"Lo yakin kan sama keputusan lo, Woong?"
Aku menatapi Chanhee dari layar ponsel. Dia terlihat menawan dengan loose sweater yang memperlihatkan tali hitam kecil baju dalamnya sambil meminum kopi dan memakai headset. Sudah persis NewYorker. Kelihatannya dia baik-baik saja setelah menjalani pernikahan yang awalnya sempat membuat dia ragu. Entahlah, bukankah pencitraan lebih mudah dibuat? Aku jelas tidak mungkin menilai keadaan Chanhee hanya dari acara videocall yang tergolong jarang ini. Sudah hampir setengah jam berlalu dan dia kembali mengajukan pertanyaan yang sama.
"Kenapa menurut lo gue harus ragu?" sebelah tanganku melesak masuk ke balik bantal yang dingin.
Kamar hotel bernuansa temaram seperti ini adalah suasana yang paling aku senangi. Ruangannya yang kedap udara memastikan kalau kita berada dalam lingkup privasi penuh tanpa ada satu pun yang bisa mengganggu. Juyeon menyiapkan kamar untukku dan keluarga Kak Minhyun supaya besok kami tidak perlu repot dijemput dari rumah. Awalnya Kak Minhyun menolak, tapi Juyeon meyakinkan bahwa di sini lebih aman. Tidak akan ada orang yang menyelinap hanya untuk membunuh seseorang agar pernikahan kami dibatalkan.
Mengerikan bukan? Mengapa sekarang aku merasa seperti hendak menikahi anak seorang ketua gangster paling berbahaya di Korea?
Chanhee menyesap lagi kopi dari mugnya. Dia menaikkan sebelah kaki lalu ditekuk. Rupanya anak itu memakai hotpants yang sangat mini.
"Lo inget kan nasihat lo sebelum gue nikah dulu? Kekhawatiran gue sekarang ternyata sama persis dengan kekhawatiran lo, Woong."
"Tapi semua berjalan baik-baik aja kan?"
"Semua berjalan baik karena suami gue cuma pegawai kantoran biasa. Dia bukan anak seorang konglomerat yang bakal naik tahta jadi pewaris utama. Lo harus bedain situasinya. Lo pikir ini drama-drama misterius, apa? Nggak semua orang bisa menerima keputusan kalian dan apa lo udah siap dengan konsekuensi kayak gitu?"
Aku menghela napas. Bagaimana lagi caranya menunjukkan pada mereka bahwa aku benar-benar ingin menikah dengan Juyeon?
Padahal sebenarnya tidak.
Sehari sebelum menikah aku malah memikirkan Jeno. Tatapannya yang menggelap, sikap possesifnya, keras kepala dan tukang maksa. Dia masih mengintimidasiku dan aku masih pasrah menerima semua itu. Bukankah seharusnya kutendang kemaluan dia ketika dengan kurang ajar dia mencium lagi. Membakar lagi apa yang sudah membeku dalam diriku. Hasrat bercampur amarah dan kesedihan. Sebuah kombinasi yang tepat untuk membunuh kewarasan kami masing-masing. Dia membuatku tidak punya pilihan kecuali menunjukkan apa yang sebenarnya bergerumul dalam diriku. Ketidakinginan untuk dinikahi orang yang salah.
"Jaemin cerita sesuatu sama lo?"aku mencoba mengalihkan topik.
Chanhee menghela napas. "Belum. Karina yang cerita. Dia sampai ngerasa cemas banget karena nggak pernah ngelihat Jaemin semarah itu."
"Gue nggak masalah kalau lo juga mau marah kayak dia sama gue,"ucapku pasrah.
Chanhee tergelak. "Ya ampun Woong, tega banget sih lo. Woongie, denger ya, gue pernah ada di posisi lo kemarin. Gue cintanya sama siapa nikahnya sama siapa. Tapi gue percaya sih, Tuhan udah ngatur ini semua buat kita. kalau Tuhan berkehendak mau ditahan kayak apa juga besok lo pasti akan menikah kan? So, I don't have any rights to judge. Walaupun gue sobat lo, lo berhak banget menentukan apa yang lo pilih dalam hidup. Gue dan Karina sih Cuma bisa ngedoain lo, ya semoga Juyeon emang bener-bener bisa ngejagain lo. Karena kalau nggak, gue sendiri yang akan terbang dari sini langsung ke rumahnya buat bunuh tuh orang."
Dia mengetuk meja dengan antusias. Persis tokoh politik yang sedang adu debat. Aku hanya tersenyum menahan haru atas dukungan sahabatku itu. Percakapan kami terusik oleh kedatangan suami Chanhee yang tiba-tiba. Dia menyapaku sebelum mengobrol sebentar dengan Chanhee dan pamit untuk pergi. Mereka berciuman sekilas sebelum saling melambaikan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...