Postingan yang dibuat Laras, membuat perhatian netizen menjadi terpecah belah. Para pendukung Laras mulai menyerang akun media sosial Bora, begitu pula sebaliknya. Namun, perundungan di media sosial terhadap Bora, jauh lebih parah. Hal ini dikarenakan ada orang-orang politik yang juga ikut campur menyerang Bora lalu Aji.
'Aji tidak pantas menjadi Presiden, menjaga keluarga saja tidak bisa, mau sok-sokan menjaga negara, dia pasti berbohong soal impian.'
'Turunkan Presiden!'
'Turunkan Aji!'
'Dia sudah membuat malu Indonesia!'
'Aji jelas tidak becus memimpin negara.'
Bora yang sekarang sedang istirahat di ruang kerja Fendi, duduk bersila di sofa dan melihat layar yang ditunjukan Bern palsu. "Banyak yang mulai berkomentar buruk mengenai Papa, akunku juga diserang. Sayang sekali aku tidak bisa masuk dan membalas mereka."
Fendi tetap berbincang pada istrinya, meskipun tangan dan mata masih fokus pada dokumen yang menumpuk. Siapa yang bilang menjadi Ceo itu enak? Sial!
"Bagaimana dengan pestanya?"
"Ah, aku sempat dibantu kakak ipar. Tidak masalah. Oh ya, aku akan bertemu dengan orang penting sebentar lagi."
Alis Fendi bertaut. Biasanya Presiden datang merupakan tamu yang penting, apakah yang dimaksud Bora adalah beliau? Ayah kandungnya sendiri?
"Aku akan bertemu dengan ibu kandung Arka."
"Oh." Fendi menanggapinya dengan dingin. Wanita itu memiliki karakter lemah ketika mendapat tekanan dari keluarga, tapi kuat menghadapi masyarakat luar. Terbukti wanita itu mampu berdiri dan menjadi pengusaha tanpa bantuan mantan suaminya.
"Apakah kamu sudah bertemu dengannya? Cantik?"
"Sudah lama kami tidak bertemu, tidak usah bahas dia."
"Oke." Bora tidak membantah dan kembali menatap layar monitor besar yang hanya bisa dilihat dirinya. "Aku ingin berbuat usil tapi keluarga kamu pasti tidak akan memberikan izin."
"Tergantung keusilan apa yang kamu buat."
Bora merenung sebentar lalu berlari ke arah suaminya dan memaksa duduk di pangkuan.
Fendi hanya pasrah dengan kelakuan kekanak-kanakannya. "Aku masih bekerja, Bora."
Bora tersenyum sambil melingkarkan tangan ke leher Fendi. "Hm? Apakah sesibuk itu?"
Fendi menghela napas lalu meletakkan pena di atas meja dan melingkarkan tangan di pinggang kecil Bora. "Sangat sibuk, sampai istri cantik datang mendekat."
Bora tertawa lalu mencium kecil bibir Fendi. "Kamu pasti punya uang banyak kan?"
"Kamu mau minta?"
Bora mengangguk tanpa malu.
"Untuk apa? Belanja?"
"Ya." Angguk Bora. "Aku ingin belanja banyaaak- pakai uang kamu."
Fendi menghela napas lalu menyandarkan kening ke bahu kanan Bora. "Ada balasannya, aku tidak mau gratis."
"Kamu ingin apa?"
Fendi menegakkan tubuh dan menatap lurus Bora. "Anak."
Kedua mata Bora membulat.
"Aku ingin punya anak dari kamu, merawat anak itu dari masih di dalam perut dan sampai dewasa."
Bora tersenyum. "Oke. Tidak masalah."
Fendi terkejut. "Bukankah kamu-"
"Balas dendam adalah hal yang berbeda, aku pikir punya anak dari kamu tidak masalah, siapa tahu saat aku mening-"
Fendi menutup bibir Bora. Dia tidak suka istrinya mengatakan hal seperti itu. Memang kematian adalah tujuan awal mereka untuk menikah, tapi dirinya masih tidak rela. "Jangan mengatakan hal itu lagi, aku pasti akan melindungi kamu dari bahaya."
Bora mengangguk patuh dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Masih ada yang peduli pada dirinya.
"Aku mencintai kamu, Bora."
Bora mengangguk lagi.
"Tidak perlu dijawab."
Hidung Bora terasa gatal dan matanya mulai berair, kepalanya bersandar di bahu sang suami. Rasanya mengucapkan terima kasih saja tidak cukup.
Fendi memeluk erat istri mungilnya.
Bora tertawa kecil. "Sepertinya aku harus berusaha keras supaya bisa mendapatkan anak."
"Aku akan membantu."
Malam ini, Fendi tidak akan membiarkan Bora merasa kesepian. Bahkan meskipun dirinya harus menjadi budak untuk wanita mungil ini.
Keesokan harinya, Bora bersenang-senang membeli barang sendiri yang disukainya. Karena dia tidak begitu tahu tentang barang branded, dia mendapat bantuan dari Bern palsu. Sangat disayangkan sekali Nina dan Ratna tidak bisa ikut, karena mereka berdua tidak tahu tentang barang mewah.
Bora berdiri di depan deretan tas mahal yang harganya di atas seratus juta rupiah, sambil memiringkan kepalanya dengan heran. "Di mataku semuanya terlihat sama, apa yang membuat mereka berbeda? Padahal sama-sama digunakan untuk membawa barang."
'Anda memang tidak punya seni wanita. Memiliki barang mahal bisa meningkatkan reputasi.'
Bora mengalihkan pandangannya ke tas lain. "Aku tidak peduli masalah reputasi. Aku masih kesal dengan para pejabat yang memakai uang negara tapi bertindak memaki rakyat lain."
Bora sengaja memakai earphone, supaya tidak ada yang curiga kalau dirinya sedang bicara dengan bern palsu.
'Apakah sekarang anda mulai peduli dengan politik?'
"Tidak, aku hanya benci orang sombong dan tidak tahu diri, merasa dirinya paling berhak atas dunia tapi ya begitu- dianya mendapat semuanya dengan cara buruk."
'Ah, saya paham. Lalu sekarang anda ingin beli apa?'
"Tas yang sesuai dengan selera aku, tapi harganya mahal, awet dan juga bisa aku gunakan untuk harian atau gantian dengan tas lain. Ah, apakah di pesta nanti aku harus membeli brand mewah juga?"
'Jika anda ingin menarik perhatian banyak orang, lebih baik memakai brand mewah.'
Bora cemberut. "Tapi aku tidak suka memakai kulit hewan asli. Kalau sapi, masih oke lah, tapi kalau yang tidak lazim- aku tidak mau, seperti tas ini."
Bora melihat tas hermes seharga milyaran, yang terbuat dari kulit buaya. "Apakah aku harus memakai tas konyol ini?"
'Sepertinya tidak cocok.'
Bora mengalihkan pandangan ke toko lain. "Belanja memang melelahkan, aku heran dengan wanita lain yang bisa keliling mal ini dengan mudah."
'Mereka hanya ingin menghabiskan uang sesuka hati.'
Bora menghela napas lalu keluar dari toko. "Gawat! Aku tidak mendapatkan barang sama sekali, apa yang harus aku pamerkan sekarang?"
Rasanya Bora ingin menangis, rencana menjadi kacau karena pengetahuan tentang barang mahal sangat terbatas, dia kira tinggal asal tunjuk atau memilih sesuka hati bisa dapat dengan mudah. Namun, pada dasarnya suka beli barang berguna dan pernah hidup sederhana meskipun hanya sebentar- tetap saja membekas di hatinya.
"Ah, rasanya aku ingin menangis." Bora duduk di tempat food court setelah memesan makanan. "Menyebalkan!"
'Itulah perbedaan orang kaya lama dan baru. Orang kaya baru, butuh validasi dari orang sekitar, dengan menggunakan barang mewah- sementara anda- tidak peduli sebanyak apa pun uang yang anda bawa, tetap saja tidak bisa menghamburkan uang dan tidak butuh validasi.'
"Benar, rasanya sulit menghabiskan uang. Jika mengingat banyak hewan terlantar di luar- rasanya sayang sekali. Eh, tunggu! Aku bisa menghabiskan uang yang diberikan Fendi!" Sorak Bora dengan suara rendah. "Aku punya ide yang jauh lebih baik dari pada membuang uang untuk barang-barang mahal itu."
'Hm?'
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)
RomanceSaat ulang tahun ke 17. Bora Zanitha Rukmasara harus menyaksikan anjing kesayangannya dibakar hidup-hidup oleh kedua saudara tiri. Satu tahun kemudian, anjing kesayangannya datang ke dalam mimpi dan menunjukkan masa depan selama satu bulan berturut...