AGONY (CHAPTER 8)

46 12 25
                                    

"Kamu emang seneng bercanda kayak gini, Jeno ssi?" Aku menengadah. Melawan sorot mata Jeno yang masih terlihat kelam. Mencari-cari sebuah cerita yang lebih lengkap di dalam sana.

"Kita bisa lakukan dengan cara apa aja, kan? Itu tujuan kamu. Menjual jasa sebagai seorang psikiater?" 

"Aku hanya berusaha menjalankan tugas," desisku.

Hawa panas dari amarah Jeno terasa sampai ke permukaan wajah.

"Bullshit," lanjutnya berbisik.

Aku menelan ludah. Alih-alih memperlihatkan betapa waspadanya aku saat ini, kucengkram kerah baju Jeno sambil menariknya dengan sedikit desakan. Dia terkesiap.

"Nggak pernah ada kata bullshit dalam caraku menyembuhkan pasien. Aku udah cukup gagal menyelamatkan ayahku sendiri, dan aku nggak akan kehilangan kamu hanya karena kamu mencoba membuatku berpikir bahwa ini semua omong kosong."

Dia terdiam untuk beberapa detik, mengais entah apa dari mataku. Sejurus kemudian tangannya menepis lenganku kasar hingga kerah bajunya terlepas. Dia memberi jarak lagi. Menatapku penuh intimidasi.

"Berapa Haejin hyung ngebayar kamu?" tanyanya tajam. "Seratus juta? Dua ratus mungkin, untuk setiap malam yang kamu habiskan di sini? Gimana kalau aku bisa bayar dengan jumlah yang lebih mahal supaya kamu pergi?"

Kepalaku bergerak miring dan memandangi wajahnya yang menegang. Masing-masing dari kami sedang berusaha menahan gejolak kemarahan.

"Kalau kamu pikir aku dibayar, kamu jelas salah," terangku. "Karena akulah yang akan membayar semua ini dengan kesehatan jiwaku sendiri. Sekarang tidur sana!"

"Aku nggak akan bisa memejamkan mata barang satu detik pun tanpa obat-obat itu, bangsat!" Jeno berteriak. Seolah aku adalah orang yang sama sekali tidak paham dengan keadaannya.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Kamu pasti bisa, Jeno."

"Arrgghh!!" Dia melayangkan tinjunya ke udara.

Tubuhku ikut berdiri. Lalu kudorong paksa dia kembali masuk ke dalam kamar.

"Aku mohon, berikan aku obat itu."

Sekarang tiba-tiba saja dia berlutut. Aku tidak ingin percaya tapi pemuda di hadapanku ini sampai meneteskan air mata. Perubahan emosinya yang begitu cepat tidak memberiku kesempatan untuk menganalisis. Jeno bersimpuh, menggapai kakiku.

"Dok, kenapa kamu buang semuanya? Aku nggak bisa hidup tanpa semua itu..." Dia merengek persis anak kecil.

Aku kemudian ikut berjongkok di hadapan Jeno. Luapan emosi menguar kemana-mana. Kamar ini ibarat penjara bagi jiwanya yang sudah kalap untuk memberontak.

"Jeno ya, lawan diri kamu sendiri," ucapku dengan nada yang lebih lembut. "Kamu harus bisa mengatasi semuanya mulai dari sini."

"Lalu membiarkan mereka membunuhku?"

Ekspresi wajahnya berganti cemas sembari melihat sekeliling kamar.

"Mereka?" Aku berusaha memastikan.

Mata Jeno menggelap. Dia lalu beringsut mundur, bersandar pada ranjang dan menekuk kedua kakinya ke dada.

"Setelah membunuh El, dia pasti akan membunuh aku juga."

Jari-jemari pria itu gemetaran. Bola matanya menatap acak ke segala sisi kamar.

"Kalau boleh tahu, siapa El ini?" Nada suaraku semakin menyudut.

"Dia ... sudah aku pindahkan ke beberapa tempat yang aman tapi mereka selalu menemukannya. Mereka menghabisinya dulu, lalu menghabisiku."

"Jeno_"

LOGIC SPACE || HWANWOONG 🔞⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang