PESTA II

124 13 0
                                    

"Oh, hallo. Terima kasih telah datang ke acara keluarga kami."

Semua orang sontak menoleh ke sumber suara, di atas panggung. Arka.

Laras terbelalak ketika melihat betapa tampannya pria itu. "Astaga, dia sangat tampan, selain kaya dan juga berpengaruh, ternyata wajahnya juga bisa dibanggakan. Kalau begini, aku rela menjadi selirnya."

Akmal memutar kedua bola mata ketika mendengar celotehan kakaknya. "Yang jadi pertanyaan, mau nggak dia sama kamu?"

Laras cemberut ketika mendengar ucapan buruk adiknya. "Apakah kamu tidak bisa mendoakan aku yang baik-baik?"

Akmal mengangkat kedua bahu dengan santai.

Yuni masih menatap Aji, merasa cemas karena tidak bisa mendekatinya, lalu menatap kesal Ike yang sudah menghalangi jalannya.

'Dia masih melihat Presiden, apakah anda tidak khawatir?'

Buat apa mengkhawatirkan hal yang tidak perlu?

'Humm? Bagaimana dengan wanita yang memakai gaun merah dan seksi itu? Wow, pakaiannya terbuka sekali.'

Bora spontan menoleh ke arah yang ditunjukan Bern palsu. Seorang wanita manis yang masih memiliki raut wajah muda dan tubuh bagus, dia mengerutkan kening ketika melihat penampilannya yang masih bagus. "Woah, pantas saja banyak yang mau jadi selingkuhannya- ternyata dia cantik. Pantas saja banyak yang melindungi."

Aji yang mendengar perkataan anaknya, spontan menoleh ke belakang. "Hm? Kamu bicara apa, Bora?"

Bora terkikik lalu menunjuk wanita yang fokus melihat ke arah panggung. "Lihat, itu Pa. Dia cantik sekali kan? Mantan istrinya suami aku."

Aji mengerutkan kening. "Aku memang dengar dia cantik, tapi aku tidak pernah melihatnya secara langsung. Cantik memang, tapi- cantiknya murahan."

"Eh, Papa tidak tertarik padanya?" Tanya Bora.

Ike yang mendengar itu, sontak menoleh juga ke Rina. Dia mengenali sosok wanita yang bekerja membela hak asasi manusia. "Oh, si Rina. Kenapa? Apakah Aji tertarik?" Kali ini dia tidak merasakan cemburu atau sedih, jadi bisa ikut bercanda dengan anaknya.

Harsa dan Genta ikut menimpali, mereka sudah terbiasa dengan perpisahan orang tua dan tidak terlalu iri dengan kehidupan teman-teman sebaya yang keluarganya harmonis. Tentu saja, Fendi sudah menasehati mereka.

"Apakah Papa suka wanita lain?" Tanya Harsa.

"Bukankah Papa sudah menikah?" Tanya Genta.

Raut wajah Aji berubah pucat, seolah ketiga anak kandung tidak butuh sosok dirinya dan bertanya dengan nada terbata-bata. "Kalian... apakah... kalian tidak..."

"Harsa ada Kakak sama Kakak Ipar."

"Genta juga ada."

Bora tersenyum cerah. Yah, uang memang segalanya.

Berbeda dengan Bora yang sedang bahagia bersama adik-adiknya, Arka harus menderita dengan berpidato di hadapan para tamu undangan. Dia harus bisa bertahan demi harga diri seorang pria, lalu diam-diam dirinya menghela napas lega begitu pidato sudah masuk ke perkenalan.

"Seperti yang para tamu undangan ketahu, Om saya adalah orang yang pemalu dan tidak bisa menunjukkan wajahnya- sehingga saya yang disuruh memimpin acara." Arka melontarkan lelucon untuk menghibur para tamu yang bosan dengan pidato mengenai sejarah keluarga, di manapun tidak ada yang suka mendengar cerita sejarah, termasuk Arka.

Para tamu yang berdiri di bawah panggung dan masih memperhatikan pidato Arka, tertawa. Mereka tidak bisa melepaskan pandangan dari Arka dengan berbagai alasan, hal inilah yang diberitahukan Bern palsu kepada Bora.

'Dia sebenarnya hampir mengantuk, tapi tidak bisa tertidur, pesta ini sangat penting untuknya,' kata Bern palsu sambil menunjukkan gambar tamu yang dimaksud, dia tahu kalau Bora tidak bisa menoleh kemanapun, dan hanya menatap lurus arah panggung seolah memperhatikan pidato Arka yang membosankan.

Bora terselamatkan dengan investigasi tidak penting Bern palsu, sesekali tersenyum kecil.

'Kebanyakan wanita muda di dalam ruangan menatap kagum tuan Arka yang tampan dan juga memiliki uang banyak, mereka ingin menjadi selir, pelakor, atau pun hanya budaknya saja- selama bisa mendapatkan uang dan tubuhnya.'

Bora menggeleng sedih. "Mereka semua tidak punya harga diri, padahal saat aku datang- mereka menjelekkan aku, dan juga ikut dari bagian perundungan di media sosial."

'Anda tidak perlu heran, semua manusia pasti memiliki dua wajah. Mantan istri suami anda, bahkan kagum dengan ketampanan tuan Arka. Apakah dia mengingat mantan suaminya dulu ya?'

Bora mengerutkan kening tidak paham. "Fendi?"

'Ayah kandung tuan Arka, Raka.'

Bora menaikkan salah satu alisnya lalu bicara dengan Bern palsu di dalam hati. Apakah dia tidak kapok, setelah ditinggalkan seperti sampah begitu saja?

'Ini menurut pendapat saya, di dunia ini ada dua tipe wanita. Wanita yang tidak peduli dengan masa lalunya dan wanita yang selalu mengungkit masa lalunya.'

Sepertinya aku ada di pilihan kedua.

'Benar, tapi tidak separah mantan istri, suami anda yang selalu membanggakan masa lalunya. Dia merasa cantik dan hebat karena berhasil memikat banyak pria. Menurut saya, dia wanita bodoh yang hanya peduli dengan seks. Manusia yang selalu membanggakan seks dan membahasnya setiap hari meskipun hanya dijadikan lelucon atau apapun itu- berarti tidak memiliki otak yang memadai.'

Bora menyetujuinya. Orang cerdas tidak akan pernah membahas atau melontarkan seks di depan umum, tabu? Memang. Tapi semenjak Bora berada di lingkungan keluarga Tsoejipto, keluarga memang bercanda- namun candaan mereka tidak pernah menjurus ke seks atau merendahkan wanita. Sementara jika Bora di lingkungan menengah ke bawah, candaan mereka selalu menjurus ke seks, seolah tidak ada pembahasan yang lain.

"Saya ingin memperkenalkan CEO baru di keluarga kami. Effendi Tsoejipto. Pernah menjadi pengacara di Inggris dan juga adik kandung dari kepala keluarga yang sekarang." Arka mulai memperkenalkan Fendi.

Fendi naik ke atas panggung dan tersenyum, mengambil tempat Arka setelah keponakannya menyingkir sedikit.

Rina menutup mulut dengan kedua tangan, tersenyum ketika melihat layar lebar di belakang panggung menampilkan foto pernikahannya bersama dengan Fendi. Foto itu tidak pernah ditampilkan ke publik, karena sempat hilang.

Foto di depan altar gereja dan keduanya saling bersumpah setia di hadapan pendeta.

Bora memiringkan kepalanya dan melihat keanehan di dalam foto tersebut.

"Bukankah Rina beragama islam?" tanya salah satu undangan ke orang yang berada di sampingnya. "Kenapa dia menikah di gereja?

Agama sangat sensitif di Indonesia, KTP saja harus menampilkan agama apa yang mereka anut, sebagian masyarakat Indonesia juga membagi agama sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut yaitu kafir dan tidak kafir. Hal ini memang ada di ajaran agama mayoritas di Indonesia, namun menjadi dibuat untuk menjadi bahan olokan penganut agama mayoritas untuk membenci atau menghina penganut minoritas di media sosial.

Apa kamu sudah melihatnya?

'Aneh sekali. Kenapa tidak pernah muncul informasi tentang ini? Apa yang sudah disembunyikan?'

Bora menyipitkan kedua matanya ke arah panggung, tempat suaminya berada. Fendi ternyata bukan orang biasa?

Fendi mengedarkan pandangan di dalam ruangan dengan senyum mengembang, lalu perhatian tertuju ke Rina.

Rina yang melihat perilaku pria yang sempat mencintainya, tersenyum haru. "Fendi-"

Bora hanya anak kecil berusia delapan belas tahun, dia tahu perasaan cemburu. Dia tidak suka Fendi menatap Rina dengan lekat. "Apa yang akan dia lakukan sekarang? Nostalgia?"

Fendi mulai bicara. "Selamat malam, terima kasih sudah bersedia datang ke acara saya. Saya merasa sangat terhormat, terutama dengan kehadiran Bapak Presiden kami. Pak Aji."

Semua orang di dalam ruangan mulai bertepuk tangan.




SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang