sebagai anak tidak berguna, mengalami trauma berat, dan sekarang tiba-tiba saja harus melakukan pekerjaan yang sebenarnya dia tidak pernah siap untuk itu beserta segala konsekuensi di dalamnya. Menurut kamu, apa Mama salah karena ingin ia lebih tegar dan mampu bertanggung jawab? Dulu Mama sudah sering mengabaikannya. Membiarkan anak ini berbuat semau dia karena Mama terlalu sibuk membangun kehidupan Mama yang hancur. Mama lupa kalau dia punya ayah yang otoriter, kejam, juga mengintimidasi. Di belakang Mama, dia banyak mengalami hal-hal tidak menyenangkan. Sakit hati, mungkin juga luka yang terlalu menganga dan tidak pernah bisa Mama obati. Mungkin sebaiknya dia lahir dari rahim ibu yang lain. Tidak perlu kaya raya tapi bisa mendidik dan memberikan kebahagiaan di tengah keluarga utuh."
"Ma,"aku menggenggam tangan perempuan itu. "Nggak ada gunanya menyesali keadaan."
"Itu benar,"dia mengangguk. Kepalanya menoleh sedikit padaku. "Tapi tidak disesali pun keadaan akan tetap sama. Nasibnya akan tetap malang, ayahnya akan selalu menjadikan dia pelampiasan kalau segala sesuatu tidak berjalan dengan baik. Sementara Mama? Pada saat itu, mungkin Mama akan berada di tempat lain. Rasanya Mama sudah cukup memperbaiki banyak hal agar ... dia tetap bisa hidup dengan layak meski suatu hari ayahnya benar-benar menyingkirkan Juyeon. Dengar, mungkin kamu beranggapan kalau Mama adalah ibu yang egois karena terlalu memikirkan kehidupannya sendiri. Tapi apa yang Mama miliki di luar sana, semua atas nama Juyeon. Mama ingin dia hidup dengan harapan, karena ada sesuatu yang bisa menopang kedua kakinya untuk berhenti bergantung pada ayahnya. Kehancuran pria itu sudah dekat. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada kerajaannya kalau dia berhasil ditahan dan Mama tidak mau Juyeon memikul beban atas sisa-sisa puing yang bisa mengotori tangannya."
Aku tersenyum sangsi. Mama Juyeon mencondongkan tubuh lalu mengecup kening anak satu-satunya yang tidak terusik sedikit pun oleh suara obrolan kami. Mataku masih memperhatikan gerak-gerik wanita itu saat dia mengambil tas tangan di atas nakas dan merogoh ke dalam. Dia lalu mengeluarkan sebuah flasdish yang disodorkan padaku.
"Ini data pemegang saham pabrik di Daegu. Semua nama dan identitasnya asli, beserta informasi kepemilikan dana mereka di bank-bank luar negeri. Di dalamnya ada juga data tentang pihak-pihak kepolisian dan keimigrasian yang terlibat dalam peredaran kokain mereka. Mama akan kirim beberapa foto."
Dia mengeluarkan ponsel lalu mengirimiku foto lewat whatsapp. Aku membukanya dan melihat sebuah sepatu kondisi baru yang kotaknya sudah terbuka, lalu foto kedua memperlihatkan bagian dalam sepatunya terbuka dan serbuk-serbuk putih itu terendap rapih di sana. Mataku sampai terbelalak, bahkan setelah kuseret resolusi layar untuk diperbesar pun aku tetap tidak percaya dengan apa yang terpampang di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...