PERBEDAAN

108 18 0
                                    

"Wuaaahhh- rumah kakak dan kakak ipar besar sekalii-" Genta menyuarakan pikirannya tanpa malu sementara Harsa yang sudah terbangun dan sudah mencerna semua cerita Bora, masuk ke rumah dengan takjub.

Rumah dengan taman yang luas untuk masuk menuju pintu utama, lalu ornamen mewah ala barat yang menyambut mereka, menambah kekaguman.

Rumah utama keluarga Tsoejipto hanya ditempati oleh keluarga inti dari kepala keluarga. Fendi telah tumbuh di rumah ini. Kadang kala jika ibunya bosan, mereka akan pindah ke rumah lain untuk mencari suasana baru.

Tidak ada yang menempati rumah utama sebelumnya. Hendra tidak tetap menempati rumah ini bersama istrinya, karena kedua anak mereka tidak tahu status sebenarnya ayah mereka. Hendra sendiri juga tidak mau anak-anaknya menjadi anak manja, hanya karena tinggal di rumah besar.

Pewaris selanjutnya, keponakan Hendra dan Fendi lebih suka tinggal bersama ibu dan istri. Namun, keponakan mereka berdua jauh lebih betah tinggal di rumah ibu mertua yang sederhana tapi mampu menyajikan makanan enak. Karena itu lebih suka tinggal di kota lain, daripada ibu kota. Sesekali datang jika diperintah.

Hingga pada akhirnya, Fendi diperintahkan untuk menempati rumah ini untuk sementara waktu, menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

"Kami akan tinggal di rumah ini?" Tanya Harsa kepada Bora. "Rumah ini lebih besar dari kakek dan nenek tapi tidak seluas tanah mereka."

Fendi tertawa begitu mendengar perbandingan yang diberikan kedua anak kecil itu. "Tentu saja berbeda, rumah ini didirikan dengan uang sementara rumah kakek dan nenek kalian, didirikan dengan memakai kehormatan."

Harsa dan Genta menatap bingung Fendi.

Bora menghela napas lalu menjelaskan ke dua adiknya. "Kakek dan nenek memiliki lahan luas secara turun temurun karena berdarah ningrat, berbeda dengan rumah ini- untuk mendapatkannya harus dibeli menggunakan uang."

Harsa dan Genta masih belum paham dengan penjelasan Bora.

Bora tersenyum. "Di masa depan, kalian akan akan tahu perbedaannya."

Harsa dan Genta mengangguk bersamaan.

Bora bertanya ke Harsa. "Apakah kamu belum mendapatkan anjing penuntun?"

Harsa menggelengkan kepala. "Om sama mama janji mau cari penggantinya, tapi ternyata tidak datang."

Bora menoleh ke Fendi. "Dia harus sekolah, tapi untuk mendapatkan service dog yang cepat pasti akan sangat menyulitkan."

Fendi menggaruk pipinya dengan canggung. "Ah, sebenarnya kalau sementara- aku ada, hanya saja anjing ini agak pemalas dan juga penampilannya sedikit menakutkan."

"Hah?" Bora, Harsa dan Genta menatap Fendi secara bersamaan.

***

Dua hari kemudian, sekolah Harsa. Seorang wanita yang memakai seragam guru, berjalan masuk ke ruang guru lalu bertanya ke wali kelas Harsa.

"Apakah hari ini Harsa tidak masuk sekolah lagi?"

"Tidak ada informasi yang masuk ke saya, mungkin hari ini juga tidak masuk." Jawab wali kelas yang terlalu malas menangani Harsa.

"Anak itu memang penyakitan, aku kalau dikasih murid macam Harsa, pasti menolak mati-matian. Soalnya jika terjadi sesuatu pada anak itu, kita yang akan dituntut orang tuanya," kata guru agama. "Kita saja tidak dibayar lebih, buat apa mengurus anak yang merepotkan?"

"Benarkah?" Tanya wali kelas. "Apakah aku mengundurkan diri saja? Harsa anak presiden, kalau ada masalah- pasti larinya ke aku. Aku masih belum mau kehilangan pekerjaan."

Guru bk yang baru masuk, menggelengkan kepala, lalu bicara ke wali kelas Harsa. "Jika hari ini dia tidak masuk, tolong ke rumahnya. Seperti yang kalian pikirkan, kita tidak mau ada masalah di sekolah."

Raut wajah wali kelas berubah pucat. Dia terlalu malas untuk pergi ke rumah Harsa.

"BU GURU! PAK GURU!" teriak salah satu murid sambil menangis dan agak panik.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" Tanya guru bk.

"HARSA! HARSA MASUK SEKOLAH!"

Wali kelas spontan berdiri dan menunjukkan raut wajah cemas. "Dia datang? Bukankah dia sedang sakit?"

"Harsa datang bawa anjing."

"Baguslah, jika dia membawa anjing. Jadinya bisa konsen menjaga Harsa."

"Bukan itu masalahnya, pak guru. Anjing Harsa menyeramkan dan tadi menginjak salah satu kaki teman saya, rasanya sangat sakit. Saya juga kena kibasan ekornya," isak si murid.

Guru bk bertanya ke murid tersebut. "Di mana Harsa sekarang?"

"Ada di dalam kelas, sama dua orang. Mereka berdua menyeramkan."

Wali kelas bergegas menuju kelas, sekarang sudah waktunya kelas dimulai dan para guru sedang mengadakan rapat, sehingga para murid diberikan tugas kelas.

Setibanya di depan kelas, wali kelas melihat dua orang penjaga dengan memakai pakaian formal, berdiri di depan pintu.

Presiden kah yang datang?

Wali kelas bertanya di dalam hati dengan perasaan campur aduk, bagaimana jika presiden menuntut dirinya, karena tidak bisa menjaga Harsa?

Wali kelas berusaha mengatur napas dan menepis over thinking, dia bergegas masuk ke dalam kelas lalu melihat pemandangan yang luar biasa. Seorang wanita cantik jongkok di depan seekor anjing berwajah jelek dan juga tubuhnya gempal.

Tempat duduk Harsa ada di deretan paling belakang, sebelah kiri tepat di samping jendela. Supaya Harsa tidak mengganggu teman-teman lainnya saat sakit menyerang.

Harsa berdiri di belakang wanita cantik itu yang berjongkok dan bicara dengan seekor anjing, lalu satunya lagi- seorang wanita cantik menatap wali kelas dan wanita kelas mengenalinya. Bora, kakak Harsa.

"Dengar, kamu harus perhatikan Harsa. Tidak boleh malas dan harus bekerja, gigi kamu tumpul, jadi jangan sok-sokan pamer gigi." Nina memberikan sedikit omelan untuk anjing kesayangannya.

"Tante, dia tidak menggigit. Tapi, teman-teman takut melihatnya." Harsa juga takut jika harus berdampingan dengan anjing gemuk dan jelek itu.

Nina menoleh ke Harsa. "Dia anjing pitbull, tapi hatinya lembut seperti hello kitty kok. Tenang saja, dia hanya akan mengintimidasi anak-anak yang nakal sama kamu."

Wali kelas hendak mengatakan sesuatu.

Bora bicara terlebih dahulu. "Saya dengar, Harsa pingsan di lapangan cukup lama dan tidak ada yang membantunya."

Wali kelas mengalihkan tatapan ke Bora, lalu bicara dengan nada sinis. Bora adalah anak bermasalah, tidak akan paham. Namun, yang tidak guru itu ketahui adalah- Bora bisa melihat jalan pikiran atau pun percakapan masa lalu sang guru.

Bora bisa melihat dan mendengar dengan jelas percakapan tadi, sebelum wali kelas datang ke kelas. "Anda memang enggan merawat adik kandung saya dan merasa tidak dibayar, saya tidak peduli jalan pikiran atau kebencian anda kepada Harsa."

Harsa dan Nina menyadari suara Bora yang ditinggikan dan langsung menoleh ke depan kelas.

"Yang saya permasalahkan adalah, kenapa adik saya dibiarkan tergeletak di lapangan dalam kondisi cuaca panas? Apakah anda ingin membunuh adik saya?"

Wali kelas menjadi panik. "Tidak, tidak. Saya tidak pernah berpikiran sampai ke sana, saya dan para murid ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa."

SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang