PARA CALON PENGACARA

110 19 0
                                    

"Seperti yang kita ketahui sekarang, muncul trend sanksi sosial terhadap pelaku kejahatan atau orang yang dianggap melakukan kejahatan, hal ini diterapkan karena banyaknya masyarakat yang tidak percaya pada hukum, istilahnya hukum Indonesia sekarang lemah, penegak hukumnya juga tidak bisa dipercaya." Daniel menjelaskan sambil menatap sekeliling ruangan yang sedang memperhatikan dirinya. "Maka dari itu saya harapkan murid saya, meskipun baru semester pertama, mampu memilah hukum dengan baik."

Bora memperhatikan pelajaran Daniel dengan sungguh-sungguh, sambil menyisir bulu kucing berbulu putih panjang dengan tangannya.

"Kita kembali lagi ke pembahasan awal. Kalian semua, kecuali Bora. Sangat percaya bahwa Bora melakukan kejahatan penipuan serta penyalah gunaan jabatan, hanya berdasarkan kritikan di media sosial. Saya setuju modus kejahatan atau apa pun yang memang terbukti jahat, mendapatkan timbal baliknya, ketika ada korban.

"Ingat ya, yang saya garis bawahi adalah adanya korban. Tersangka, pelaku atau apa pun itu yang dituduhkan, mereka pantas disebut seperti itu karena adanya korban."

Para mahasiswa dan mahasiswi mengangguk paham dengan penjelasan Daniel.

"Lalu lain halnya dengan satu contoh di dekat kita, Bora. Menurut logika kalian semua, sebagai calon pengacara, apakah foto yang hanya mencantumkan nama Bora sebagai peringkat satu sekaligus penerima beasiswa penuh, merupakan seorang penjahat?

"Bukti bahwa Bora satu tahun tidak masuk sekolah dan harus mengulang kelas, tahun ini-  apakah ada?"

Salah satu mahasiswa yang sempat mengejek Bora dan melemparnya dengan bola kertas, angkat tangan dan membalas jawaban Daniel. "Bagaimana dengan saksi? Banyak saksi yang menyatakan bahwa Bora tidak masuk sekolah."

Daniel membantah. "Saksi bisa saja berbohong jika tidak disertai bukti, apakah kalian sudah melihat rapot Bora? Bisa saja dia sekolah di rumah bukan? Sama halnya seorang youtuber yang mendapatkan banyak uang, tapi terlihat tidak keluar rumah untuk bekerja bagi tetangga."

Para mahasiswa dan mahasiswi di kelas Daniel, spontan saling berdiskusi, kecuali Bora. Mereka tidak memikirkan hal itu sejak awal, karena masalah tidak masuk sekolah itu.

"Kalian menelan mentah-mentah semua informasi. Nah, jika Bora memenangkan perdebatan melawan kalian, saya akan meminta sesuatu kepada kalian." Daniel tersenyum ke Bora.

Bora mengalihkan tatapannya dengan jantung berdebar dan gugup, dirinya tidak pernah mendapat senyuman seperti itu.

"Pak, bukankah curang namanya jika bapak ikut andil? Bapak pengacara, kami hanya mahasiswa."

"Hm? Jadi kalian tahu namanya tidak adil? Siapa yang merasa tidak adil karena saya membela Bora?" Tanya Daniel.

Semua mahasiswa di kelas mengangkat tangan, Bora tidak angkat tangan.

"Tidak adil, kami harus melawan bapak yang sudah profesional."

"Kami hanya mahasiswa biasa yang kemampuannya saja tidak seujung jari bapak."

Daniel mengangguk. "Lalu, jika saya tetap memaksakan diri bela Bora, tuduhan apa yang akan kalian berikan kepada saya?"

Para mahasiswa dan mahasiswi di kelas Daniel, saling bertukar tatapan.

"Ragu? Kalian tidak tahu?"

Bora angkat tangan.

Daniel menunjuk Bora. "Ya, Bora. Sampaikan pendapat kamu."

"Bisa dituntut dengan pasal 368 ayat 1 KUHP, berisikan tentang seseorang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Namun, karena bapak berdiri sebagai seorang pengacara, maka anda wajib menjalankan UU no. 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban." Bora berusaha mengingat penjelasan Fendi. Suaminya mati-matian membuat Bora mengingat pasal-pasal hukum, tidak disangka malah berguna sekarang.

Daniel menyipitkan kedua matanya. "Apakah kamu tahu bahan bahasan yang kita bahas sekarang? Saya khawatir, teman-teman sekelas kamu mengira sudah berbuat curang."

Bora menggeleng. "Tidak, saya mati-matian menghafalnya."

"Semua pasal?" Tanya Daniel.

Bora menjawab dengan gelengan kepala.

"Hanya sebagian yang kamu ingat?" Tanya Daniel.

"Hanya yang menguntungkan untuk saya, yang saya ingat," jawab Bora.

Daniel terpana lalu tertawa. "Saya yakin kamu tidak belajar sendiri, apakah ada yang mengajari kamu?"

Bora menipiskan bibirnya. "Suami saya."

Kelas sontak menjadi ramai ketika mendengar jawaban Bora.

"Suami kamu pengacara?"

Bora menggaruk kepalanya dengan canggung. "Uhm- dibilang pengacara sih- dia lebih suka tidur bermalas-malasan di depan televisi sambil makan camilan rasa strawberry, tapi dia masih ingat pasal-pasal hukum di Indonesia dan belajar perubahannya juga."

Orang-orang di kelas yang mendengar jawaban polos Bora, spontan tertawa. Bora menjadi bingung sementara Daniel tersenyum kecil.

Setelah kelas ditenangkan, Daniel bertanya ke Bora. "Jadi kamu adalah korban?"

"Ya, sekaligus saksi."

Daniel berjalan ke kursi mahasiswa dan duduk paling belakang, mengawasi Bora yang duduk di depan. "Berdiri dan jelaskan ke teman-teman sekelas kamu, kenapa bisa menjadi korban dan saksi?"

Bora terlihat gelisah dan enggan untuk berdiri.

"Tidak bisa dijelaskan?" Tanya Daniel.

Bora menundukkan kepala. Menyumpahi diri sendiri karena kedua kakinya tidak mau berdiri. Bagaimana caranya mau balas dendam? Menatap orang saja sudah ketakutan begini hahaha-

Bora menertawakan dirinya sendiri.

Daniel paham apa yang dialami Bora, lalu bicara ke semua orang di kelasnya. "Kalian semua bisa lihat kan? Dia bisa menjawab pertanyaan saya yang harusnya ditujukan ke kalian, dan juga memberikan penjelasan yang baik, bahkan lebih baik dari kalian yang hanya ingin menyerang dan mengandalkan gosip semata.

"Ahli hukum harusnya bisa begitu, terlepas dia memiliki masa lalu buruk atau penyakit mental yang kalian tertawakan itu, dia harus mampu menjawab atau berargumen dengan logika. Jadi, bagaimana rasanya- diwakilkan jawaban oleh salah satu teman yang kalian ejek sakit mental?"

Para mahasiswa dan mahasiswi tidak mampu menjawab dan hanya menundukkan kepala di kursinya.

Bora merasakan sakit hati ketika Daniel menyebut sakit mental, kedua matanya berkaca-kaca.

Daniel bangkit dari kursi lalu berjalan ke salah satu mahasiswa yang melempar Bora dengan bola kertas. "Nah, calon ahli hukum. Apa tujuan kamu melempar Bora dengan bola kertas? Apakah kamu lupa dengan pasal tentang perundungan? Ataukah kamu tidak tahu adanya pasal itu?"

Mahasiswa itu menjawab dengan suara kecil dan terbata-bata. "Tidak... tahu..."

"Hm? Saya tidak mendengarnya dengan jelas."

"Saya tidak tahu!" Teriak mahasiswa itu dengan kepala menunduk, tidak berani menatap Daniel.

"Tidak tahu? Kamu benar-benar tidak tahu? Atau semua orang di sini yang mengejek Bora terang-terangan, juga memiliki jawaban yang sama? Tidak tahu?" Tanya Daniel sambil menatap sekeliling kelas.

Tidak ada yang mampu menjawab, Bora sendiri berusaha menenangkan hatinya yang kacau karena perasaan gugup tadi.

"Jadi, kalian semua mengambil jurusan hukum, menindas orang lain tanpa ada bukti yang valid lalu hanya menjawab tidak tahu? Berarti kalian sendiri tidak bisa bertanggung jawab pada ucapan serta perilaku yang kalian lontarkan tadi?"

Suasana kelas menjadi hening karena pertanyaan Daniel, sementara kucing di pangkuan Bora menguap lebar serta meregangkan badannya dan kembali tidur melingkar, seolah diskusi di kelas sangat membosankan bagi seekor kucing.

SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang