Aku hanya terdiam. Sebenarnya aku enggan mengakui bahwa apa yang dia katakan barusan cukup untuk menarik minatku melakukan apa yang disarankannya.
"Hyunngg!" panggilku saat dia melompati besi pembatas jalan dengan kebun teh.
"Waaahh ... coba lihat. Kapan lagi kita bisa menghirup udara segar kayak gini. Aduh kalau di Seoul isinya udah polusi semua nggak, sih? Tempat kayak gini tuh ngingetin aku waktu hiking sendirian pas di Jerman. Pokoknya waktu pulang ke Seoul sampe-sampe syok kultur sendiri," ocehnya sambil menatap sekeliling.
Aku berjalan hati-hati melewati undakan daun teh.
"Hyung, ngapain sih? Ayo masuk mobil lagi," ajakku. Mataku menatap awas ke sekeliling, aku ngeri kalau sampai ada ulat daun yang menempel di bajuku.
"Sini deh." Haejin meraih pundakku. Memaksaku menatap bawah lereng yang berwarna hijau keemasan terkena cahaya matahari.
"AAAARRGHHH!!"
Teriakannya yang tiba-tiba membuatku terkejut.
"Astaga, Hyung."
Dia menoleh dan cemberut. "Aku lagi kesel tau. Masalah di rumah sakit, rapat yang nggak beres-beres sampai minggu depan, laporan keuangan salah terus, dan ..."
Laki-laki itu tidak melanjutkan kalimatnya.
"Moodku bener-bener lagi jelek pokoknya," sambung Haejin setelah terdiam sejenak.
"Ta-tapi Hyung kayaknya baik-baik aja deh sepanjang perjalanan," tukasku.
"Memangnya yang pinter akting itu cuma kamu? Ilmu komunikasi pelayanan kita kan udah jelas, kalau semua psikiater harus terampil mengatur emosi dan ekspresi wajah supaya nggak terbawa suasana atas kondisi pasien."
Aku menarik napas dalam-dalam mendengar komentarnya yang memukulku telak.
"Coba sana teriak, aku yakin kamu juga pasti juga banyak unek-unek, kan?" Dia menyikut lenganku.
Dengan malas aku mendelik ke arahnya.
"Males banget, malu-maluin diri sendiri aja."
Dia tersenyum meledek. "Tapi ini menyenangkan."
Haejin membentuk lengkungan dengan kedua telapak tangan di mulutnya.
"Wooyyyyyy!!! Anggota dewan sialan! Bangsat ya kalian, nuntut sesuatu yang nggak jelas. Dasar tolol. Maunya kalian tuh nggak ada yang masuk akal ya, setan. Kalian pikir aku presiden, apa? Memangnya itu rumah sakit milik kalian? Kalian bahkan nggak punya sepeser saham pun di sana. Brengsek!!"
Haejin terengah setelah melontarkan semua kekesalan dalam diri pria itu. Sementara aku masih takjub melihat tingkahnya.
"Ayo buruan coba," dia bersikeras memberiku giliran.
Aku maju selangkah, membelakanginya dan menatap jauh ke depan.
"Nggak masalah kalau sekarang kamu cuma bisa ngebayangin sosok ayah kamu ada di hadapan kamu. Anggap aja ini satu-satunya kesempatan untuk mengutarakan isi hati yang nggak pernah bisa kamu ungkapin sama beliau."
Kugigit bibir bawahku yang mendadak kering. Menarik napas di tengah sesak dalam dada ternyata jauh lebih sulit. Oksigen dan semua kekesalan saling himpit. Terasa berat juga perih.
"Appa ..."
Alih-alih berteriak memanggil namanya, suaraku malah terdengar selirih desau angin.
"Aku nggak tahu kenapa appa selalu nyalahin aku atas kematian eomma. Berapa kali harus aku bilang kalau bukan aku yang ngebunuh eomma. Aku memang ada di sana waktu eomma sekarat dipukulin, dan aku minta maaf karena aku nggak bisa menyelamatkan istri kesayangan appa itu.. Apa selama ini Appa menyayangi aku hanya karena eomma yang minta? Apa ... apa Appa sengaja nggak mau sembuh karena nggak mau melihatku dalam keadaan waras?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...