EMPAT BELAS

148 18 1
                                    

Keesokan harinya Bora duduk di samping jendela sambil mencuri dengar diskusi papa dan ibu tirinya, pandangan mata kosong ke luar jendela.

Pagi ini sepertinya mereka berdiskusi di meja makan, rupanya setelah profesor Hendra mengeluarkan larangan kunjungan, papa dan ibu tiri lebih memilih pulang.

"Bora sepertinya tidak punya semangat di akademi, pernikahan adalah yang terbaik untuknya. Kamu lihat sendiri 'kan- hanya demi seekor anjing, dia stres seperti itu."

"Benar, pa."

"Dia juga membuat banyak kebohongan untuk menarik perhatian orang lain, bully salah satunya."

"Aku melihat kalian berdua mendorong anakku, kalian kira aku buta? Aku menutup mata karena kalian adalah anak dari wanita yang aku cintai, dan kamu- aku sudah merawat anak-anak kamu dengan baik, kenapa kamu tidak mau merawat anakku dengan perlakuan yang sama?"

"Aku merawatnya, tapi dia terlalu lebay dan mencari perhatian. Anak-anakku juga broken home tapi mereka mampu mengatasi kesulitannya sendiri. Buat apa sih psikiater? Buat apa juga memakai anjing?"

"Psikiater menyarankannya seperti itu!"

"Lalu anak-anakku bagaimana? Mereka tidak pernah membuat masalah dan juga korban broken home, tapi begitu anak kamu datang- mereka dianggap nakal dan menekan Bora. Padahal anak-anakku manis dan tidak tahu apa pun!"

"Aku-"

"Aku lebih setuju Bora menikah setelah lulus SMA atau kalau perlu, nikahkan saja secepatnya, belum lulus juga tidak masalah. Pria tua suka daun muda."

"Aku tidak suka menjual anakku ke pria tua!"

"Pria tua dan kaya raya tidak akan menjadi masalah, bukan? Jika anak kamu butuh psikiater, pria itu bisa mengeluarkan banyak uang untuk anak kamu. Kamu tidak bisa mengeluarkan uang banyak hanya untuk dia saja, bulan depan kamu masuk pemilu, kita harus gencar bakar uang. Apakah kamu tidak mau menjadi presiden?"

"Itu-"

Bora bisa mendengar pendapat papanya menjadi goyah, dia terlalu malas dengar lebih lanjut dan mencuri dengar percakapan mamanya.

"Jodohkan saja Bora dengan pria lain atau kenalan kamu."

Suara ini- apakah ini adalah suara pria yang sempat dilihatnya semalam?

"Bora, belum lulus sekolah. Bagaimana bisa aku menghancurkan masa depannya?"

"Dia sendiri yang membuat pilihan menghancurkan masa depannya, kenapa kamu yang repot? Tidak usah memikirkan anak nakal itu!"

"Tapi-"

"Bora sudah menjadi tanggung jawab ayah kandungnya, yang harus mendapat perhatian kamu hanya Harsa dan Genta. Aku tidak mau kamu sakit lagi seperti dulu."

"Bora tetap anak kandung aku."

"Tapi dia adalah titik sakit kamu, jika dia tidak ada, mungkin kita bisa menikah dan bahagia sekarang."

Bora tidak mau dengar lagi dan menyingkirkan sistem dengan melambaikan tangan. "Titik sakit, ya? Jika aku memang titik sakit, kenapa tidak aborsi aku saja? Kenapa malah melahirkan aku? Dosa? Kalian takut dosa? Hah!"

Bora tertawa sinis lalu menangis, sambil memeluk erat kedua kakinya.

Seseorang mengetuk pintu dan Bora tidak menjawabnya.

Seseorang mengetuk pintu lagi.

Bora menjadi kesal, bukankah selama ini dokter atau perawat masuk tanpa izin? Kenapa harus repot-repot mengetuk pintu?

Ditya masuk ke dalam kamar sambil membawa keranjang buah dan mulai mengomel. "Bora, apakah pendengaran kamu bermasalah setelah jatuh dari tangga?"

Bola memutar bola mata dan mengabaikan sindiran Ditya.

Ditya meletakan keranjang bunga di meja makan. "Rumah sakit ini biayanya mahal, apalagi kelas VIP. Siapa yang akan membayar rumah sakit kamu?"

Bora melupakan hal itu lalu menoleh ke dokter Ditya dan menebaknya. "Papa?"

"Walikota punya pekerjaan banyak dan bulan depan waktunya pemilu, sepertinya biaya rumah sakit tidak ada di dalam budgetnya."

Bora menatap curiga Ditya. "Dokter tahu dari mana?"

"Pemilik hewan suka bergosip, jadi tidak akan aneh jika berita tentang kamu menyebar luas."

Bora menjadi cemberut.

Ditya mendecak. "Seharusnya aku yang cemberut, berani sekali menyuruh papaku membuat revisi makalah kamu!"

"Aku membuat taruhan dengan profesor."

"Aku juga sudah mendengar taruhan itu, bagaimana caranya kamu mengeluarkan paman yang sukarela masuk penjara demi istri tercinta?"

"Istri tercinta?"

"Kamu tidak mengharapkan pria yang akan kamu bantu seorang lajang, bukan? Dia pria sudah menikah dan rela masuk penjara demi istri tercinta, bodoh bukan?"

Bora tidak paham, bagaimana ada pria sebodoh itu? Di dunia yang penuh dengan tipu muslihat, masih percaya dengan kata cinta?

Orang tua Bora menikah demi reputasi lalu pasangan masing-masing mendekat juga demi reputasi, apakah cinta masih sungguh ada?

"Bukankah itu sangat bodoh?" Tanya Bora. "Menunggu cinta yang tidak akan pernah dibalas.

Bora mencari informasi mengenai adik profesor Hendra, namun hanya data sebagai suami Rina, yang merupakan salah satu aktivis ham yang muncul.

Ditya mengangguk setuju. "Benar, pamanku sangat bodoh. Rasanya aku ingin memukul kepala cerdasnya."

Bora mengerutkan kening. "Hm? Kenapa profesor menyuruh aku belajar hukum ke orang itu tapi-"

Tapi yang muncul hanyalah pekerjaannya sebagai dosen.

Ditya mengerutkan kening. "Kamu belum tahu?"

"Apa?"

"Pamanku pernah belajar hukum."

"Belajar?" Tanya Bora. Dia masih belum paham, belajar hukum tidak sama dengan praktik hukum. Makalah yang diajukan Bora merupakan pengalaman pribadi, selain itu- bukankah Bora sendiri juga akan masuk jurusan hukum? Nasehat profesor waktu itu seolah adiknya pernah praktik hukum.

Bora bertanya pada dirinya sendiri. Tapi, kenapa tidak ada informasi yang muncul terkait dengan pria itu?

Ditya melihat sekeliling ruangan. "Apakah kamu belum sarapan?"

Bora menggeleng pelan.

Ditya membawa satu kantong bungkusan plastik. "Mau sarapan bersama ayah angkat?"

Bora mengangguk singkat.

Ditya meletakkan bungkusan plastik tepat di hadapan Bora dan bantu membukanya. "Aku suka bubur ini, langganan aku sejak sekolah SMA."

Bora memperhatikan Ditya yang mulai mengurusnya dengan baik. Dia tidak terbiasa diperhatikan seperti itu. "Apakah aku bisa menjadi seperti dokter?"

"Bukankah kamu ingin belajar hukum? Kenapa kamu jadi beralih ke dokter hewan?"

"Tidak, maksudku... bisakah aku menjadi manusia seperti dokter Ditya?"

Ditya yang duduk berhadapan dengan Bora, menatap lurus bocah remaja itu. "Apakah kamu mengenal aku?"

"Apa?"

"Mungkin aku terlihat baik bagi pemilik hewan, karena aku dianggap baik mengurus hewan mereka saat sakit. Tapi, di mata orang lain- aku sangat jahat."

"Jahat?"

"Yah, kamu kenal dengan aktivis HAM si Rina jelek itu? Aku kesal karena dia selalu menyudutkan aktivitas dokter hewan dan peneliti hewan seperti kami, kami bermusuhan."

Bora tidak tahu apa yang terjadi, tapi begitu melihat layar di atas kepala Ditya, ada tulisan 'benci 100%'.

Yang membuat Bora heran, bukannya wanita itu adalah istri dari paman dokter Ditya?

Bora teringat dengan keluarga intinya yang saling membenci. Mungkin benci orang luar merupakan hal biasa di dalam keluarga.

Namun, tidak lama pendapat Bora dipatahkan langsung oleh Ditya.

SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang