ISTRI & ANAK TIRI FENDI

135 14 0
                                    

Fendi memiliki istri dan anak berjumlah dua belas orang. Banyak? Memang. Kata orang tua zaman dahulu, semakin banyak anak maka akan mendatangkan banyak rezeki.

Fendi yang berpikiran kuno tidak pernah mempermasalahkannya, selama mampu menghidupi mereka semua.

Dua atau tiga anak tertua merupakan anak bawaan dari istri, Fendi tidak pernah mengingatnya karena dia mau menerima anak-anak sebagai anak kandungnya sendiri.

Yang menjadi masalah adalah kakak kedua Fendi yang bertengkar dengan istri Fendi. Tidak, lebih tepatnya murid kakak kedua Fendi yang bertengkar dan ditekan istri Fendi.

Jika istrinya tidak membuat masalah, Fendi tidak akan pusing atau pun mulai curiga.

Tapi-

Fendi menghentikan langkahnya sambil menghabiskan boba rasa strawberry. Apa benar Rina sedang hamil sekarang?

Otak cerdas Fendi yang awalnya jalan di tempat, mulai bisa digunakan seperti dulu.

Fendi mulai berjalan sambil berpikir serius dan meminum boba rasa kesukaannya.

Fendi tidak tahu bahwa ada yang berusaha mencari informasi tentang dirinya, setelah tiba di rumah sakit.

Bora mengerutkan kening dengan heran. "Aneh, kenapa aku tidak bisa mendapatkan informasi tentangnya?"

Tiba-tiba muncul suara di dalam kepala Bora dan layar monitor digantikan dengan informasi mengenai anak-anak keluarga Tsoejipto.

"Tsoejipto? Sepertinya aku pernah dengar." Bora tertarik dengan tulisan artikel lama mengenai keluarga Tsoejipto dan mulai membaca.

Keluarga Tsoejipto memiliki tiga pewaris inti, namun dua pewaris memilih pergi dari rumah dan hanya bertahan anak pertama.

Bisnis keluarga ada di berbagai bidang, namun bisnis awal mereka ada yang menyebutkan hotel, ada juga politikus.

Kedua mata Bora terbelalak. "Politikus?"

Jantung Bora berdebar keras. Dia tidak terlalu paham dengan politik, dan hanya anak SMA biasa. Bagaimana bisa dirinya-

Tunggu!

Bora menggenggam erat sprei tempat tidur. "Bukankah bagus jika calon suami aku punya latar belakang seperti ini? Dengan begitu- aku bisa- ah!"

Yang membuat Bora bingung adalah menyelamatkan ayah kandungnya, atau menghancurkan hidup sang ayah dan keluarga barunya.

Tidak lama, Bora menggeleng cepat. Tidak! Untuk sementara, dia harus bisa mendapatkan Fendi.

Bora tidak butuh latar belakang pria itu atau seberapa hebat dia jika kembali bekerja, Bora hanya membutuhkan seseorang yang bisa memakamkan dirinya dengan abu Bern.

Bora menyentuh gambar di layar sistem yang menampilkan wajah masa Fendi yang masih balita.

"Andaikan saja aku terlahir dari orang tua yang saling mencintai-" keluh Bora pada dirinya sendiri.

***

"Aku heran sama Bora, dia melamar adik profesor tapi tujuannya hanya untuk melindungi diri sendiri saat meninggal, bukankah dia punya keluarga?" Tanya Bima.

Ditya yang sedang memakai jas putih dan berjalan menuju ruang rawat inap pasien, balik badan.

"A- apa?" Bima yang tubuhnya gendut, melindungi diri sendiri dengan mengangkat kedua tangan. "Apa yang mau kamu lakukan?"

"Sekarang, coba kamu pikirkan- di Indonesia, apakah seekor anjing bisa berjalan bebas di jalan? Apakah seekor kucing bisa mendapatkan makanan meskipun hanya mengorek sampah?"

Bima menurunkan kedua tangan dan menjawab dengan tegas. "Tentu saja tidak."

"Keluarga dari pihak ayah kandung Bora, agamanya sangat kental. Sementara dari pihak ibu kandung, tradisi keluarga lebih kental. Dua orang berbeda menikah, apa yang bisa didapatkan? Keras kepala dan mau menangnya sendiri.

"Jika kita membahas agama atau budaya, tidak akan ada habisnya. Sama dengan kondisi Bora sekarang, keluarga pihak ayah kandung tidak setuju adanya service dog yang dianggap membuang uang, sementara dari pihak ibu kandung, tidak mempermasalahkannya.

"Lalu sekarang, Bora ikut dengan ayah kandung. Seiring berjalannya waktu juga, keluarga ibu kandung Bora tidak akan terlalu peduli dengan kehidupan Bora lagi."

Ditya berhenti, mengambil jeda sekaligus mengamati Bima yang serius mendengarkan dirinya.

Ditya kembali meneruskan penjelasannya. "Bora menyadari kedua orang tua sudah tidak bisa menerima kehadirannya, kemungkinan terburuk bisa saja kematian menghadapinya di masa depan."

"Apakah masuk akal seorang anak SMA meninggal tanpa sebab?" Tanya Bima tidak percaya.

"Bima, kita sedang membahas anak Wali Kota yang disukai rakyat Indonesia. Kamu tahu bagaimana buruknya dunia politik untuk bisa naik ke atas, mereka harus saling menyikut, tidak peduli lagi dengan persaingan sehat. Terutama jika pria itu sudah memiliki keluarga baru."

Bima baru menyadarinya. "Keluarga baru wali kota akan menganggap Bora sebagai penyakit yang harus dihilangkan."

"Bora hanya ingin bertahan hidup dengan melawan mereka," sambung Ditya.

Bima menghela napas panjang. "Kenapa dia bisa berpikiran sampai ke sana? Apakah karena alasan ini kamu sampai rela menjadi wali dia?"

"Aku bersedia menjadi walinya karena Bern."

"Apa?"

"Bern minta bantuan kepadaku. Saat aku memeluk tubuh yang sudah tidak berdaya- sebenarnya masih ada sisa napas-" Ditya masih bisa merasakannya saat itu. "Mungkin dia sedang menunggu aku, untuk menyampaikan pertolongan."

Bima mengacak rambutnya dengan frustasi. "Jika kita berpikir secara logika, hal itu tidak masuk akal. Bagaimana bisa seekor anjing berusaha menyelamatkan masa depan? Apa yang dia katakan kepadamu?"

Ditya masih teringat dengan perkataan Bern, yang membuat hatinya hampir menangis. "Dia bilang tolong lindungi Bora."

Bima terdiam.

"Hanya itu, setelahnya dia tidak bernapas. Lalu papa datang ke rumah keluarga Bora dan berusaha menyelamatkannya dari upaya bunuh diri. Papa bisa melihat jelas seekor anjing golden retriever duduk di samping tempat tidur tuannya yang tidak bergerak.

"Seandainya Wali Kota tidak duduk di samping tempat tidur Bora yang masih luas, papa pasti akan percaya anjing itu nyata. Makanya, papa langsung percaya- bahwa Bora akan mencari aku."

Bima baru mendengar cerita itu. "Apakah Bora tahu?"

Ditya menggeleng. "Belum saatnya cerita, anak itu masih belum stabil jika kita membahas masalah Bern. Tunggu waktu yang tepat."

"Ditya, aku-"

"Bima. Aku dan papa hanya dokter hewan yang ingin membantu pasiennya sampai tuntas. Bern adalah pasienku dan Bora adalah pasien manusia papa. Kami tidak akan pernah meninggalkan pasien yang terluka begitu saja."

Hendra memiliki dua sertifikat kedokteran secara resmi. Dokter untuk manusia dan juga untuk hewan. Ditya, anak sulung Hendra hanya tahu sepak terjang profesi dokter ayah kandungnya.

Namun, berbeda dengan Bima dan Donny yang tahu identitas sesungguhnya profesor Hendra.

Kemungkinan besar profesor yang Bima kenal, tidak hanya menggunakan hati nurani- tapi juga memanfaatkan situasi untuk menekan wali kota yang akan menjadi presiden.

Jika Bora anak kesayangan, profesor Hendra bisa menekan tanpa perlu turun tangan, dan jika Bora bukan anak kesayangan, profesor Hendra akan turun tangan serta mengumpulkan bukti kejahatan yang ditutupi ayah kandung Bora.

Tujuan profesor sudah jelas, namun Ditya tidak mengetahuinya sama sekali. Profesor sengaja menutupi semua kelicikannya demi masa depan anak-anak sendiri.

SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang