Menjadi presiden itu tidak mudah. Begitulah nasehat yang dilontarkan lingkungan sekitar Aji. Namun pria itu memiliki cita-cita dan ambisi untuk merubah negara Indonesia ke arah yang lebih baik.
Masih banyak hal yang belum disentuh pemerintah, banyak contoh yang tidak bisa disebutkan. Namun Aji ingin membuat perubahan untuk masyarakat termasuk ketiga anaknya.
Aji yang duduk di kursi sambil memakai handuk di kepala, setelah membersihkan wajah, menatap kedua tangannya yang gemetar. Bertanya-tanya di dalam hati. Apakah Ike melihat jelas? Apakah Bora menonton televisi bersama suaminya? Apakah Harsa dan Genta juga tahu hal ini?
Jika Aji melihat dengan jelas, semua yang didapatkannya mungkin karma karena meninggalkan istri dan ketiga anaknya. Rasa bersalah Aji semakin besar dan bahunya bergetar.
Sekarang dia sendirian, tidak ada yang menemani.
Aji mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan menutupnya cukup lama untuk menahan kesedihannya. Setelah merasa tenang, dia membuka kedua tangan, lalu terkejut ketika melihat dua kaki kecil berdiri di hadapannya. "Harsa?"
Harsa menghela napas lalu duduk berlutut di lantai
Aji menoleh ke arah manapun dan bertanya dengan panik lalu berusaha mendirikan Harsa. "Kenapa kamu ada di sini? Mana kakak kamu? Kenapa kamu duduk di lantai? Kotor itu."
"Duduk."
Aji duduk di kursi, menatap lurus putranya yang duduk di lantai. Tubuhnya menegang ketika mendapat penglihatan dari bocah itu.
"Apakah sakit?"
"Ya?"
Harsa menunjuk wajah. "Apakah sakit, dilempar tomat?"
"Tidak." Geleng Aji.
"Benarkah?" Harsa memiringkan kepalanya.
Aji mengangguk tanpa suara.
"Lalu bagaimana dengan yang di sini?" Tanya Harsa sambil menunjuk dada.
Aji terpana. "Itu-"
"Kakak Bora, Harsa dan Genta merasakannya." Tangan kecil itu masih menunjuk dada. "Orang dewasa yang menganggap kami anak-anak tidak berguna, lalu orang dewasa yang saling menuntut untuk haknya dalam hidup. Semua orang ingin kebahagiaan, meskipun sadar atau tidak, mereka telah menyakiti orang lain."
"Harsa."
Harsa menatap dingin Aji. "Harsa dan Genta juga melihat Papa memukul kakak Bora lho, memangnya kenapa Papa pukul? Apakah kakak Bora melakukan kesalahan besar? Kenapa kami berdua juga tidak dipukul? Ah, tidak. Papa juga pernah memukul kami, tapi tidak separah pada kak Bora."
"Harsa, Papa minta maaf."
"Apakah hanya minta maaf dan menunjukkan penyesalan, sudah menyelesaikan segalanya?"
Aji terdiam.
"Di sini." Harsa menunjuk dada dengan jari telunjuk mungilnya. "Sakit."
Aji menutup kedua matanya untuk menutup kesedihan. Harsa masih kecil dan berusia dua belas tahun, sudah bicara hal yang menyedihkan. Dia tidak bisa menyalahkan anaknya.
"Harsa dijauhi teman sekolah."
Aji membuka mata dan menatap Harsa.
"Harsa tidak pernah bicara ke kakak ataupun orang tua, mereka yang mendekati Harsa- hanya karena melihat latar belakang keluarga. Mama yang keturunan bangsawan dan Papa yang terjun di dunia politik. Hebat bukan? Tapi tidak hebat di mata kami."
Aji hendak membuka mulut.
"Harsa-" Harsa diam sejenak dan menatap Aji dengan tatapan kosong. "Harsa- tidak tahu. Meskipun tahu Papa benci kami, memukul kami, lalu kami sakit hati karena semua perlakuan itu, tetap saja kami akan merasakan sakit ketika melihat Papa-"
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)
RomanceSaat ulang tahun ke 17. Bora Zanitha Rukmasara harus menyaksikan anjing kesayangannya dibakar hidup-hidup oleh kedua saudara tiri. Satu tahun kemudian, anjing kesayangannya datang ke dalam mimpi dan menunjukkan masa depan selama satu bulan berturut...