Anxiety disorder adalah gangguan mental yang disebabkan rasa cemas dan takut berlebih, dengan gejala cemas berlebih, gelisah, lebih mudah panik, kelelahan tapi tidak bisa tidur, mudah terpancing emosi, rasa sakit dan nyeri pada tubuh, otot tegang, mulut kering, tangan dan kaki kesemutan serta berkeringat, lalu tidak berhenti melakukan perenungan.
Secara fisik, mungkin dianggap sehat oleh dokter biasa dan bahkan jika orang medis tidak paham ilmu psikologis, akan menganggap gejala yang dialami penderita adalah palsu, memalsukan penyakit untuk mencari perhatian lebih.
Itulah yang dialami Bora saat menginjak masa sekolah menengah pertama. Mama yang terlalu takut dan benci menikah dengan orang yang tidak dia cintai, papa yang berusaha mencari kenyamanan di luar rumah lalu memukul Bora jika emosi mulai meluap, karena tidak bisa memukul sang istri yang lebih kaya dari dirinya.
Pria yang terluka harga diri, menjadi tidak peduli pada moral sementara Bora yang dianggap paling dewasa serta penurut, tanpa disadari orang dewasa, dirinya tumbuh menjadi anak penakut dan terpaksa menuruti perkataan orang lain.
Ketika menuju dewasa, tidak ada yang peduli pada masalahnya, semua hanya menunjuk Bora sebagai anak aneh dan juga lemah.
"Aku juga berasal dari keluarga broken home, tapi aku tidak pernah sampai ke psikolog."
"Kamunya saja yang bermental lemah."
Itulah yang selalu dikatakan kedua saudara tiri Bora, orang dewasa yang menganggap dirinya dewasa, mengejek serta menekan orang lain seperti anak kecil.
Mereka tidak pernah merasakan dipukul sejak kecil atau hanya mengatakan pemukulan adalah bagian dari cara orang tua disiplin. Namun, bagaimana jika orang tua memukul tanpa sebab? Saat anak kecil hanya bermain ataupun bertanya, dipukul. Saat anak kecil tidak tahu mana yang baik dan salah, dipukul.
Orang dewasa yang bangga dan merasa dirinya dewasa, hanya menyamaratakan pukulan orang tua adalah bagian dari disiplin. Mereka tidak pernah mau tahu disiplin bagaimana yang dialami anak-anak ini.
Orang dewasa bangga karena berhasil melewati masa disiplin dengan mengejek anak broken home yang mendapatkan penyiksaan tanpa alasan. Mereka bahkan menyebut kelahiran tujuh puluh, delapan puluh atau sembilan puluh dididik ala militer dan baik-baik saja, sementara anak kelahiran dua ribu, memiliki mental lemah.
Fatherless, kekerasan rumah tangga yang dialami wanita dan anak-anak, kekerasan hewan, perundungan, senioritas dilupakan oleh orang-orang dewasa yang bangga menjadi dewasa.
Saat ini Bora harus menghadapi kenyataan berhadapan dengan orang-orang yang mengedepankan ilmu agama tapi mengabaikan moral, simpati dan empati. Mengejek Bora yang memiliki mental lemah dan juga hanya bergantung pada seekor anjing.
Bora memegang erat kalung yang melingkar di lehernya, setelah berhasil menemukan kelasnya, duduk di paling depan dan menarik perhatian para mahasiswa baru.
"Lihat dia, tidak tahu malu sekali. Jalan dengan santai setelah ada banyak bukti."
"Mendapat beasiswa karena sudah menjadi anak Presiden, privilege sekali."
Salah satu mahasiswa yang kesal, melempar bola kertas ke arah Bora. "Buat apa kamu masuk kelas? Sudah tidak ikut ospek, berani datang. Apakah kamu ingin beralasan kena mental health?"
"Memang, mental lemah!"
"Sok-sokan main mental, dirinya sendiri saja bolos satu tahun," ejek salah satu mahasiswa perempuan yang duduk di belakang Bora dan disambut tawa satu kelas.
Bora mengepalkan kedua tangan di atas paha, untuk menutupi rasa cemasnya.
Tidak lama, seekor kucing masuk ke dalam kelas dan duduk di pangkuan Bora.
Bora tersentak.
Seorang dosen berusia muda, masuk ke dalam kelas dengan senyum mengembang di wajah bulenya yang tampan. "Hallo, selamat siang. Saya Daniel Amamiya, dosen jurusan sosiologi hukum semester satu. Salam kenal."
Para mahasiswi bersemangat melihat dosen bule dan tampan masuk di hari pertama masuk kelas sementara mahasiswa terlihat antusias dengan sikap ramah dosen muda tersebut.
"Ah, sebelumnya. Kita memiliki salah satu teman kelas cukup terkenal sampai ada yang melemparnya dengan kertas. Saya baru tahu, negara yang terkenal ramah, memberikan sambutan dengan lemparan kertas ke peringkat pertama se-universitas." Daniel mengambil lima bola kertas di dekat kaki Bora.
Bora hendak mengambil tapi terlalu takut, entah kenapa tubuhnya merasa ditahan sesuatu.
Daniel melempar bola kertas ke tong sampah lalu menepuknya. "Jadi, sebelum saya ingin melanjutkan mata kuliah- apakah di sini ada yang bercita-cita menjadi pengacara? Pengacara apa yang kalian inginkan? Pengacara yang berdiri di atas kebenaran, atau pengacara yang hanya ingin menekan seseorang dengan ilmu kalian yang lebih tinggi."
Daniel diam dan melihat sekeliling kelas, para mahasiswa dan mahasiswi terdiam, tidak mengatakan apa pun.
Daniel kembali melanjutkan. "Mana pun yang kalian pilih, saya tidak peduli. Tapi saya tidak akan menolerir perundungan di kelas saya."
Salah satu mahasiswi memberanikan diri untuk bertanya. "Bagaimana dengan yang bersangkutan? Bukankah dia melakukan kecurangan? Kenapa dia tidak dihukum?"
"Apakah ada bukti bahwa dia melakukan kecurangan, anda calon pengacara, tidak mungkin menuduh tanpa bukti bukan?"
Mahasiswi itu terdiam dan tidak bisa menjawab, mahasiswa lain menjawab dengan lantang. "Bukankah di media sosial, sudah ada buktinya? Dia mendapat beasiswa tapi belum lulus sma. Bukankah hal itu juga merupakan kecurangan?"
"Hm, menarik." Daniel mengangguk. "Jadi, kalian semua menganggap media sosial adalah bukti yang valid."
"Benar, bukankah informasi tidak bisa kita abaikan begitu saja?"
Kucing di pangkuan Bora menguap bosan sambil menggoyangkan ekornya, lalu kembali melingkarkan tubuh untuk tidur pulas.
Daniel duduk sebagian di mejanya, lalu bicara dengan santai. "Karena ini adalah hari pertama kalian sebagai mahasiswa hukum sekaligus mata pelajaran pertama, bagaimana jika kita membuat taruhan? Seisi kelas melawan Bora."
Bora mengangkat kepalanya dengan terkejut. Apa yang ada di pikiran dosen bule tersebut? Kenapa malah melibatkan dirinya?
Di saat Bora kebingungan, Fendi mengejar kakaknya yang hendak berangkat kerja, setelah dirinya selesai mengantar Bora.
"Kakak kenapa melakukannya sejauh ini kepada Bora? Apakah kakak ingin memanfaatkannya?"
Hendra yang membuka pintu mobil, balik badan lalu menatap adiknya yang menuntut jawaban. "Bora hanya anak kecil yang memiliki masalah hubungan sosial, jika dia ingin balas dendam, meskipun memiliki uang banyak dan sistem, apakah dia bisa menggunakannya dengan baik? Apalagi kamu memutuskan tidak bekerja dan bermalas-malasan."
Fendi tidak bisa membantah ucapan kakaknya.
"Aku melakukan itu semua karena ada sangkut pautnya dengan kamp di Kalimantan, aku juga membutuhkan tanah yang dimiliki keluarga Bora di Kalimantan. Hubungan kita saling menguntungkan."
Fendi sudah menduga hal itu sejak awal, namun ada yang mengganjal hatinya. Pasti ada sesuatu yang lebih diinginkan kakaknya. "Anggap saja aku percaya dengan ucapan kakak sekarang, suatu hari aku akan tahu apa yang diinginkan kakak. Jika sampai merugikan aku dan Bora, aku akan menjauh dan pergi dari rumah ini."
Hendra tertawa kecil. "Benar, bukan hanya kamu yang akan pergi, aku juga. Pewaris sesungguhnya keluarga ini bukan aku atau pun kamu, melainkan Arka. Tempat ini aku persiapkan untuk dia."
Fendi mengepalkan kedua tangannya.
Hendra menepuk bahu Fendi. "Aku janji kalian tidak akan rugi, aku tidak pernah merugikan orang-orangku."
Fendi tidak menjawab dan masuk ke dalam rumah, berusaha menenangkan hatinya.
Istri Hendra yang melihat semua sedari tadi, menghampirinya. "Jangan terlalu keras padanya, dia juga sensitif."
Hendra mencium pipi istrinya. "Akan aku ingat."
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL PUTRI PRESIDEN (TAMAT)
RomanceSaat ulang tahun ke 17. Bora Zanitha Rukmasara harus menyaksikan anjing kesayangannya dibakar hidup-hidup oleh kedua saudara tiri. Satu tahun kemudian, anjing kesayangannya datang ke dalam mimpi dan menunjukkan masa depan selama satu bulan berturut...