MENGALIHKAN ISU

104 15 0
                                    

Ike yang sudah ditarik ke dalam mobil dan dimarahi sepanjang jalan, tanpa peduli pandangan orang-orang, berusaha menahan sabar sekaligus sedih, ketika Edwin melontarkan kalimat kasar di dalam mobil sembari sopir menjalankan mobil menuju rumah mereka berdua.

"Aku sudah bilang untuk menjauh dari Aji, dia itu hanya iblis pengganggu. Dia sudah membuat hidup kamu hancur dengan melahirkan anak-anak iblis!"

Ike menatap Edwin dengan tidak percaya. "Aku yang melahirkan mereka bertiga dengan susah payah, kenapa kamu berkata jahat seperti itu? Mereka tidak tahu apa pun."

"Jika mereka bukan iblis, lantas apa? Kenapa mereka bertiga lahir menjadi cacat seperti itu? Mengandalkan hewan? Memangnya Tuhan tidak ada?"

"Edwin!" Teriak Ike. "Kenapa kamu bicara sekasar itu tentang anak-anakku? Mereka tidak melakukan kesalahan apa pun!"

"Mereka sudah melakukan kesalahan padaku dan kamu!" Teriak Edwin dengan marah. "Seandainya kamu tidak menikah dengan Aji, tidak melahirkan mereka bertiga! Kita tidak akan hidup seperti ini dan Aji tidak akan punya langkah menjadi Presiden!"

Ike terkejut dengan puncak masalah yang dipermasalahkan Edwin. "Apakah kamu marah karena Aji menjadi Presiden?" Tanyanya dengan nada sedih.

Edwin tersenyum sinis. "Memangnya kenapa kalau memang begitu? Faktanya memang begitu, bukan? Orang tua kamu mendukung Aji di karier politiknya."

Ike menggeleng sedih. "Tidak, tidak. Orang tua aku tidak melakukan hal seperti itu. Aji mencari dukungan sendiri."

Edwin tertawa muram. "Bahkan kamu berusaha menyembunyikannya."

"Aku tidak menyembunyikannya, Aji bisa mendapat mayoritas suara karena usahanya sendiri."

"Lalu kenapa dia bisa menggadaikan sertifikat tanah dan rumah milik Bora?"

Ike terkejut. "Apa? Apa maksud kamu Aji menggadaikan sertifikat milik Bora?"

"Apakah kamu berpura-pura bodoh sekarang?" Tanya Edwin yang masih tidak percaya. "Dulu, saat kamu masih bersama dengan Aji- kamu bantu menggadaikan rumah di Bandung, untuk membantu aku melakukan kampanye. Tapi orang tua kamu malah marah besar kepadaku- aku sendiri posisi tidak tahu kalau kamu melakukan hal senekat itu, mereka malah lebih suka menyalahkan aku dari pada kamu."

Ike terdiam, tidak bisa membantah. Kesalahan masa lalu diungkit kembali oleh Edwin.

"Dan aku mendengar dia menggadaikan sertifikat tanah dan rumah milik Bora, lalu apa? Orang tua kamu tidak marah dan hanya memotong transferan uang saja. Aku baru tahu selama dia ikut dengan Aji, dia mendapatkan uang banyak dari orang tua kamu!"

Ike berusaha menjelaskan ke Edwin. "Orang tua aku hanya ingin menghargai cucu-cucunya, kenapa kamu menjadi iri?"

"Aku iri karena mereka terlalu bias terhadap anak-anak sialan itu dan juga pria yang sudah menghancurkan masa depan kita berdua. Apakah kamu pikir, aku bisa melupakan semuanya?"

Ike tidak bisa berkata-kata, Edwin selalu serius dengan ucapannya.

Edwin membuka media sosial untuk mencari berita mengenai presiden yang dilempar tomat dan juga kartu kuning, sekarang dia juga melihat postingan istri Aji yang menekan Bora. Dia tertawa mengejek lalu menunjukkannya kepada Ike. "Coba kamu lihat, apa yang ada di akun gosip ini?"

Ike menatap serius postingan Yuni tentang Bora yang disertai foto-foto. "Itu-"

"Bahkan Ibu tirinya sudah speak up tentang hal ini. Apakah kamu hanya ingin diam saja dan menutup mata? Melindungi kesalahan banyak orang."

Ike menatap sedih Edwin. "Kenapa kamu berkata jahat seperti itu pada Bora? Dia tidak tahu apa pun, dan pasti ada salah paham."

Edwin tertawa frustasi. "Inilah alasan kenapa Aji membenci kamu dan pilih bersama wanita lain."

"Apa maksud kamu bicara seperti itu? Aku juga pilih kamu karena-" Ike terdiam ketika melihat sorot mata marah Edwin.

"Apa? Kenapa tidak bisa berkata-kata? Apakah aku salah?"

Ike menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, seolah melepaskan beban berat di benaknya.

"Aku tidak pernah salah, semua yang aku katakan sudah dianalisa terlebih dahulu, Ike. Mantan suami dan anak-anak kamu sudah menghancurkan masa depan kita! Jika mereka tidak pernah hadir diantara kita- kita sekarang sudah hidup bahagia dan kamu akan menjadi Ibu negara." Edwin menggenggam erat lengan atas Ike.

Ike menatap bingung Edwin. "Kamu- masih sakit hati karena tidak bisa menjadi calon Presiden waktu itu?"

Edwin tidak menjawab dan kembali duduk tegak, menatap lurus jalanan di luar jendela mobil.

Ike menatap Edwin dengan bingung, merasa tersadarkan bahwa dirinya telah melakukan hal yang bodoh. Suaminya sekarang ternyata tidak mencintainya?

Ike duduk bersandar di kursi mobil, menjauh dari Edwin dan melihat pemandangan di luar jendela. Menangis di dalam hati dan tidak berani menyuarakannya, hal sama yang dilakukannya ketika Aji lebih banyak pergi keluar dan dirinya harus bertahan di dalam rumah bersama tiga anak.

Mereka berdua pulang dalam keadaan diam.

Sementara di universitas tempat pertemuan masyarakat dan mahasiswa bertemu dengan para pejabat ibukota, beberapa panitia yang ada di belakang panggung saling bergosip.

"Kalian lihat tadi? Pak Edwin mengomeli istrinya sepanjang perjalanan karena si istri mulai ganjen dengan mantan suaminya."

"Hah? Masa sih? Yang perempuan bangsawan itu? Dari keraton nggak salah."

"Hanya kerabat saja, tapi memang keluarga istri pak Edwin hanya menikah dengan keturunan bangsawan saja."

"Tapi aku sempat lihat pak Edwin tidak sengaja dorong istrinya ke lantai, dan waktunya bersamaan untuk naik panggung. Pak Presiden masuk dan malah menolong mantan istrinya. Apakah cinta akan bersemi kembali?"

"Ah, aku dukung jika Pak Presiden kembali dengan mantan istrinya. Kasihan sekali dengan ketiga anak beliau yang sakit, mereka pasti membutuhkan orang tua lengkap."

"Jangan bicara seperti itu, kita tidak tahu masalah rumah tangga orang lain."

"Ah, iya. Aku dengar istri Pak Aji sekarang, suka menyiksa Bora. Kasihan sekali sampai buat narasi seperti itu."

"Hm? Tapi yang aku baca berbeda."

"Apanya yang berbeda?"

"Coba baca postingan terbaru Laras."

Kedua teman lainnya segera mengambil handphone di kantong celana dan mencari postingan Laras, anak tiri presiden.

Sebelumnya, aku meminta maaf karena Mama dan Akmal membuat postingan seperti itu. Kami hanya malu dan takut karena Bora merupakan tahta tertinggi di keluarga kami, takut menjadi aib dan malu karena kami takut pada anak kecil. Bora memang sakit, tapi sakitnya bukan berarti menjadi alasan yang dibuat-buat.

Kenapa kami bisa berasumsi begitu? Karena dia tidak pernah mengizinkan kami mendekat, ketika kami ingin membantu- dia mengejek kami. Coba lihat video tersebut, Bora tertawa mengejek. Hanya video ini yang bisa kami buktikan, sisanya kami serahkan ke netizen yang bisa menilai.

Postingan Laras membuat perhatian netizen terbagi menjadi dua. Satunya membela Bora sebagai penderita anxiety, satunya lagi membela Laras dan keluarganya yang hanya memiliki posisi sebagai keluarga tiri.

Semua mulai mengeluarkan asumsi masing-masing. Masalah presiden yang mendapat hinaan mulai tenggelam.

SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang