KELUARGA YUNI

107 15 1
                                    

Kakak Yuni adalah anak laki-laki yang dimanjakan di dalam keluarga Yuni. Orang tua selalu bangga dan memanjakan anak laki-lakinya, berharap dia bisa meninggikan derajat orang tua.

Yah, memang kakak Yuni cerdas bagi orang lain. Namun di luar pria itu terkenal licik dan juga pemalas, jarang ada yang mau bekerja sama dengan kakak Yuni, sehingga pada akhirnya ketika keluarga besar mengetahui Yuni sedang berkencan dengan salah satu orang di bidang politik, mereka mulai memanfaatkan Yuni.

Yuni kesal dengan keluarganya, tapi juga tidak bisa berbuat apa pun karena setiap tidak punya uang, rumahnya lah yang bisa menyediakan.

Setelah rapat keluarga, Laras masuk ke dalam kamar Yuni dan menguncinya, supaya tidak ada orang yang mencuri dengar percakapan mereka.

"Mama yakin, Papa tidak akan menceraikan Mama?"

Yuni sendiri juga tidak yakin dengan ancaman Aji. "Mama tidak tahu, tapi jika Mama mengiyakan- mereka pasti akan membuat ulah dan berusaha menekan Mama."

Laras juga tahu tentang itu. "Lalu, bagaimana cara Mama perbaiki semuanya? Bukankah kita lebih baik tinggal di rumah yang sudah dibelikan Papa? Dari pada di rumah keluarga Mama."

Yuni duduk di atas tempat tidur dan meras frustasi. "Aji tidak bisa dihubungi, Mama berusaha pergi ke sana tapi para ajudan menghalangi."

"Bagaimana jika Mama bicara di media sosial?" Tanya Laras, yang tiba-tiba mendapatkan ide.

"Media sosial?" Tanya Yuni. "Kita sudah diserang netizen, bahkan aku saja tidak berani buka. Kamu menyuruh aku untuk-"

"Mama-" erang Laras. "Kita tidak akan tahu jika tidak mencobanya, kita harus tunjukkan ke media sosial bahwa Papa sudah melakukan tindakan kejam ke kita bertiga. Kita harus kembali ke rumah itu."

Yuni masih terlihat tidak setuju. "Mama tidak ingin-"

"Tenang saja, Laras akan membantu Mama." Laras berjanji kepada Yuni sambil menaikkan jari kelingkingnya.

Yuni tersenyum lalu menautkan jari kelingkingnya ke Laras. "Berjanjilah pada Mama, untuk membantu dan kita tidak akan terlibat masalah."

"Aku janji, yang penting kita kembali dulu sekaligus menjauh dari tekanan keluarga."

Yuni menghela napas ironi. "Mereka keluarga, tapi entah kenapa rasanya bukan seperti keluarga."

Laras mengangguk setuju, tapi juga tidak ingin membahasnya lebih jauh.

***

Bora mengamati pergerakan hewan yang hilang melalui sistem, karena dirinya harus bisa menjadi pendamping Fendi, dia sudah tidak bisa turun ke jalanan lagi. Tentu saja, Bora sempat mengeluh ke dokter Ditya.

Pada akhirnya rumah sakit hewan milik Ditya, yang bekerja sama dengan kenalan dekatnya- bekerja sama dengan Bora dan membuat satu departemen baru. Pencarian hewan hilang.

Bora awalnya tidak begitu paham tentang pola sistem jika sengaja mencari hewan hilang, dengan mengandalkan nama dan juga foto, karena hewan memiliki corak yang hampir mirip dengan lainnya. Namun, semakin lama dia terbiasa mencari hewan hilang.

Salah satunya adalah seekor ular phyton kesayangan mahasiswa kaya dan akan membayar berapa pun itu supaya tidak ada yang menyakiti kesayangannya.

Bora agak jijik jika mencari satu persatu, dan akhirnya dia menyerahkan pencarian pada Bern palsu.

'Tuanku, aku menemukannya tidak jauh dari rumah. Jika dia mencari di bagian selokan, pasti akan ketemu. Dia kelaparan dan masuk fase sensitif, sebaiknya yang paham karakternya dia saja yang ambil.'

Bora segera menulis dan berikan kertas yang ditulisnya sambil menguap lebar.

Cinta yang ditugaskan sebagai asisten sementara, bertanya pada Bora. "Apakah melelahkan?"

Bora terkejut lalu menggeleng. "Tidak melelahkan kok. Jika mengingat mereka akan kembali ke tuan yang melindungi mereka, rasa lelah sepertinya akan berkurang."

Cinta mulai menghubungi pemilik ular tersebut.

Bora bertanya ke Cinta. "Berapa uang yang akan kita dapatkan dari pencarian ini?"

Cinta menjawab. "Satu klien seratus ribu rupiah, tergantung hewan apa yang dicari."

Bora menurunkan kedua bahunya. "Seratus ratus ribu? Murah banget, aku cari lewat berhadiah saja sudah dapat jutaan."

Cinta tertawa. "Ya, itu kan kalau mereka sebar brosur berhadiah. Kita juga kan kerja sama dengan shelter."

"Eh?"

"Ah, mungkin aku belum jelaskan secara detail."

"Seratus ribu itu untuk lamanya kamu mencari hewan-hewan itu. Seratus ribu satu menit."

"Eh?"

"Nah, berhubung kamu tadi menemukan ularnya sekitar tiga puluh menit, maka kami kenakan biaya tiga juta rupiah. Tentu saja, sebelum beritahu- lihat." Cinta menunjukan foto bukti transfer. "Kita dapat uang tiga juta rupiah dalam waktu tiga puluh menit."

'Ah, padahal kalau aku yang mencari- hanya butuh waktu satu menit. Kasihan pemilik ular itu.'

Bora merasa bersalah, tapi juga tidak ingin mengungkapkannya terang-terangan. Yang paling baik adalah menyembunyikan dosanya, dan juga-

Bora tersenyum licik. Sepertinya aku harus mengandalkan kamu, sistem.

'Tuan, jangan bercanda!'

Bora berkomunikasi dengan sistem. Tidak masalah, bukan? Selagi kamu mencari uang, aku harus mencari hal lain dulu.

Bern palsu tidak bisa membantah perkataan tuannya.

Aku hanya ingin tahu, siapa yang sudah menghancurkan kami di masa depan.

***

Edwin duduk di sofa sambil membaca koran, Ike meletakkan cangkir kopi di atas meja. Sore ini dia lebih memilih bersantai di ruang keluarga sambil mendengar berita di televisi sekaligus membaca koran.

"Anak-anak bagaimana kabarnya?" Tanya Edwin tanpa melihat Ike.

Ike jarang berkomunikasi dengan anak-anak semenjak mereka pergi, dia hanya ingin hidup dengan tenang dan fokus merawat suami yang sekarang. Dulu Aji terlalu banyak menuntut untuk menjadi istri yang selalu di rumah dan melayaninya dengan baik.

"Aku sudah lama tidak berkomunikasi dengan mereka."

Edwin membalik halaman koran dengan santai. "Mereka pasti senang mendapat perhatian publik, Aji kesayangan rakyat."

Ike minum teh dengan tenang dan tidak membalas ucapan Edwin.

Edwin meletakkan koran di atas meja dengan tidak sabar, lalu minum kopinya. "Bora bermasalah dengan publik, sampai sekarang aku tidak mendengar klarifikasi dari pihaknya, justru yang muncul adalah perundungan. Bukankah harusnya kamu menghubungi anak itu?"

"Bora sudah dewasa, dia tidak butuh aku." Ike meletakkan cangkir di alasnya, kedua mata fokus menonton berita.

Berita mengenai perundungan yang dilakukan istri presiden dan anak-anaknya, menjadi heboh di media sosial. Namun tidak muncul di televisi atau pun media cetak. Aji pasti sudah mati-matian berusaha melindungi kekasih yang dicintainya.

Edwin tersenyum sinis setelah menyesap kopi. "Rupanya kamu bisa bersikap dingin pada anak itu."

"Bora sudah menikah."

Edwin terkekeh. "Dia menikah dengan seorang tahanan, sekarang tinggal di rumah warisan keluarga Rukmasara. Apakah orang tua kamu tidak merasa tersinggung dengan kelakuan Bora?"

Ike tahu Edwin sangat benci Bora, kelahirannya membuat Ike menikah dengan Aji. Tapi bukan berarti anak kecil yang tidak berdosa, menjadi bahan kebencian. "Dia tidak tahu apa pun tentang masalah orang dewasa, bisakah kamu tidak membencinya?"

"Sayang sekali, aku tidak bisa melakukan itu, Ike. Bora sudah membuat kamu terluka secara lahir dan batin. Aku tidak suka melihat wanita yang aku cintai jatuh."

Ike tidak tahu harus merasa sedih atau senang, begitu mendengar jawaban sang suami.






SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang