Malam ini aku makan di Pizza kafe bersama Karina dan Jaemin. Bukan weekend memang, tapi kami sudah tidak punya waktu lagi untuk berdiskusi tentang beberapa hal –tentangku-yang akhir-akhir ini sering dilewatkan oleh mereka. Sebenarnya aku sendiri merasa tidak yakin dengan ajakanku untuk bertemu para sahabatku itu. Aku selalu bernasib seperti tahanan di depan para jaksa penuntut. Mereka akan mulai bertanya kronologis, alasan, motif hingga akhirnya siap membeberkan segala konsekuensi atas tindak kriminal –kalau boleh aku menyebutnya seperti itu.
"Lo kurusan, Woong." Karina mengomentari penampilanku saat kami menunggu pesanan datang.
"Gue agak sibuk. Gue urus sendiri pernikahan ini soalnya,"jawabku tanpa sorot mata berbinar-binar seperti layaknya orangyang sudah tidak sabar ingin memulai sebuah rumah tangga.
Aku tahu dibanding Karina, Jaemin lebih tidak bisa menerima keadaan. Dia sekarang menatapiku seolah ada banyak hal yang aku rahasiakan, dan walaupun memang benar seperti itu adanya aku tidak berminat untuk membuka satu per satu di hadapan mereka seperti halnya penari striptease yang pandai memancing rasa penasaran demi penasaran ketika mereka melucuti pakaian.
"Kalau lo butuh bantuan gue, lo tinggal ngomong kok Woong,"tawar Karina tulus.
Dulu dia juga memiliki sisi sentimental yang cukup besar dalam mengomentari tindak tandukku. Tapi semenjak menjadi seorang istri, dia lebih melunak. Lebih memahami perasaan seorang dengan pola pikir dewasa. Memahami keadaanku dalam memilih keputusan.
"Enggak usah Rin, udah selesai kok. Yah... palingan tinggal sepuluh persen lagi."
"Ya harusnya lo juga nggak keluar tenaga kalau memang lo menikah dengan anak seorang pimpinan Han Yang grup . Dan kondisi lo enggak seperti orang kena tipes gini,"sahut Jaemin ketus.
Si pelayan menghidangkan pesanan di atas meja. Karina mendekatkan mangkuk salad ke arahku.
"Makan sayuran deh. Kalau mau nikah kita harus segar bugar, karena acaranya nguras tenaga banget."
"Makasih,"aku menusukkan garpu pada sekumpulan daun hijau itu.
"Lo serius nggak sih sebenernya, Woong?"
Kali ini Jaemin memilih duduk di sebelah Karina, di hadapanku. Mereka berdua kelihatan seperti suami istri yang sebenarnya di mataku sekarang. Ditambah aku memang jarang sekali bertemu dengan suami Karina yang selalu sibuk ke luar kota itu. Jujur saja, aku menolak diintimidasi oleh rasa keberatan Jaemin. Dia hanya tahu sampai sebatas videoku dan Juyeon, tapi selebihnya dia tidak akan pernah percaya dan mungkin menyebutku sebagai tukang ngarang.
Tapi percayalah, hidupku memang serumit itu ternyata.
Aku tidak tahu otak sebelah mana yang mulai putus saraf-sarafnya hingga aku gagal berpikir jernih dan waras akhir-akhir ini. Tapi bayangan-bayanganku akan keberadaan Tuan Na yang terpuruk sendirian di penjara dan meratapi nasibnya, lalu membusuk dan mati ternyata mampu membangkitkan bongkahan adrenalin. Aku merasakan semangat balas dendam di pembuluh darah, berdesir, berpacu dengan waktu. Seperti ikan hiu yang kelaparan berhari-hari menyusuri lautan lalu tiba-tiba ada yang membuang seember potongan tubuh manusia segar ke air.
"Woong, apa lo pernah memikirkan resiko ke depannya? Gue bukan mau ikut campur urusan lo. Gue tahu kalian udah deket sejak kita ke Bali. Bahkan bukan Cuma gue yang lihat kalian beberapa kali jalan. Tapi feeling gue bener-bener enggak enak. Walaupun gue nggak pernah mendukung lo sama si Jono, Cuma jelas aja bagi gue Juyeon nggak lebih baik."
Mulutku berhenti mengunyah. Aku tidak tahu mengapa mendadak semua makanan ini tak berasa di lidahku.
"Lo nggak tahu apa-apa soal mereka, Jaem. Jeno hanya salah satu dari sekumpulan orang brengsek yang mengekor di belakang pantat Tuan Na. Dia akan tetap berada di sana kalau nggak mau hidupnya jungkir balik."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...