KEMARAHAN AYAH BORA

118 15 2
                                    

PLAK!

Suara tamparan terdengar keras di dalan ruangan, orang-orang yang menyaksikan pun hanya diam menyaksikan seorang ayah sedang mendidik keras putrinya yang nakal.

Aji memijat keningnya, setelah menampar keras pipi Bora. "Bagaimana bisa aku memiliki anak seperti kamu, Bora? Apakah kamu tidak bisa diam saja sampai istirahat selesai?"

Tangan Bora menyentuh pipi yang ditampar dan menundukkan kepala, rasa sakit di hati jauh lebih sakit daripada hukuman fisik yang diterimanya.

"Aku tidak pernah mendidik kamu seperti ini, Bora. Tapi kenapa kamu malah menjadi liar? Apa yang telah aku lakukan sampai kamu bersikap seperti ini kepadaku?"

Semua orang dewasa, kecuali Hendra. Menatap simpati walikota kesayangan rakyat Indonesia. Bora pun terkenal sebagai anak nakal, di media sosial.

Hendra melindungi Bora. "Walikota, tidak bisakah anda bertanya dulu kepada Bora? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aji mengerutkan kening lalu menunjuk Bora dengan marah. "Tanpa diberitahu, aku sudah tahu perilaku buruknya. Dia masuk ke warung orang sembarangan lalu mengganggu pekerjaan orang dan-"

"Walikota, tolong tanyakan dulu alasan Bora melakukan hal itu." Ulang Hendra dengan sabar, meskipun di dalam hatinya amarah meluap.

Aji tertawa. "Bagaimana bisa aku menahan sabar ketika anak yang sudah aku didik, malah bersikap kurang ajar seperti ini? Aku ayah kandungnya, aku peduli padanya, tapi dia membalas seolah aku tidak pernah melakukan apa pun!"

Hendra menghela napas panjang lalu bertanya ke Bora. "Bora, tolong beritahu kepadaku. Kenapa tiba-tiba kamu masuk ke warung dan menghalangi orang lain sedang bekerja?"

Bora menatap sedih Hendra, bibir digigit sekuat mungkin untuk menahan perasaan sedih. "Jika aku cerita, apakah hasilnya akan sama?"

Bora bersikap non formal terhadap Hendra, tidak mau menatap Aji.

"Bora-"

"Aku hanya ingin mencari anjing hilang, lalu tanpa sadar aku mendengar suara anjing dipukuli. Apakah aku akan diam saja?" Tanya Bora ke Hendra dengan nada getir.

Yuni menimpali dengan nada ketus. "Hanya seekor anjing, apa pentingnya sih sampai mengganggu orang lain?"

Bora menatap dingin Yuni. "Sama pentingnya dengan kamu yang berusaha menyenangkan papa, supaya anak-anak kamu dibiayai hidupnya."

"BORA!" Bentak Aji. "Hormati ibu tiri kamu!"

Bora menatap tajam Aji. "Bagaimana dengan aku?"

"Apa?"

"Papa menyuruh aku menghormati dia, tapi bagaimana dengan dia? Anak-anaknya membakar Bern."

Aji frustasi mendengar Bora membahas hal yang sama. "Lagi-lagi anjing yang kamu bahas, apakah kamu tidak bisa membahas hal lain? Bern jelas-jelas menggigit tamu, tentu saja mendapat hukuman!"

"Dengan cara dibakar?" tanya Bora yang tidak mengerti jalan pikiran ayah kandungnya. "Bern adalah service dog bersertifikat, dia juga selalu vaksin dan dinyatakan sehat, tidak ada penyakit. Tapi kalian malah menganggap dia penyakit? Lantas, wanita yang sudah menggoda papa demi menyenangkan bawah celana, apakah bukan penyakit?"

Yuni menampar pipi Bora dengan keras. "Apakah kamu masih belum bisa melupakan masa lalu? sekarang Aji milik aku dan anak-anak, kamu mau apa? Marah? Balas dendam? Dari awal kamu memang tidak suka aku dan anak-anak sehingga mencari alasan, semuanya jadi terbukti, bukan?"

Bora menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Kekecewaan terbesar yang muncul di dalam dirinya sejak kecil adalah sosok pria yang seharusnya menjadi pelindung, malah membuat Bora harus jatuh terpuruk.

Tadinya Bora berharap bisa sembuh bersama orang tua, tapi ternyata itu semua hanya mimpi. Mimpi yang sangat menyakitkan.

"Aku heran sama anak muda seperti kamu, kedua anakku juga broken home dan ditinggal ayah kandungnya. Tapi kenapa kamu malah bersikap berlebihan." Yuni kembali berkomentar, lalu bicara ke Aji. "Dia anak penyakitan dan tidak tahu terima kasih, sebaiknya kembalikan saja ke ibu kandungnya. Aku tidak sanggup mengurus anak seperti Bora, tidak bisa dikasih tahu."

Aji menatap sedih Bora. "Bora, minta maaf ke ibu tiri kamu. Dia sudah berjuang banyak hal untuk kamu, bahkan satu tahun tidak sekolah pun Pa-"

Aji terdiam ketika melihat wajah sedih Bora.

Bora tersenyum sedih dan bicara dengan nada getir. "Apakah Papa tidak ingat alasan aku menjadi seperti ini?"

Hendra menarik mundur Bora. "Bora, sudah. Jangan bahas hal yang menyakitkan buat kamu."

Bora menepis tangan Hendra. "Biar dia tahu, kenapa aku menjadi seperti ini."

Hendra menghela napas panjang tapi masih tetap berdiri di dekat Bora. 

Bora menatap sedih Aji. "Tidakkah Papa ingat, bagaimana perlakuan Papa kepadaku? Papa selalu memukul aku, setiap ada kesempatan datang. Coba Papa ingat, kata-kata apa saja yang sudah papa lontarkan kepadaku?"

"Bora-" Aji ingat tentang hal itu, tapi dia tidak mau membahasnya lebih jauh, karena terlalu menyakitkan untuk diingat, Namun, harga diri tidak mengizinkan dia mengakui kesalahannya. 

"Aku sakit dan butuh kedua orang tua, tidak masalah kalian berpisah karena itu adalah kehidupan kalian. Tapi pada akhirnya kalian berdua dan semua orang hanya bisa menyalahkan aku."

Hendra menutup mata dan menarik Bora untuk memeluknya. "Bora-"

Bora menunjuk dirinya sendiri dengan mata perih, berusaha bersikap tegar dan menahan air mata keluar. "Aku adalah anak yang tidak pernah kalian harapkan, aku muncul di saat kalian berdua hanya ingin bersenang-senang. FAKTANYA KALIAN HANYA MENYALAHKAN KEHADIRANKU!"

"Bora, hentikan! Jangan melakukan hal yang akan membuat kamu menyesal di masa depan." Hendra menegur keras Bora.

Bora membentak Hendra. "APAKAH PROFESOR TAHU BAGAIMANA PERASAAN AKU?!"

Hendra terdiam, membungkuk lalu memeluk erat Bora. "Hentikan Bora, semua orang pasti memiliki kesulitan sendiri. Jangan menyakiti diri kamu Bora."

Bora menunjuk Aji dengan marah. "DIA SUDAH MENGHANCURKAN HIDUP IBU KANDUNG AKU DAN JUGA AKU! DIA MENYALAHKAN AKU YANG DIANGGAP MELAKUKAN KESALAHAN BAGI DIA, MEMUKUL AKU JIKA TIDAK BERKENAN DI HATINYA DAN JUGA MEMAKI AKU! DIA TIDAK PERNAH MENGANGGAP AKU SEBAGAI ANAK!"

Hendra tidak tahu seberapa besar rasa sakit yang dialami anak berusia delapan belas tahun karena ketidak pekaan orang-orang dewasa di sekitarnya. 

Bora menangis sesenggukan di dalam pelukan Hendra. "Orang dewasa selalu menyalahkan kehadiranku, aku disuruh menjadi anak baik dan mendengarkan semua keluhan mereka, apakah mereka tidak tahu kalau aku punya hati juga? Orang tua aku lengkap, keluarga juga ada, tapi mereka tidak pernah melihat aku, mereka selalu memunggungi aku."

Semua orang di dalam ruangan, diam mendengarkan keluhan Bora yang berteriak sambil menangis.

"Yang aku punya hanya Bern, dia menghibur hatiku. Dia mendengarkan semua keluhanku, dia juga tidak menjadikan aku pelampiasan. Tapi ada yang membakar dan menyiksa dia hidup-hidup di depanku, hatiku... hatiku..." isak Bora dan mengambil jeda untuk bicara. "Hatiku yang pecah dan dikumpulkan Bern dengan susah payah, kembali pecah."

Hendra mengeratkan pelukannya ke Bora. "Aku mengerti- jangan menangis, ada aku di sini."

Bora menggelengkan kepala. "Aku tidak mau kembali, biarkan aku hidup di luar tanpa mereka, Profesor. Aku ingin keluar, mereka semua menuduh aku telah menghabiskan banyak uang. padahal aku... aku..."

Hendra menenangkan Bora. "Iya, kamu tidak akan kembali. Kamu akan hidup mandiri tanpa mereka."

Aji hanya mendengarkan perkataan menyakitkan Bora, tanpa bisa berkomentar sama sekali.




SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang