AJI MENOLONG IKE

105 16 0
                                    

Edwin yang masih tidak puas dengan jawaban tidak tahu Ike, menyabet punggung Ike dengan sabuk, serta menamparnya berkali-kali hingga pipi bengkak, tidak hanya itu- wajahnya ditonjok hingga dua gigi depan rontok.

Edwin tidak merasa bersalah sedikit pun, sebaliknya dia lebih kesal dan berdalih cemburu karena Ike melindungi mantan suami. "Apakah kamu masih cinta pada Aji? Pergi sana ke tempat dia! Aku yakin sekali, dia tidak akan menerima kamu."

Ike menangis karena menahan sakit, wajah cantiknya berubah mengerikan karena kelakuan Edwin, tapi dia tidak pernah mengadukannya kepada siapa pun. Meskipun keluarga Rukmasara mengagungkan wanita di dalam keluarga, para wanita tetap dididik menghargai pria sebagai kepala keluarga.

Harga diri seorang istri, ada pada suami. Namun, Ike lupa bahwa Edwin yang merupakan seorang suami, juga memiliki harga diri pada istrinya.

Indonesia memiliki minat tinggi terhadap pendidikan agama, namun agama dibuat para pria dan keluarganya untuk merendahkan wanita. Tanpa disadari, wanita yang dididik keluarga sejak kecil untuk tunduk, mulai menjadi budak. Itulah sebabnya kenapa semakin banyak pria tetap selingkuh, meskipun wanitanya berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangga.

Tidak terkecuali Ike.

Ike yang dulu mampu berpisah dengan Aji karena tidak tahan dengan kelakuan perselingkuhan Aji, memiliki alasan untuk berpisah. Namun saat bersama Edwin, dia tidak mampu mengucapkan perpisahan karena hutang kebaikan di masa lalu.

"Aku harap nanti kamu membuka semuanya dengan jelas, tidak mungkin anak sulung kamu bisa mendapatkan uang dari suaminya. Dia hanya mantan residivis yang tidak punya uang sama sekali. Jangan coba-coba membohongi aku, Ike." Edwin memperbaiki seragam kerjanya dan berjalan keluar meninggalkan kamar.

Ike menangis.

Edwin tidak mengunci kamar sama sekali, karena merasa percaya bahwa Ike tidak akan bisa kabur. Namun, sepertinya dia melupakan tentang ketiga anak Ike.

Ike mendapat telepon dari Genta yang menangis di dalam kamar, batinnya sebagai seorang ibu, tidak akan pernah bisa lepas meskipun diri sendiri harus merasakan sakit. "Sayang, Genta. Ada apa? Kenapa anak Mama menangis?"

"Genta tadi bangun, terus mimpi kalau mama menangis- terus wajahnya penuh luka. Mama baik-baik saja?"

Ike merasa ada yang menghujam jantungnya. Mimpi Genta mirip dengan kondisinya yang sekarang. "Genta, Mama baik-baik saja."

"Genta mau lihat Mama, Mama cepat kesini. Genta mau peluk Mama."

Ike bisa mendengar tangisan menyayat putra bungsunya, dan mulai melupakan rasa sakit yang diderita.

Ike keluar dari rumah secara diam-diam, setelah menutupi wajahnya dengan masker dan topi.

Semua pegawai di rumah dinas Edwin, sibuk melakukan kegiatan masing-masing dan mulai melupakan keberadaan Ike yang mendapat hukuman dari atasan mereka.

Ike hanya membawa tas ransel milik Harsa yang lama, diisi dengan dompet, kartu identitas, ijazah dan buku nikah lalu buku tabungan. Dia hanya mengandalkan insting untuk membawa dokumen pribadi dari pada koleksi mahalnya.

***

Di saat bersamaan Ike kabur dari rumah, terdengar suara alarm berbahaya dari sistem.

Bora yang sedari tadi sedang sibuk bersama Ratna, untuk memilih gaun dari manajer butik mewah yang datang secara eksklusif ke rumah, otomatis mendongak.

Layar monitor terbentang di depannya yang sedang duduk di sofa empuk dan mewah. Tanda merah dan bunyi berisik muncul di dalam kepalanya.

"Kenapa? Apakah ada hewan peliharaan lagi yang harus diselamatkan?" Tanyanya yang tanpa sadar menyuarakan pikiran.

Ratna dan manajer tersebut, otomatis menoleh.

"Bora, ada apa?" Tanya Ratna dengan bingung.

Bora konsentrasi menatap layar monitor dan melihat tanda merah tadi berubah menjadi sosok seseorang yang dikenalnya. "Mama?"

Tidak lama layar monitor di atas monitor yang menampilkan kondisi Ike berusaha kabur, mulai menampilkan kekerasan yang dilakukan Edwin pada Ike, bahkan suaranya terdengar dengan jelas, lalu tidak lama Ike di posisi duduk sambil mendengarkan suara Genta dari handphonenya.

Genta menangis cukup keras dan mengkhawatirkan Ike, lalu Ike yang tidak tega mendengar anaknya menangis tanpa henti- langsung mengambil masker dan topi, membawa beberapa dokumen penting dan dimasukkan ke dalam tas.

Bora menoleh ke Ratna. "Apakah ada seseorang yang bisa menghubungi Ayahku untuk menyampaikan kalau Mama kabur dari rumah dalam kondisi babak belur?"

Ratna segera menghubungi seseorang yang dikenalnya dan dekat dengan sang Presiden.

***

Di tempat kerja, Aji sedang menerima telepon dari Genta. "Iya, sayang. Mana kakak harsa?"

"Kakak lagi keluar... katanya..." Genta terisak saat menjawab pertanyaan. "Katanya... mau ambil anjing... anjing... anjing..."

Aji tidak tahu harus tertawa atau menangis mendengar cerita anak bungsunya yang hanya menyebut anjing, anjing dan anjing. "Anak Papa ganteng, tidak apa, itu hanya mimpi buruk, bunga mimpi."

"Tapi, wajah Mama berdarah banyak gitu-"

Aji hendak menenangkan putranya, ketika melihat kepala sekretariat masuk tanpa mengetuk pintu dan berwajah pucat.

"PAK PRESIDEN! GAWAT!"

Wajah Aji memucat, dan segera keluar dari ruang kerjanya. Dia tidak percaya dengan pendengarannya kecuali melihat sendiri secara langsung.

Kepala sekretariat yang mengejar Aji, terhubung dengan telepon Bora. Mereka keluar sambil berlari sementara paspampres yang kebingungan, terpaksa mengikuti dari belakang dan mendadak melindungi Aji.

"Saya harus kemana?" Tanya kepala sekretariat sambil menyentuh earphone yang terpasang di telinga.

"Seberangi jalan lalu belok ke kanan, agak jauh memang. Kalian lari?"

"Pak Aji spontan lari begitu mendengar soal Ibu." Kepala sekretariat tidak pernah mengakui Yuni sebagai ibu negara, karena sikapnya yang tidak mencerminkan sebagai istri presiden. "KE KANAN PAK!" teriaknya setelah berhasil menyebrangi jalan bersama Aji yang sudah di depannya.

Pemandangan itu menarik minat warga setempat.

Bora tetap memberikan arahan dan cukup lama mereka harus berlari, hingga akhirnya Aji menemukan kerumunan pejalan kaki di pinggir jalan.

Kedua mata Aji melebar, lalu masuk ke dalam kerumunan warga. Sosok yang tidak asing tergeletak di pinggir jalan dengan memakai ransel, topi, masker mulut dan yang membuatnya miris, tidak memakai apa pun di telapak kakinya.

Paspampres membubarkan warga sekitar yang menonton, lalu yang merekam pun dirampas handphonenya, dipaksa untuk menghapus.

"Ada undang-undang khusus terkait perekaman video, anda bisa dituntut!"

Lawannya orang besar, warga yang merekam pun lebih suka menghapusnya daripada berhadapan dengan orang besar.

Sebagian paspampres berdiri setengah melingkar untuk menutupi pemandangan orang yang lewat, Ike pingsan di pinggir tembok halte bus.

"Nyonya muda, Ibu anda dalam kondisi pingsan dan berada di dalam pelukan Presiden. Ambulans sudah dipanggil warga sekitar dan sedang dalam perjalanan ke sini," lapor kepala sekretariat.

"Tolong, jangan sampai kedua adikku tahu. Biarkan Harsa dan Genta sibuk seharian supaya bisa langsung tidur. Jauhkan dari televisi dan juga handphone."

"Baik."

Setelah sambungan telepon terputus, kepala sekretariat mulai bekerja sesuai permintaan Bora.

SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang