Edwin Federick, 49 tahun. Sangat mencintai Ike sejak kecil dan ingin menikahinya, namun harapan itu pupus ketika Ike tiba-tiba hamil dan menikah dengan teman kuliahnya.
Edwin yang kecewa, menikah dengan wanita yang dijodohkan keluarganya. Untung saja, Edwin tidak memiliki anak sama sekali dengan mantan istrinya, sehingga ketika mendengar Ike kecewa karena suaminya selingkuh, Edwin langsung menceraikan istrinya.
Edwin mudah menerima Harsa dan Genta, namun tidak bisa menerima Bora yang wajahnya sangat mirip dengan pria yang menghamili Ike.
Sekitar tiga tahun lalu, Edwin memberikan pengaruh ke Ike saat wanita pujaannya sedang bingung karena teror dari mantan suaminya.
"Berikan saja Bora, kenapa kamu bingung?"
Ike menggeleng pelan. "Bora anakku, darah dagingku. Bagaimana bisa aku berikan kepada Aji? Dia sudah menikah dengan wanita yang memiliki anak sendiri, kamu tahu 'kan berita mengenai ibu tiri yang tidak suka kehadiran anak tirinya?"
Edwin membelai kepala Ike. "Kenapa kamu harus peduli? Bukankah selama ini Bora adalah mimpi buruk kita?"
"Ed-"
"Bora memiliki wajah yang sama dengan Aji, jika kamu mempertahankan Bora, bagaimana dengan kesehatan mental kamu, yang terus-terusan dibayangi pria bejat itu?"
"Dengar 'kan aku, biar Aji yang bertanggung jawab terhadap Bora. Kamu urus Harsa dan Genta, aku akan membantu."
"Edwin-"
"Aku tidak mau melihat wajah kamu menangis lagi seperti di masa lalu. Lupakan Aji, termasuk Bora yang memiliki wajah sama dengan pria itu, masa depan kamu hanya bersama aku dan kedua anak lainnya yang masih kecil."
Ike tersenyum sedih lalu memeluk Edwin. "Terima kasih, hanya kamu yang paham bagaimana perasaan aku."
Edwin memeluk erat Ike, dia tidak akan pernah kehilangan wanita ini lagi. Karena itu, begitu melihat wajah Bora yang semakin mirip dengan ayah kandungnya, Aji. Edwin semakin membencinya.
Edwin juga semakin khawatir ketika mendengar mantan suami Ike, dielu-elukan menjadi presiden.
Sebentar lagi Aji akan menjadi Presiden, aku harus menjauhkan Ike serta kedua anaknya dari Bora dan Aji.
Kehadiran Bora yang membuat hidup Ike dan Aji sengsara, Bora juga anak yang bermasalah sehingga Edwin khawatir Bora akan mendatangkan masalah untuk Ike.
Edwin tidak suka kemunculan anak perusuh.
Saat Edwin sedang bersama istri dan kedua anak tirinya untuk berlibur serta bersenang-senang, Aji beserta keluarga baru sedang berada di universitas Laras dan Akmal.
Laras masuk ke jurusan ilmu politik, sementara Akmal masuk ke jurusan kedokteran. Tentu saja yang membayar biaya kuliah mereka adalah Aji.
Aji dan Yuni, ibu tiri Bora. Sedang bicara dengan seorang dosen yang memuji Laras.
"Laras pasti bisa menjadi duta besar Indonesia, jika dia mau atau masuk ke partai yang sama dengan pak Walikota."
Aji mengangguk puas. "Dia memang cerdas, aku tahu hal itu."
Yuni tersenyum bangga sementara Laras menunduk malu.
"Terima kasih sudah membimbing anak saya dengan baik." Aji berjabat tangan dengan dosen itu.
Dosen wanita itu tertawa dan menepuk tangan Laras dengan bangga. "Dia memang anak yang membanggakan, saya sebagai dosennya pun juga ikut bangga."
Aji dan Yuni datang ke Universitas Laras dan Akmal karena permintaan pihak Universitas, hari itu juga mereka berempat muncul layaknya keluarga, mengabaikan Bora yang berada di rumah sakit.
Tidak peduli dengan kondisi kedua orang tua yang sudah bahagia dengan keluarga masing-masing, Bora diam-diam keluar dari rumah sakit dan mencari uang sendiri.
Dan uang tersebut tidak jauh dari rumah sakit.
Bora menghentikan langkah kecilnya ketika berdiri di sebuah warung kecil dan membaca tulisan di banner. "Hm? Daging anjing?"
KAING!
Bora mendengar suara teriakan seekor anjing dari dalam warung, dia bergegas masuk ke dalam.
Bora melihat seorang pria sedang memukul kepala seekor anjing yang sudah tidak berdaya. "HENTIKAN!" teriaknya.
Pria yang sedang memukul kepala seekor anjing yang tergeletak tidak berdaya itu, sontak menoleh.
Bora juga melihat pria lain membakar hidup-hidup seekor anjing.
Bora sontak mencari air terdekat lalu menyiramnya, berusaha memadamkan api dengan jaketnya.
"Anak kecil, kenapa kamu ada di sini?!"
Bora yang menghapus air mata diam-diam, sontak balik badan dan melindungi kedua anjing tersebut. "Apa yang kalian lakukan? Bukan 'kah kalian sedang menyiksa anjing-anjing ini?"
Kedua pria itu tertawa mengejek.
"Hei, anak kecil. Apakah kamu tidak pernah makan daging anjing?"
"Daging anjing nikmat saat dimakan bersama tuak atau bisa juga menaikan trombosit darah."
"Ah, kamu memakai pakaian rumah sakit. Apakah kamu pasien di sekitar sini? Pasti butuh daging anjing, kami akan berikan gratis untuk kamu. Tapi- jangan halangi pekerjaan kami."
"Menghalangi? Kalian hanyalah pengepul anjing curian!" Bentak Bora. "Kalian membunuh dan mencuri anjing-anjing rumahan lalu dijadikan makanan, kalian semua sinting!"
Pria yang sedang memegang tongkat kayu mengangkatnya ke udara. "COBA BILANG SEKALI LAGI, AKU HAJAR KAU!"
Bora tetap melindungi kedua anjing yang tidak berdaya itu dengan tubuh mungilnya.
"MINGGIR!"
Bora tetap tidak bergerak, kedua tangannya masih terentang di udara.
Pip! Pip!
Terdengar suara alarm di kepala Bora, bersamaan dengan suara sirine polisi.
Pria yang sedang mengangkat kayu di udara, sontak menjatuhkan kayu itu dan ketakutan ketika melihat seorang polisi datang.
Bora terkejut ketika melihat polisi yang dikenalnya, berjalan menghampiri. "Pak polisi."
Efan menaikkan salah satu alis. "Hm? Bora? Kenapa kamu ada di sini? Bukankah seharusnya kamu ada di Universitas?"
"Universitas?" Bora semakin bingung dengan pertanyaan Efan.
Efan melambaikan tangan dengan santai lalu bicara ke pria yang hendak memukul Bora. "Ada cctv kamu menculik satu ekor anjing milik kedutaan negara Arban. Huh, nyawa kamu tidak akan aman di masa depan karena mencuri peliharaan orang penting."
Pria itu menggigil ketakutan.
Bora balik badan dan menepuk pelan anjing yang dibakar hidup-hidup, perasaan yang sama saat Bern dibakar hidup-hidup.
Bora menggosok kedua matanya dengan sedih, ketika anjing itu mengerang kesakitan dan tidak melawan sama sekali, dia menghibur anjing itu. "Tidak apa, tidak apa. Pak polisi sudah datang menolong, kita akan ke dokter hewan dan menyelamatkan semuanya."
Bora menggosok matanya lagi, menghalau air mata yang terus-terusan mengalir.
Efan mengeluarkan instruksi ke teman-temannya untuk menangkap mereka serta mengambil anjing-anjing di dalamnya.
Efan menghela napas panjang dan mulai mengeluh. "Anjing-anjing ini harus aku bawa kemana ya? Tidak ada yang peduli dengan nasib mereka."
Bora mendongak dan bicara ke Efan. "Sa- saya punya uang, bisakah mereka semua diperiksa dan dibawa ke dokter?"
"Masalah itu, aku sudah ada solusi. Tapi masalah lain adalah dimana aku harus menempatkan anjing-anjing ini?"
Benar, tidak ada tempat untuk anjing-anjing terlantar. Masuk ke shelter pun akan menjadi beban tambahan.
Bora memiliki ide, namun mungkin akan memberikan beban untuk dirinya di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)
RomanceSaat ulang tahun ke 17. Bora Zanitha Rukmasara harus menyaksikan anjing kesayangannya dibakar hidup-hidup oleh kedua saudara tiri. Satu tahun kemudian, anjing kesayangannya datang ke dalam mimpi dan menunjukkan masa depan selama satu bulan berturut...