Dua hari kemudian, netizen yang masih belum lepas dari rasa terkejut karena postingan Laras, Akmal dan ibu mereka. Salah satu shelter ibukota membuat postingan dengan tag media sosial milik Bora.
Terima kasih sudah memilih tempat kami dan membantu biaya pengobatan serta makan anak-anak di shelter, kami akan meneruskan biaya pengobatan di tempat lain. Uang sejumlah delapan belas milyar, sudah kami terima @BoraBernChoco.
Tidak ada yang mempermasalahkan siapa pun berdonasi banyak, namun angka yang fantastis membuat semua orang menjadi bingung sekaligus curiga.
'Dari mana Bora bisa mendapatkan uang sebanyak itu?'
'Dia hanya anak Presiden dan ibu kandungnya juga istri pejabat, tidak mungkin memiliki uang banyak.'
'Sudah aku duga, Aji pasti melakukan korupsi. Belum lama menjadi Presiden, sudah kena skandal anaknya.'
'Gila! Sedekah nggak tanggung-tanggung.'
'Delapan belas milyar ini- apakah disamakan dengan usia Bora?'
Gosip mengenai saudara dan ibu tiri Bora, digantikan dengan uang yang diberikan Bora kepada Shelter.
Edwin yang mendengar berita itu dan melihat langsung ke media sosial, merasa tidak percaya. "Anak itu- dapat uang dari mana?!"
Ike yang baru saja membuat kopi untuk Edwin di dapur, tersenyum kecil. "Ada apa? Kenapa wajah kamu muram seperti itu? Apakah ada masalah?"
Edwin menatap kecut Ike lalu meletakkan tablet di atas meja. "Baca ini!"
Ike tidak paham maksud Edwin. "Aku tidak begitu paham masalah politik, tapi kalau kamu ingin berdiskusi tentang hal lain aku-"
"Baca dan lihat baik-baik!"
Ike mengambil tablet di atas meja lalu membacanya, tak lama dia terkejut membaca Bora telah memberikan uang banyak untuk shelter. "Kenapa-"
"Ya, aku heran. Kenapa anak berusia delapan belas tahun yang merupakan anak broken home, bisa mendapatkan uang sebanyak itu?"
Ike meletakkan tablet Edwin dengan hati-hati di atas meja. "Mungkin Bora mendapatkannya dari Aji."
"Kamu pikir aku bodoh? Tolol? Aji tidak mungkin mendapatkan banyak uang! Dia sudah menggadaikan sertifikat milik Bora, lalu dia mau ambil uang dari mana lagi?"
Ike tidak tahu harus mengatakan apa. Edwin sudah terlanjur emosi. "Jika kamu membutuhkan uang, aku punya tabungan-"
Edwin berteriak marah dan menampar Ike. "Kamu kira aku miskin?! Sampai berani menghina suami sendiri!"
Tangan Ike menyentuh pipi yang ditampar Edwin. "Edwin-"
Edwin mengambil rokok dan berjalan ke taman dalam dengan santai, sambil berkomentar dengan nada dingin. "Setidaknya aku tidak pernah melakukan perselingkuhan."
Hati Ike menjadi hancur. Aji tidak pernah menyerang dirinya, tapi pilih berselingkuh sementara Edwin akhir-akhir ini memukul dirinya, tapi memang tidak pernah main dengan wanita lain.
Ike menahan rasa sakit dan mengalihkan perhatian dengan membersihkan meja.
***
Aji yang mendengar laporan dari para staffnya tidak bisa berkomentar banyak, bahkan kepala sekretariat hanya berdiri diam di sampingnya. Mulutnya ditutupi masker mulut, sehingga Aji tidak bisa menilai reaksi orang itu.
"Tidak ada komentar?" Tanya Aji yang penasaran.
"Presiden tahu, saya tidak bisa ikut campur urusan pribadi."
Urusan keluarga Tsoejipto lebih tepatnya.
Aji bersandar di kursi dan menatap ke atas ruang kerjanya. "Tidak bisa ikut campur, rasanya aku benci dengan kalimat itu setelah selama ini kamu ikut campur."
Dua staff lain yang berdiri di depan meja Aji, saling menatap tidak paham.
"Saya sarankan lebih baik anda tidak mengucapkan apa pun, anggap saja anda terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga tidak sempat memikirkan hal lain."
"Aku bisa menyerahkan masalah Bora, lalu bagaimana dengan istri dan kedua anak tiriku? Mereka bertiga pasti tidak ingin aku diam saja."
"Masalah mereka bertiga, cukup serahkan saja kepada anak anda."
Aji menatap curiga kepala sekretariat. "Ah, berarti kamu sudah tahu rencana mereka."
"Presiden, terkadang menjadi orang yang tidak tahu apa pun- jauh lebih menguntungkan."
"Baik, hari ini- aku mendengarkan kamu." Aji mengangguk paham. "Aku serahkan semuanya kepada kamu."
***
Laras, Akmal dan Yuni terbelalak ketika melihat angka yang disumbangkan Bora secara sembarangan. Delapan belas milyar?
"Apa di dunia ini, ada orang yang mau menyumbangkan uang sebanyak itu secara cuma-cuma?" Tanya Akmal dengan tidak percaya. "Tidak mungkin keluarga Rukmasara memberikan uang sebanyak itu kepada Bora."
Yuni mendecak kesal dan menatap Laras. "Apakah kamu tidak tahu sesuatu? Pasti ada yang disembunyikan."
Laras memutar bola mata dengan kesal. "Apakah aku terlihat seperti detektif yang tahu segalanya? Kenapa malah menuntut aku untuk jawaban?"
Yuni mengalihkan tatapan ke Akmal, menuntut penjelasan. "Apakah kamu tahu sesuatu?"
Akmal mengangkat kedua bahu. "Aku tidak tahu apa pun, sumpah."
Yuni semakin kesal karena tidak mendapat jawaban apa pun dari kedua anaknya. "Kalian berdua memang tidak berguna! Aku akan bertanya kepada kakakku."
"Mama tidak mungkin bertanya pada kakak yang akan menjual mama ke pengusaha kan?" Tanya Laras.
Yuni yang tadinya hendak berdiri, kembali duduk. Raut wajahnya berubah pucat. "Benar, bagaimana bisa aku melupakannya?"
Laras menghela napas kesal lalu menatap Akmal yang sedang melihat handphone. "Akmal, kamu bisa hubungi Papa Aji kan?"
Akmal mengangkat kepalanya lalu menatap lurus Laras. "Ya, kenapa?"
"Beritahu papa Aji kalau kamu membutuhkan beberapa buku dan juga tanda tangan, kamu ingin bertemu dengannya lalu-" Laras menoleh ke Yuni. "Mama yang datang menggantikan Akmal."
Yuni tertawa mendengar ide anaknya. "Benar, kenapa aku tidak kepikiran?"
"Jika Mama tidak bisa rujuk dengan Papa, maka keluarga besar akan menjual Mama ke pria lain. Jadi, tolong jangan sia-siakan semuanya."
Yuni mengangguk antusias.
Bersamaan dengan Yuni yang bahagia mendengar ide cerdas anaknya, Bora cemberut karena menjadi bahan tertawaan keluarga ipar, bahkan Fendi pun tidak menegur atau mengatakan sesuatu tentang donasi delapan belas milyar. Karena itu, Bora lebih suka melarikan diri ke klinik Ditya.
Ditya sempat menggodanya. "Oh, hallo milyader. Apakah tabungan kamu tercukupi, sampai bisa donasi sebanyak itu?"
"Aku-" Bora tidak bisa berkata jujur, dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin bisa mendapatkan uang dari situ, aku hanya memutar otak."
Ditya mengerutkan kening lalu menatap tidak percaya Bora. "Kamu berjudi?"
Bora menghela napas panjang. "Ya, tapi tolong jangan bicara ke siapa pun."
"Kamu judi tanpa diketahui om?"
"Ya." Bora merasa berdosa sekaligus bersalah pada Ditya, karena dibohongi.
"Ah, begitu." Ditya celingukan lalu bicara ke Bora dengan nada rendah. "Kapan-kapan kamu bisa pergi bersamaku, aku juga butuh uang banyak. Kamu pasti mau bantu demi wali hukum ini kan?"
Sebelum Bora menjawab, Bima dan Donny memukul belakang kepala Ditya.
"Dokter sinting!"
"Apakah kamu sudah kehilangan akal sehat?" Tanya Donny.
Ditya menggosok belakang kepala dengan raut wajah cemberut. "Kalian berdua berisik sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)
RomanceSaat ulang tahun ke 17. Bora Zanitha Rukmasara harus menyaksikan anjing kesayangannya dibakar hidup-hidup oleh kedua saudara tiri. Satu tahun kemudian, anjing kesayangannya datang ke dalam mimpi dan menunjukkan masa depan selama satu bulan berturut...