"Woong, hari ini kamu ke butik yang sudah Tante beritahu kemarin ya? Fitting bajumu sendiri soalnya Tante masih ada urusan di luar kota."
Aku menempelkan ponsel di telinga dan mencapitnya dengan bahu. Tanganku sibuk memilah milih baju yang akan kukenakan hari ini.
"Iya Tan," aku mengangguk samar sambil meraih kemeja berwarna tosca kesukaanku.
"Untuk pembayaran semua sudah diurus papanya Juyeon,"
Aku mendengar seperti suara benda jatuh di seberang sana dan mama Juyeon mengumpat kesal.
"Seharusnya kita bisa lebih santai dari ini. Tapi tante pikir mendatangankan pihak butik ke rumah cukup repot nantinya."
"Enggak apa-apa kok Tan, biar sama aku aja kan banyak waktu luang."
"Ya sudah, nanti sempatkan juga datangi hotel dan pihak WO untuk menanyakan perkembangan terakhir, lalu kabari tante sesudahnya."
Sambil memakai celana, aku berusaha agar ponsel itu tetap menempel di telingaku.
"Juyeon sudah jemput?"
"Belum, dia belum ada kabar lagi pagi ini."
"Oh, mungkin sebentar lagi ke rumah. Tadi dia berangkat bareng sama tante. Okelah kalau begitu sudah dulu ya, Tante mau take off."
"Oke Tan, hati-hati ya?"
Kulempar ponselku ke atas kasur saat sambungan terputus. Kusibakkan selimut sambil mencari-cari jam tangan. Mataku menatap frustasi ke seentaro kamar. Bagaimana mungkin si pengangguran ini tidak bisa mengatur segala sesuatu agar lebih rapih dan bersih? Apa saja yang kukerjakan akhir-akhir ini memang? Hingga onggokan jaket dan baju kotor terbengkalai di sudut, bantal dan boneka yang tergeletak di lantai, sampah cemilan, tisu, dan kertas-kertas yang diberikan kak Minho yang selalu aku pelajari setiap malam bertebaran di atas kasur.
Aku menghempaskan tubuh, ke tengah-tengah selimut yang masih acak-acakan. Rasanya sepreiku sudah berbau apek karena aku hampir satu bulan ini tidak mengirimnya ke laundry. Tapi otakku jelas lebih porak poranda dari kamar ini. Aku tidak percaya aku akan menikah dalam kurun waktu seminggu. Bukankah itu terkesan seolah-olah aku ternyata memang si jalang yang mendesak dinikahi oleh kekasihnya karena aku sakit hati? Itu gila, iya kan? Menikah berarti kamu akan hidup sangat lama dengan seseorang. Kamu tidak akan lagi mempunyai pilihan-pilihan lain kecuali menjadi pasangan yang baik baginya dan membuat rumah tangga kalian bahagia. Dan aku tidak yakin kalau pemikiranku sudah mencapai tahap itu. Rasanya aku masih berada di dasar, berharap ini semua hanya mimpi.
Tapi mimpi mana yang harus kuulang dari awal? Karena aku sudah terlanjur mengambil keputusan, menjerumuskan diri ke lingkungan orang-orang yang cukup berbahaya dan mempunyai pengaruh besar. Aku tidak menyalahkan keputusan kakakku yang diberikannya dengan sejuta ragu. Saat ini aku seperti orang yang siap menghantarkan kematianku sendiri.
Alih-alih merapikan sekali rambutku, aku malah mengacaknya gemas. Bagaimana tidak. Mengurus pernikahan ini tanpa bantuan siapa pun saja cukup membuatku tidak tidur dan kehilangan nafsu makan secara tiba-tiba.
"Woong! Ada tamu ini..." Yeji berteriak dari bawah. Jam segini dia memang sedang mengajak Byul untuk berjemur di teras.
Masa bodoh. Aku tidak perlu terlihat berpenampilan maksimal di tengah kegusaranku yang terus berputar-putar seperti tornado. Membuat perutku mual dan kepalaku berdenyut sakit setiap kali aku mengingat semua hal yang terjadi dalam hidupku. Dengan langkah cepat aku menuruni tangga. Berharap hari ini akan berlalu sama cepatnya. Baiklah, baiklah. Tugasku hanya dua kan. Mendatangi butik untuk fitting baju , dan konfirmasi perkembangan terbaru bersama pihak hotel juga WO yang sudah ditunjuk mama Juyeon. Aku yakin mereka juga pasti mengutuk pernikahan yang harus mereka handle dalam kurun waktu satu minggu ini. Tapi siapa memangnya yang bisa menolak perintah Tuan Na?
KAMU SEDANG MEMBACA
LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️
FanfictionTentang Hwanwoong dan segala sesuatu di luar buminya ...