SPESIAL

233 17 1
                                    

Di dunia, kita tinggal dengan berbagai macam karakter manusia dan permasalahannya. Ada yang ingin pintar, ada yang ingin kaya, ada yang ingin memiliki kekuasaan.

Ada juga manusia yang ingin mendapatkan semuanya secara instan, tanpa kerja keras. Salah satu contoh adalah Rina.

Rina terlalu iri dengan Ratna, saudara tirinya. Ratna yang masih bisa berkumpul dengan keluarga, sempat dikucilkan, namun pada akhirnya menikah dengan pria tampan, kaya dan berkuasa.

Rina ingin mengalahkan Ratna, tapi tidak mampu bersaing.

Rina bukan tipe pekerja keras seperti Ratna, Rina juga hanya bisa menjalin sosial dengan orang lain, dia bukan pecinta hewan atau pendamping hidup yang cocok untuk para pria.

Aku jauh lebih cantik,

Aku jauh lebih hebat,

Aku jauh lebih dihargai orang lain,

Tapi kenapa Ratna lebih beruntung dariku?

Hanya itu yang selalu ada di dalam kepalanya. Persaingan terhadap Ratna, dan menjatuhkan diri ke lembah sesat.

Tidak peduli memiliki pria yang mencintainya, anak-anak yang patuh dan penurut. Rina tidak akan pernah puas, dia akan mencari uang, uang dan uang untuk bisa membuat orang lain yang mencampakkannya menyesal. Namun, penyesalan itu tidak akan pernah datang.

Setelah menghina, meremehkan dan menginjak orang-orang lemah, untuk bisa diakui sebagai yang terhebat- pada akhirnya Rina menyerah.

"Rina?"

Fendi dan Bora memutuskan untuk berkunjung ke makam kakak pertamanya, bersama Arka dan Nina.

Mereka berempat menemukan pemandangan yang tidak biasa, Rina memakai piyama tidur dan duduk di depan nisan Raka.

Anak sulung Rina yang perempuan, terburu-buru menghampiri ibunya. "Ayah."

Fendi tidak menatap anak tirinya dan hanya menatap lurus makam sang kakak, memeluk erat bahu Bora.

Anak sulung Rina tersenyum canggung, ini pertama kalinya dia bertemu dengan ayah tiri dan istri baru. "Hallo," sapanya ke Bora.

Bora tersenyum kecil lalu mengangguk singkat.

Anak sulung Rina menarik ibunya, menjauh dari makam. "Maaf, Ibu bilang merindukan dia."

Arka menyipitkan kedua mata dengan curiga. "Kamu tahu kalau Ibumu mencintai Ayah kandung aku?"

Anak sulung Rina tersenyum canggung dan menggigit bibir sambil memeluk erat Rina. "Ya, Ibu hanya menyebut nama Raka, bukan ayah tiri. Ayah tiri, maaf- selama ini aku tidak bisa menghalangi Ibu."

Fendi menghela napas, jika dulu dia akan sakit hati mendengar perkataan itu- sekarang dia tidak perlu sakit hati lagi. Toh, di masa lalu- Rina malah menceraikannya dan dekat dengan Edwin sebagai partner kerja, setelah berhasil membunuh Bora dan ayah kandungnya.

Dulu, karena Aji kehilangan posisi, orang tua Ike meminjamkan mobil ke Aji, demi Bora. Edwin yang cemburu, mengotak atik mobil itu hingga kecelakaan.

Fendi mengetahuinya setelah kematian Bora, dan memeriksa mobil, lalu mendengar percakapan saat diam-diam masuk ke dalam bengkel, hingga bertemu dengan kucing kecil yang baru saja dibuang oleh pemilik.

Fendi yang berusaha bertemu dengan Ike dan dihalangi Edwin, serta mengetahui tujuan pria itu. Langsung dibunuh dengan alibi maling di dekat kos-an.

Fendi cerita jujur ke Bora, kedua mertua, kakek dan nenek Bora lalu keluarga inti Tsoejipto. Masih segar di ingatannya, percakapan beberapa hari lalu.

Fendi duduk di lantai dan memohon ampun karena telah menyesali masa lalunya ke kaki kakak kedua. "Dulu, aku terlalu sombong dan percaya pada diri sendiri, sekarang aku menyesali semua dan akan memperbaikinya."

Cerita yang tidak akan pernah masuk akal di benak manusia.

Kakek Bora bicara dengan tenang. "Tidak butuh pembuktian, untuk menunjukkan kepada kami. Tapi kami yakin, leluhur sedang menjaga kita dan Tuhan membantu kita. Jangan di bawa pikir tentang masalah yang dialami Bora dan Fendi, cukup pikirkan masalah sekarang."

Hendra bangkit dari kursi lalu berjongkok di depan adiknya. "Belajar  dari masa lalu memang penting."

"Kakak percaya? Kalian semua percaya?" Tanya Fendi dengan tidak percaya.

Ike membelai bulu kucingnya dan tersenyum. "Apa untungnya, kamu berbohong di hadapan kami?"

Aji yang duduk di samping Ike, menatap haru Bora yang tersenyum menatap Fendi. Bahkan sampai akhir, anak yang pernah disakitinya, tidak pernah pergi.

Aji memang tidak bisa memperbaiki masa lalu yang rusak, Ike juga mengalami trauma. Tapi, perlahan dan pasti- dia akan memperbaiki semuanya, meskipun tidak pernah sama seperti semula.

Aji dan Ike menjalin hubungan baik, demi anak-anak. Namun, jika mereka menikah lagi- sepertinya tidak mungkin. Lebih baik, menjalin hubungan dengan baik seperti ini, tanpa harus terikat dengan pernikahan.

Bora teringat sesuatu. "Oh, ya. Bagaimana dengan keluarga Om Edwin? Bukankah mereka ingin menuntut kita?"

"Bukti sudah dikumpulkan banyak, pada akhirnya mereka yang harus membayar hutang-hutang itu," jawab kakek Bora. "Tidak perlu dipikirkan, Kakek juga tidak mau berhubungan dengan mereka, setelah menyiksa Ibumu."

Bora menatap sedih Ike.

Ike mengangguk kecil. "Tidak apa, semuanya bisa dilewati."

Setelah mengingat pertemuan keluarga, Fendi menatap lurus nisan kakaknya. "Bahkan meskipun sudah tidak bisa berpikir lagi, Rina merindukan Kakak. Sepertinya aku hanya batu loncatan saja."

Anak sulung Rina hendak mengatakan sesuatu lalu tanpa sadar Rina berlari mendekati Fendi.

Arka dengan sigap melindungi om-nya dari kejaran orang gila itu.

Anak sulung Rina, berusaha memegang erat ibunya yang memberontak.

"Fendi? Apakah itu, kau Fendi? Kenapa kamu tidak pernah datang lagi? Aku minta maaf sudah membuat kamu masuk penjara, aku- aku- hihihihi-"

Bora menaikkan salah satu alisnya. "Hm? Sepertinya tidak hanya kehilangan akal, dia juga kerasukan sesuatu."

Anak sulung Rina menarik ibunya menjauh dari tempat mereka.

Bora memeluk pinggang Fendi. "Kangen dia?"

Fendi menatap muram Bora. "Tidak."

"Huh! Bilang saja kangen. Dulu saja, kalau tidak dipaksa menikah, tidak mau menikah."

Fendi menghela napas panjang. "Masih saja dibahas terus."

Nina tertawa dan menimpali. "Ingatan wanita akan terus kuat jika menyangkut kesalahan pria."

Bora cekikikan.

Lalu mereka berempat berdoa di depan makam Raka. Setelah sekian lama, Fendi berhasil melangkahkan kaki untuk bertemu dengan makam pembully-nya. Kakak sendiri.

Masa depan yang dilihat Bern, sistem yang didapat Bora, percakapan di dalam mimpi, pengorbanan kucing kecil yang hanya bertemu penyelamatnya beberapa menit dengan memutar waktu. Semua peristiwa itu tidak akan pernah bisa dijelaskan dengan nalar manusia yang terbatas. Tapi, hanya satu persamaan yang bisa mereka pahami.

Berbuat baik pada hewan, yang berdoa, memutar waktu, dan memberikan berkah untuk manusia yang dicintai hewan tersebut.

Hanya karena manusia melindungi hewan, memberikan makan, dan menyayanginya setulus hati. Hewan membalasnya dengan ribuan cinta yang tidak akan pernah bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Tuhanlah yang berbaik hati mengabulkan doa hewan tersebut.

Karena itu, mari kita hentikan penyiksaan terhadap hewan dan dapatkan manfaat cinta dari mereka.

Tamat

SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang